5 PUISI SUDARMONO

DUKAKU PADA KORUPSI
Merdeka
lalu Presiden kemana berada
lembaga anti rasuah tutup mata
sejak kita disibukkan gelisah
bahkan kalang kabut gundah
tak luput rakyat warga negara
sedih karena didera berita
perilaku versus korupsi
mengalir menjadi naluri
homo homini lupus
manusia memakan manusia
Hari hari terus membayang
tak percaya pada keseriusan
kematian ada antara sesama
sisi moralitas bisa bercerita
sayang negeri ini malang
ada pejabat menjemput mimpi
uang rakyat dilahapnya
menyeret menteri dan jajarannya.
Muntilan 30 Agustus 2023
CATATAN REDAKSIONAL
Pasal-Pasal yang Gagal Menyentuh Nurani: Ketika Puisi Jadi Dakwaan
oleh IRZI Risfandi
Ketika hukum lemah dan penguasa terlalu akrab dengan amplop cokelat, kadang yang paling lantang bersuara justru bukan jaksa, melainkan penyair. Seperti Sudarmono, pria kelahiran Bantul tahun 1963, lulusan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, yang membuktikan bahwa pasal-pasal tidak hanya bisa dibaca di ruang sidang, tapi juga bisa digetarkan lewat puisi. Dalam “Dukaku Pada Korupsi”, ia tidak berdiri di mimbar kampanye, tidak juga membawa spanduk; ia hanya menyodorkan dua bait besar yang seolah-olah ingin berkata: “Kami lelah menunggu keadilan. Kapan kalian berhenti main petak umpet dengan uang rakyat?”
Puisi ini tidak berusaha membungkus kritik dengan metafora manis. Ia telanjang, marah, tapi tetap elegan. Kalimat seperti “lembaga anti rasuah tutup mata” atau “uang rakyat dilahapnya” mungkin terdengar seperti headline KPK yang basi, tapi ketika itu ditulis dari Muntilan oleh seorang penyair sekaligus pegiat literasi TBM Ruang Jiwa, maknanya menjadi lain. Ini bukan sekadar opini; ini adalah jeritan diam warga negara yang punya kesadaran hukum, tapi semakin tidak percaya pada keadilannya sendiri. Di titik ini, puisi bukan hanya estetika—ia menjadi semacam testimoni sipil, catatan kaki untuk sejarah korup yang terus berulang.
Yang membuat puisi Sudarmono relevan dan reflektif adalah nadanya yang tidak pretensius. Ia tidak berteriak. Ia hanya menggeleng. Sambil berkata, “homo homini lupus”—manusia memangsa manusia. Referensi Latin ini bukan untuk gaya-gayaan akademis. Ini tepat, mengingat Indonesia kerap menjadikan “manusia” sebagai jargon pembangunan, tapi lupa membangun manusianya sendiri. Di saat rakyat mengantri bantuan dan sembako, para pejabat malah sibuk “menjemput mimpi”—mimpi yang dibayar dari dana bansos, APBN, dan proyek-proyek siluman. Kalau ini bukan satire pahit, lalu apa?
Puisi ini juga menggoda untuk dibaca sebagai draft pasal-pasal alternatif, yang mestinya ada di KUHP tapi tidak pernah ditulis. Misalnya: Pasal 1 – Barang siapa menutup mata terhadap korupsi, termasuk saat live TikTok, maka dihukum dengan rasa malu yang tak pernah selesai. Pasal 2 – Barang siapa duduk di kursi empuk tapi pura-pura lupa asal-usulnya, akan dicabut jabatannya oleh suara rakyat yang paham bait puisi lebih baik daripada pidato politik. Sudarmono tahu bahwa hukuman terbesar bukan selalu pidana, tapi kehilangan kepercayaan dari rakyat.
“Dukaku Pada Korupsi” adalah puisi yang tidak berusaha menyelamatkan negeri ini lewat lirik indah. Ia tidak menawarkan solusi, tapi menawarkan cermin. Dan di cermin itu, kita melihat wajah hukum yang kelelahan, etika yang digadai, serta rakyat yang terus memeluk duka. Lucunya, satu-satunya yang terlihat benar-benar “merdeka” dalam bait pertama justru si koruptor. Maka mungkin memang sudah saatnya, bukan pasal yang dibaca keras-keras, tapi puisi seperti ini—yang menampar pelan tapi dalam.
2025
MENUJU KOTA BERSEJARAH
Kota yang bertumbuh berkembang
menjadi penyangga ibu kota negara
biar saja rinduku tumbuh
seperti bunga liar di taman
indah adalah kata sepakat
ketika siap hadir pada saatnya
wilayahmu yang selalu hujan
kini beringsut panas dan padat
Menuju kotamu Buitenzorg
menjadi peristiwa sejarah negeri ini
Kebun raya, Prasasti Batutulis, Gunung Pancer
kunjungan para petinggi negara sahabat
mengokohkan warga bermanfaat
beriringan dengan sejarah lama
Tarumanegara hingga Sunda Pejajaran
penobatan Prabu Siliwangi sebagai hari jadi
Seperti nilai kemerdekaan
dukung semangat tegak pengawalan
kibaran bendera kebangsaan
harus digemakan di gegap masa
selamat hari jadi Bogor ke-543.
Magelang, 29 April 2025
MENGIKUTI PERJALANAN
Subuh dini hari aku bersiap
dari kota di timur Jakarta
menuju kota naik kereta
sampailah disana disambut ceria
sahabat yang sedang berhelat
di selatan Jakarta Bogor namanya
mari segera kita duduk
menghormati saling menunduk
tidak ada terjang dan tendang
selalu bertumpu pada asal usul
Kita sedang bersiap beracara
merapatkan barisan dan mengelola
perjalanan dinamika kekinian
kontemplasi kesenian atau kebudayaan
kawan mari kita berkhalwat
menjadi kalimat biasa bermakna
cerita memori tersimpan di hati
janganlah sejarah musnah keberkahannya
karena ulah para penguasa
membelokkan ke hal tak terduga.
Magelang, 29 April 2025
ABJAD KOTA INDAH
Berkembangnya bunga wilayah
Orang akan berdatangan
Geliat kehidupan 24 jam
Orang orang mengasah diri
Representasi sampaikan Pikiran
Indahnya kota mewakili warga
Namamu tujuan wisata dunia
Dalam ingatan penuh kenangan
Akan hadir dan berlanjut
Hingga kesohor nama kota hujan.
Magelang, 29 April 2025
KONTEMPLASI KORUPSI
Presidenku
Mari merenungkan kebaruan
tindak tegas dan putuskan
hindarkan rasa keraguan
Koruptor menimbun keuntungan
jalannya kita putus beri hukuman
Menteriku
mari menjadi sukarelawan rakyat
selamatkan uang negara
jangan menimba dalih kesempatan
berperilaku baik bukan amoral
hindarkan korupsi walau ada kesempatan..
Muntilan 28 Agustus 2024
BIODATA :
Sudarmono lahir di Bantul, Yogyakarta, tahun 1963. Ia menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Sebagai penyair dan penulis yang mencintai sastra serta kebudayaan, ia kini mengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Ruang Jiwa di Muntilan, Magelang.
Karya-karya puisinya telah dibukukan dalam berbagai antologi yang diterbitkan oleh komunitas sastra di Indonesia, antara lain Gambang Semarang, Para Penuai Makna, Para Penyintas Makna, Kartini dalam Puisi, Kaffein: Ruang dan Kreativitas, Jakarta dan Betawi: 3 Titimangsa Lahirnya Peradaban Bangsa, Plengkung Yogyakarta dalam Sajak, Angkatan Milenial, Wasiat Botinglangi, dan lainnya.