Puisi

5 PUISI TANGSOE TJAHJONO

MONOLOG KUCING HITAM DI HARI TANPA TUHAN

Sebut saja namaku kucing,
anak haram dari malam-malam kelam,
tidak punya tuan, tidak mau punya rumah.

Di antara rumah-rumah warna permen,
kulihat satu rumah putih.
Terlalu rapi, terlalu sopan, terlalu bohong.
Aku mendekat, kencing di tiangnya.
Tanda bahwa yang palsu harus diberi bau asli: sengaknya hidup.

Kusobek kelopak bunga putih,
kujatuhkan satu-satu di lubang tikus.
Biar mereka tahu, kematian pun pernah memakai mahkota.

Ada lingkaran putih di tanah.
Orang-orang menari di sekelilingnya seperti boneka rusak.
Aku melompat ke tengah,
menggeliat, menguap, mencakar udara.

Lingkaran tetap diam.
Begitu juga dunia.

Pohon putih berdiri kaku seperti tiang gantungan yang lupa tugasnya.
Kupanjat sampai ke puncak,
membawa bangkai kadal sebagai bendera perang.
Kukibarkan sambil berteriak:
Hidup para pecundang!

Sepasang burung putih melintas.
Mereka bersiul, mengejek.
Aku meloncat, nyaris menangkap satu.
Tak dapat? Tidak peduli.
Menangkap bukan tujuan.
Melompat adalah pembalasan.

Di sudut, ada gumpalan putih —
sepi, beku, menatap tanpa mata.
Aku meludahinya.
Sekali, dua kali, seratus kali.
Baru terasa puas.
Karena diam lebih mengancam daripada auman.

Akhirnya, kudapati perahu putih kecil,
teronggok di sungai kering.
Kunaiki, kuangkat ekor,
berpura-pura jadi raja bajak laut,
menertawakan samudra yang telah lenyap.

Aku, si kucing hitam,
setiap hari mengulang ritual ini,
mendorong dunia ke tepi jurang imajiner,
lalu menertawakan gravitasinya.

Karena kutahu, yang paling konyol bukan dunia yang rusak —
tetapi makhluk yang percaya mereka bisa memperbaikinya.

Malang, April 2025
*

CATATAN REDAKTURIAL

Mengeong di Hari Tanpa Tuhan: Si Kucing Hitam dan Tanda-Tanda Puitik Kehidupan

Oleh IRZI

Kucing hitam di tangan Tengsoe Tjahjono bukan sekadar makhluk berekor yang melintasi malam, melainkan makhluk simbolik yang mencakar absurditas dunia dengan kuku-kuku puitik dan mata penuh ejekan. Dalam puisi “Monolog Kucing Hitam di Hari Tanpa Tuhan,” kita tidak disuguhi spiritualitas konvensional atau narasi kepasrahan, melainkan sebuah parade keberanian—atau keisengan eksistensial—dari sosok kucing liar yang menjelma nabi jalanan. Tengsoe dengan jitu mengubah kucing menjadi alter ego penyair: liar, ironis, penuh perlawanan, tapi juga getir. Dunia digambarkan seperti panggung opera yang busuk: rumah putih terlalu “sopan” dan “bohong,” bunga putih jadi umpan kematian, hingga burung putih yang melambung di langit hanya untuk diejek. Jika ini bukan pembalikan simbol yang satir sekaligus sinis, lalu apa?

Tengsoe Tjahjono, penyair yang lahir di Jember dan telah menjelajahi dunia sastra selama lebih dari empat dekade, memang terkenal dengan kelihaian metafora dan gaya satirnya yang khas. Ia bukan penyair yang takut bermain dengan bentuk atau tema yang eksentrik. Dari Meditasi Kimchi yang bercampur budaya Korea hingga pentigraf yang ia gagas, ia tak pernah berhenti berinovasi. Dan kini, dengan Jenggirat (2025), Tengsoe kembali menunjukkan taringnya, bukan dengan auman singa, tapi dengan desisan nakal si kucing hitam. Tentu bukan sembarang kucing. Ini kucing yang menertawakan struktur simbolik, mencabik-cabik tatanan, dan meludah pada keheningan yang pura-pura kudus.

Dalam puisi ini, teknik pengulangan visual warna putih menjadi medan pertarungan bagi si kucing. Putih yang biasanya disimbolkan sebagai kesucian, justru jadi palet kemunafikan: rumah, bunga, pohon, burung, bahkan perahu. Semua putih ini adalah lawan naratif dari si hitam—bukan sekadar oposisi biner, tetapi sebagai narasi tandingan. Tengsoe menggunakan repetisi warna sebagai irama ironi, dan menyejajarkan dunia simbolik dengan tindakan konkret: kencing, meludah, memanjat, mencakar. Ini bukan puisi meditasi kontemplatif; ini puisi aksi performatif. Dan di tengah itu, kita menemukan bahwa puisi ini adalah kritik sosial sekaligus kritik teologis—tentang ketiadaan Tuhan dalam ruang publik yang penuh kepalsuan.

Dan ketika si kucing akhirnya menertawakan samudra yang lenyap, kita pun tahu bahwa ini bukan kisah satwa biasa. Ini adalah alegori tentang manusia modern yang kehilangan makna dalam upaya memperbaiki dunia yang ia rusak sendiri. Tengsoe menyodorkan pertanyaan pamungkas dalam baris akhir: siapa sebenarnya yang paling konyol? Dunia yang rusak atau makhluk yang bersikeras memperbaikinya? Di sini, satire menggeliat. Sang kucing bukan agen chaos, tapi cermin gelap bagi kita semua: pengamat yang terlalu banyak retorika dan terlalu sedikit keberanian.

Dengan puisi ini, Tengsoe membuktikan bahwa satire, ironi, dan humor gelap bisa menjadi kendaraan spiritual baru, bahkan dalam lanskap puisi religius yang biasanya diam dan murung. Puisi ini menggaruk kita dengan cakar filosofis yang lucu, kadang geli, kadang ngilu. Dan seperti si kucing yang melompat tanpa harus menangkap burung, kita belajar: dalam puisi yang baik, melompat saja sudah cukup untuk menyatakan sikap.

2025

*

LITANI PUTIH

Di sebuah kota yang melupakan warna,
aku membangun rumah dari butiran putih.
Rumahku berkedip di antara tembok-tembok penuh lubang,
seperti gigi-gigi ompong yang malas berkaca.

Aku menanam bunga, bukan di tanah,
tapi di punggung malam.
Bunga itu tidak berbau, tidak berputik,
hanya bergetar—seperti kunci yang kehilangan pintu.

Sebuah lingkaran lahir dari napas buntu,
bergulir menabrak bayang,
mengeja nama yang tak pernah diajarkan oleh ibu.
Orang-orang mengepungku, membawa kompas rusak,
mengukirkan sudut-sudut baru di tulang-tulangku.

Pohon-pohon putih bermigrasi ke dalam nadi,
ranting-ranting melilitkan ingatan,
menyerap hujan yang pernah jatuh sebelum kata-kata lahir.
Aku memanjat ke pucuk,
menemukan matahari berbentuk suara.

Sepasang burung putih terbang dari perutku.
Mereka tidak tahu arah,
tidak percaya kepada utara,
tidak tunduk kepada kalender.
Setiap kepakan sayap membelah udara menjadi serpihan mimpi,
mimpi yang gagal jatuh ke bumi.

Di tengah lapangan sunyi,
aku duduk di kursi yang terbuat dari gema.
Setiap kali aku bicara,
suara itu memantul kembali,
menjadi wajah-wajah yang tidak pernah aku kenal.

Aku mengarungi sungai tanpa arus,
dalam perahu putih yang bocor oleh doa-doa setengah hati.
Bintang-bintang berguguran menjadi ikan tanpa sirip,
ikan-ikan berenang ke dalam jantungku,
mengisi ruang-ruang kosong yang tak sempat aku beri nama.

Aku terus melaju,
melewati rumah yang terbalik,
melewati bunga yang menangis darah,
melewati lingkaran yang pecah menjadi jarum-jarum,
melewati pohon-pohon yang menulis elegi di udara,
melewati burung-burung yang berdebat tentang makna terbang,
melewati sunyi yang tumbuh menjadi hutan.

Di ujung,
perahuku pecah menjadi kabut.
Aku menjadi angin,
yang bahkan lupa cara menyentuh tanah.

Malang, Januari 2025
*

CATATAN YANG LURUH DARI SEBUAH DUNIA PUTIH

Aku pernah menjadi rumah.
Retakku adalah pintu.
Tembokku dipenuhi warna yang meludahiku setiap pagi.
Seekor kucing mati tidur di lotengku, bermimpi tentang gerimis tua.

Aku pernah menjadi bunga.
Tubuhku meringkuk dalam lipatan angin yang lupa jalan pulang.
Tangkai-tangkaiku adalah jari-jari yang tidak pernah saling memanggil.
Sekali waktu, seekor semut membawa sepotong hatiku,
meletakkannya di altar seorang tukang kayu buta.

Aku pernah menjadi lingkaran.
Bukan roda, bukan matahari, bukan peluru.
Hanya pusaran kosong.
Orang-orang menusukkan jarum ke tubuhku,
mencari arah, mencari doa, mencari nama ayah mereka
yang sudah hanyut bertahun-tahun lalu.

Aku pernah menjadi pohon.
Akarku tidak mencengkeram tanah.
Akarku menggantung di udara,
mencari oksigen dalam bekas napas para pendosa.
Burung-burung menggantungkan diri di rantingku,
seperti jubah-jubah upacara yang tidak pernah dipakai lagi.

Aku pernah menjadi burung.
Aku terbang tanpa sayap.
Aku jatuh tanpa tanah.
Langit menolak tubuhku,
awan-awan membenturkan aku ke sumbu matahari.

Aku pernah menjadi sunyi.
Suara-suara membangun kota di tubuhku.
Setiap gedung, setiap jalan, setiap trotoar adalah goresan di kulitku.
Ketika malam tiba, aku mendengar mereka menangis,
berusaha membakar kota,
berusaha membakar aku.

Aku pernah menjadi perahu.
Terombang-ambing di sungai yang sudah dikeringkan oleh lidah-lidah lapar.
Setiap goresan dayung adalah luka,
setiap deru angin adalah pukulan.
Aku menunggu badai.
Badai itu datang tanpa wajah,
hanya membawa kabut yang melilit leherku sampai sunyi meledak.

Sekarang, aku tidak lagi rumah.
Tidak bunga.
Tidak lingkaran.
Tidak pohon.
Tidak burung.
Tidak sunyi.
Tidak perahu.

Aku adalah sisa,
aku adalah ejaan gagal dari sebuah dunia yang pernah mengeja warna putih.

Malang, Februari 2025
*

FRAGMEN DARI SESUATU YANG TIDAK SEPENUHNYA ADA

Ada saatnya, rumah tidak lagi berarti perlindungan.
Ada saatnya, rumah hanya sebentuk pertanyaan yang disusun dari debu.
Aku adalah rumah itu: dinding-dindingku terbuat dari keheningan yang melukai, pintu-pintuku menganga seperti borok lama.
Setiap malam aku membangun kembali tubuhku,
dan setiap pagi aku runtuh dalam bayangan yang tidak pernah sempat kusebutkan.

Aku menumbuhkan bunga.
Tidak untuk keindahan, tidak untuk harum.
Aku menanam bunga seperti seseorang menyusun keraguan di keningnya.
Bunga itu putih, karena warna lain telah hilang bersama kenangan tentang kematian pertama di dunia.

Aku mengulurkan tangan,
dan menemukan diriku sendiri berubah menjadi lingkaran:
sebuah bentuk yang berjanji kepada dunia untuk tidak berakhir, namun di dalamnya hanya kosong, hanya gema, hanya gema dari gema.
Aku berjalan dalam tubuh sendiri,
berputar, tanpa tahu kapan sebenarnya mulai dan di mana akan selesai.

Aku menjadi pohon.
Bukan pohon kehidupan,
tetapi pohon kebisuan.
Ranting-rantingku menusuk langit,
mengguratkan pertanyaan yang para dewa pun enggan menjawab.
Daun-daunku jatuh,
satu per satu, menjadi kata-kata tanpa makna.

Aku menyaksikan sepasang burung putih terbang,
mereka mengepakkan sayap di antara dua dunia:
satu dunia yang telah melupakan,
dan satu dunia yang belum berani mengatakan.
Mereka terbang, bukan untuk mencari rumah,
untuk melupakan bahwa pernah dilahirkan.

Aku memasuki sunyi,
menjadi sunyi,
membiarkan diriku dibentuk oleh kehampaan yang lebih tua ketimbang waktu itu sendiri.
Sunyi bukanlah ketiadaan suara —
sunyi adalah suara yang begitu utuh sehingga tidak lagi bisa didengar.

Aku membangun perahu.
Bukan untuk berlayar, bukan untuk menyelamatkan,
tetapi untuk menanti banjir yang tidak pernah datang.
Perahu itu adalah tubuhku,
dan sungai itu adalah arus waktu yang tidak peduli.
Aku mendayung dalam kekosongan,
dan setiap dayung hanya membawa aku semakin dalam ke jantung hampa.

Dalam seluruh perjalanan,
aku mencari arti dari keberadaan:
mengapa sesuatu harus ada daripada tidak ada?
Warna putih masih juga memanggil dari tengah kegelapan yang tidak mengenal nama
Bahkan, setelah semua ini,
masih saja aku terus bertanya

Malang, Februari 2025
*

KUCING HITAM

Aku, si kucing hitam,
mata kuningku tajam seperti pisau patah,
ekorku bergoyang, menertawakan semua keseriusan manusia.

Di antara rumah-rumah warna-warni seperti dagangan pasar,
aku memilih satu: rumah putih yang tak pernah berani bicara.
Di sana aku mencakar-cakar pintunya,
bukan berharap masuk,
hanya ingin meninggalkan jejak kecil:
“Hei, aku di sini. Lebih hidup daripada semua kalian.”

Setiap hari kubawa bunga putih busuk,
kucelupkan di got,
kutaruh di depan ambang rumah itu.
Biar mereka tahu: keindahan tanpa luka hanya tipu-tipu.

Lingkaran putih menganga di tanah.
Aku melompat masuk,
berputar sampai muntah,
tapi tak satu pun pintu rahasia terbuka.

Mereka bilang ‘arti hidup’,
aku bilang ‘sirkus tikus’.

Kupanjat pohon putih,
ranting-rantingnya menari seperti orang mabuk kehilangan arah.
Di pucuk, aku teriak ke langit:
“Kalau Kau ada, turun dan berkelahi denganku!”

Tak ada jawaban.
Tentu saja.

Dua burung putih terbang lewat.
Mereka cekikikan, bersayap putih seperti pakaian pesta.
Aku pura-pura tak peduli,
tapi dalam dada kecilku:
api kecil terbakar — iri, benci, kagum, jijik — campur aduk.

Aku menemukan gumpalan putih:
kesepian yang membatu.
Kugigit, kutendang, kukoyak-koyak.
Tak ada darah. Tak ada suara.
Hanya aku dan bayanganku sendiri, bertinju sampai subuh.

Sungai kering menganga.
Kuseret potongan kayu, membuat perahu remah.
Kuletakkan sehelai bulu kumisku di dalamnya,
sebagai lambang kapal yang pasti karam.
Kutendang perahu itu ke sungai kering,
tertawa.
Karena tahu:
bahkan kekalahan pun bisa terasa nikmat kalau kau tahu dunia ini memang panggung dagelan.

Aku, kucing hitam,
yang tiap hari mendorong batu putih imajiner,
tersenyum pada keputusasaan,
dan tetap meludah di atasnya sambil menguap panjang.

Karena aku tahu satu hal yang tidak pernah mereka ajarkan di rumah-rumah itu:
Yang absurd bukanlah hidup ini.
Yang absurd adalah berpura-pura seakan ada yang bisa dimenangkan.

Malang, Maret 2025
*

Tengsoe Tjahjono lahir di Jember 3 Oktober 1958. Penyair ini pernah mengajar di Hankuk University of Foreign Studies Korea (2014-2017). Sejak pensiun dari Universitas Negeri Surabaya (2023) ia mengajar di Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 2012 mendapat penghargaan sebagai Sastrawan Berprestasi dari Gubernur Jawa Timur. Buku puisinya Meditasi Kimchi memperoleh Anugerah Sutasoma 2017 dari Balai Bahasa Jawa Timur. Penggagas cerpen tiga paragraf (pentigraf). Atas dedikasinya berkarya 40 tahun di bidang sastra ia memperoleh penghargaan dari pemerintah Indonesia melalui Badan Bahasa pada tahun 2024. Karya antologi puisi terbaru: Dari Menjerat Sepatu Sampai Membuka dan Menutup Jendela (2021), Pelajaran Menggambar Bentuk (2023), 17-an di Kampung Halaman (2024), dan Jenggirat (2025).

Check Also
Close
Back to top button