5 PUISI UDO Z. KARZI

PEREMPUAN YANG SEDANG HAMIL
DI RUMAH PANGGUNG YANG HAMPIR RUBUH
di rumah panggung yang hampir rubuh
dinding bambu yang sudah rapuh
ada pula yang sudah bubukan
mana tegaknya sudah tak lagi lurus
miring ke kanan seperti hendak rubuh
atap sengnya sudah berlubang
membuat bocor di beberapa tempat
terkadang seperti mau terbang dari atap
terkena hembusan angin kuat
hujan deras sekali
sejak sore tak juga reda
bercampur angin kencang pula
angin ribut saja bikin gelisah
astaga jika ada gempa besar!
di rumah panggung yang hendak rubuh
tengah malam ini sekarang
hujan lebat bercampur angin
di luar gelap gulita
perempuan yang resah sejak sore
ia sendirian di bilik
tidur salah
berdiri tak enak
duduk begitu pula
kala bayi dari rahimnya
menendang-nendang
dipegangnya perutnya
tersenyum-senyum sendirian
di rumah panggung yang mau rubuh
perempuan yang sedang hamil
mencoba menidurkan diri
tapi tak bisa terlelap
tapi hatinya tak tenang
diusapnya perut besarnya
di mana pula suaminya?
*
CATATAN REDAKSIONAL
Perempuan, Panggung, dan Puisi yang Tak Mau Diam
Oleh Irzi Risfandi
Di tengah gemuruh puisi-puisi urban yang sering kali sibuk dengan metafora tinggi dan diksi berlapis-lapis, Udo Z. Karzi datang dengan sajak yang tampak sederhana namun menggigit, seperti kue cucur yang renyah di luar tapi manis dan lengket di dalam. Puisi “Perempuan yang Sedang Hamil di Rumah Panggung yang Hampir Rubuh” bukan sekadar potret muram tentang kemiskinan struktural; ini adalah surat cinta yang getir kepada ketabahan perempuan, kepada tubuh yang menanggung dua nyawa sekaligus, dan kepada rumah yang nyaris menyerah tapi tetap berdiri—meski miring ke kanan.
Udo, yang lahir dengan nama Zulkarnain Zubairi pada 12 Juni 1970 di Liwa, Lampung, bukanlah penyair yang suka bersembunyi di balik metafora kabur. Sebagai jurnalis kawakan dan penulis yang telah menyabet tiga Hadiah Sastra Rancagé (2008, 2017, dan 2025), ia menulis dengan mata terbuka dan hati yang tak takut kotor. Puisi ini terasa seperti catatan lapangan seorang wartawan yang terlalu peka untuk hanya melaporkan, tapi terlalu jujur untuk memoles. Ia menulis apa adanya: dinding bambu yang bubukan, atap seng yang nyaris terbang, dan perempuan hamil yang sendirian di tengah badai.
Namun, jangan salah. Di balik kesederhanaan itu, ada ironi yang tajam dan usil. Ketika si perempuan mengelus perutnya sambil tersenyum, kita tahu itu bukan senyum bahagia, tapi senyum yang menantang: “Lihat, aku masih bisa tersenyum meski dunia nyaris runtuh.” Dan ketika ia bertanya, “di mana pula suaminya?”, itu bukan sekadar pertanyaan retoris, tapi tamparan halus kepada sistem yang sering kali abai terhadap perempuan.
Sebagai penyair yang juga aktif dalam dunia jurnalistik dan budaya, Udo Z. Karzi telah menerbitkan berbagai karya, termasuk kumpulan puisi “Mak Dawah Mak Dibingi” (2007) dan novel “Negarabatin: Negeri di Balik Bukit” (2022). Ia juga dikenal sebagai pendiri Pustaka LaBRAK, sebuah penerbit yang fokus pada literasi dan budaya Lampung. Keterlibatannya dalam berbagai aspek kebudayaan menunjukkan komitmennya terhadap pelestarian dan pengembangan sastra daerah.
Puisi ini, dengan segala kesederhanaan dan kejujurannya, mengingatkan kita bahwa sastra tidak harus rumit untuk menjadi dalam. Kadang, yang paling menggugah adalah yang paling dekat dengan kenyataan, yang paling jujur dalam menggambarkan luka, dan yang paling berani dalam menyuarakan yang tak terdengar. Udo Z. Karzi, dengan puisi ini, mengajak kita untuk melihat, merasakan, dan—yang terpenting—tidak diam.
2025
*
KENANGAN
bertahun-tahun lamanya
pohon ini bercabang
dengan lebatnya
dalam mimpiku
tapi yang tampak sekarang
dari beranda rumahku
lebih hijau dari hijaunya
kenangan
nikmati saja matahari
selama masih bisa
sebelum hujan datang
tak terbayangkan!
*
BERPEGANGAN TANGAN TAK LEPAS
kita berlari-lari kecil
menuruni tangga bukit
sambil berpegangan tangan
hujan bertambah lebat
membasahi bumi
kita bersicepat menuju
rerimbunan repong1
lalu berteduh di pondok
berpegangan tangan di tengah hujan
pakaian kita basah kuyup
tapi tubuh terasa hangat
hangat oleh tangan
berpegangan tak lepas
Catatan
1repong: sistem berkebun tradisional Lampung yang ramah lingkungan
*
TAK BISA TIDUR
bayangmu senantiasa muncul
senyummu tak juga menghilang
bersicepat kututup wajah
enggan menentang langit-langit kamar
kucoba berbaring miring
warna putih di dinding bilik
aku kira bayangmu hilang
aduh, ternyata ada wajahmu lagi
cepat-cepat aku telungkup
menyembunyikan muka di bantal
hati keras berdegup-degup
napas menghembus kuat
–di luar sunyi
malam melarut menyembulkan kelam
embun tabur ke segala penjuru
ke pucuk-pucuk daun
ke atap lampu
dan tetanaman
dingin sekali!
*
BERPALING
sepanjang malam
aku tak dapat menutup mata
walau sedetik
di langit-langit bilik
bermunculan mukamu, abang
tapi tak lama
terhalang oleh yang lain
kamu
yang lain
kamu
yang lain
berganti-ganti
kau, abang
seperti setumpuk batu
siapa yang kau kehendaki?
aduh, abang
engkau acap membuatku
bimbang
kini kurasa mungkin
tak menyalahi jika aku
berpaling
*
BIODATA
Udo Z Karzi, lahir 12 Juni 1970 di Liwa, Lampung. Ia menyelesaikan sarjananya di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung (1996). Penerima Penghargaan Kamaroeddin 2014 dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung ini menulis dalam bahasa Lampung dan Indonesia. Tiga kali memenangkan Hadiah Sastra Rancage (2008, 2017, dan 2025). Buku puisinya: Momentum (2002), Mak Dawah Mak Dibingi (2007), Setiwang (2020), dan Kesibukan Membuat Sejarah (2025). Novelnya, Negarabatin: Negeri di Balik Bukit (2022) masuk lima besar nomine Penghargaan Sastra 2022 Kemendikbuddikti. Buku terbarunya: Yang (A)gak Serius dan yang Lucu-Lucu tentang Jurnalisme, Sastra, Literasi (2023), Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (novel, 2024), dan Minan Lela Sebambangan (kumpulan cerpen, 2024).