Puisi

5 PUISI WIJATMOKO

PAMIT KE UJUNG LANGIT

Pergi ke langit membawa pesan dari ibu
berpamitan menghadap pemilik kalbu
ke langit tujuh hendak kutuju
tanpa motor tua atau apa jua
ketika ibu bertanya bagaimana
jawabku satu saja
lewat tengah malam ku bersendiri
duduk di atas sajadah
melalui pintu di dalam sujudku

ibu menyambung tanya
bagaimana pulangnya
jawabku satu saja
jika Dia mengizinkanku kembali ke dunia
sedangkan itu mustahil bagi kita
sementara aku manusia biasa

kepergianku adalah kepulangan itu sendiri
pesan akan kusampaikan kepada Ilahi
atas khilaf kedua orang tua, harap diampuni
dan di alam akhirat ini
pertemukanlah lagi kami

Tanjung Priok, 9 Juni 2025


CATATAN REDAKSIONAL

Pamitan yang Terlalu Manis di Ujung Langit

Oleh : IRZI Risfandi

Puisi “Pamit ke Ujung Langit” karya Wijatmoko—atau lebih akrab kita panggil dengan nama lahirnya, Wijatmoko Bintoro Sambodo—mungkin terdengar seperti doa panjang yang dicetak jadi puisi. Ada ibu, ada sajadah, ada perjalanan mistis ke langit ketujuh, dan tentu saja ada kepulangan yang sebenarnya tak pernah kembali. Di atas kertas, puisi ini punya niat baik: ia ingin merangkum rasa bakti seorang anak sekaligus kerinduan eksistensial menuju Sang Pemilik Kalbu. Tapi entah kenapa, membacanya membuat saya seperti sedang mendengar anak tetangga yang baru selesai nonton sinetron religi, lalu buru-buru menuliskan refleksi sebelum sempat mencerna betul. Ada kelembutan, iya. Ada pengabdian, tentu. Tapi puisi juga butuh sedikit “kejailan” agar tak terasa terlalu serius, apalagi kalau ditulis oleh penyair berpengalaman dengan sepuluh buku tunggal di raknya.

Keunggulan utama puisi ini ada pada niat tulus yang terekam jelas: hubungan anak–ibu sebagai inti spiritualitas. Si aku liris tidak memilih kembang api atau guruh untuk menggambarkan “pergi ke langit”, melainkan sesuatu yang sederhana: duduk di atas sajadah, pintu sujud sebagai portal. Itu cantik dan membumi, dan barangkali bagian ini yang paling kuat dalam puisi. Ia tidak sok mistis, tidak pula pamer diksi. Wijatmoko justru menekan pedal “kesahajaan”, membuat kita ingat bahwa perjalanan menuju Tuhan bukanlah tiket business class dengan lounge senyap, tapi justru halus dan hening. Itu kelebihan yang harus saya akui—puisi ini berhasil menjaga kelembutan rasa meski topiknya berat.

Namun, mari kita jujur: setelah bait pertama, puisi ini mulai terasa repetitif. Pertanyaan ibu–jawaban anak–pertanyaan lagi–jawaban lagi—seperti skrip wawancara yang terlalu panjang. Tidak ada dinamika dramatik yang signifikan, tidak ada ketegangan yang naik turun. Padahal, dengan judul “Pamit ke Ujung Langit”, kita mengharapkan sesuatu yang lebih dramatis, lebih liar, atau setidaknya lebih sinematik. Bukankah “ujung langit” terdengar seperti lokasi syuting film superhero? Tapi yang kita dapat hanyalah jawaban “satu saja” dua kali berturut-turut. Kalau ini ujian lisan, dosen mungkin sudah menurunkan nilai karena jawaban terasa copy-paste.

Masalah lain ada pada imaji. Wijatmoko adalah penyair yang produktif—ia bahkan lolos kurasi Pertemuan Penyair Nusantara XIII 2025—tapi di sini ia bermain terlalu aman. Imaji “motor tua” misalnya, muncul sekilas lalu hilang, seperti cameo yang tidak tahu harus ngapain. Padahal motor tua bisa jadi pintu masuk yang menarik, sebuah kontras antara spiritualitas dan keseharian, tapi akhirnya hanya numpang lewat. Begitu pula dengan “pesan akan kusampaikan kepada Ilahi”—bagian ini terdengar klise, lebih seperti khutbah daripada puisi. Jika Wijatmoko berani menambahkan sedikit humor atau paradoks, misalnya pesan yang tercecer di jalan tol langit atau doa yang terselip di saku celana, puisi ini bisa lebih segar dan tak terlalu seragam nadanya.

Meski begitu, jangan lupakan satu hal: Wijatmoko menulis dengan kesetiaan pada tradisi spiritual dalam sastra Indonesia. Dari Hamzah Fansuri hingga Sapardi, kita memang terbiasa dengan metafora pulang sebagai mati, pamit sebagai doa, sujud sebagai jalan. Ia tidak sedang mencari kejutan radikal, melainkan melanjutkan aliran itu dengan caranya sendiri. Kritik saya: kalau sudah memilih jalur klasik ini, maka tantangannya adalah bagaimana membuatnya relevan dengan zaman—mungkin dengan menambahkan layer ironis, atau menyelipkan refleksi psikologis yang lebih subtil. Puisi ini manis, bahkan terlalu manis, seperti teh hangat yang kebanyakan gula. Enak di awal, tapi bikin haus di belakang. Jadi, pamitlah dengan lebih berani, Wijatmoko. Langit ketujuh pasti tetap menerima, tapi pembaca di bumi butuh sesuatu yang lebih dari sekadar doa yang rapi.


SUARA PUSARA

Sepi senyap
serentak suasana kedap
segala keriuhan seketika dilalap
pekuburan dengan batu nisan tertancap

dalam bisu pusara bersuara
aku sanggup membungkam ingar bingar dunia
menelan perhatian manusia
tak peduli siapa pemilik nama

semua abai pada masanya
tabiat insan adalah lupa
peziarah berbondong-bondong sesaat saja
makam bersalin rupa
berkarib rumput
merana

Tanjung Priok, 22 Desember 2024


GELANDANGAN

Dinding bersepuh debu dan jelaga
siaga menjaga beberapa raga
merana ditinggalkan jiwa
berkelana ke mana-mana
sementara
matahari menggeliat menghangatkan hari
dunia sibuk berlari-lari mengejar mimpi
sementara
tubuh-tubuh kumuh pasrah dalam mimpi
mereka tentu tak menghendaki
terkapar begini

sejurus waktu salah seorang lelaki
tertampak menggembalakan tatapan
dari emper pertokoan
berteman segelas kopi di sisi kanan
mimpinya telah berakhir
saatnya menghirup realitas getir

Bogor, 29 Desember 2024


CINTA TAK PERNAH TERLAMBAT

Pertemuan demikian singkat
tidak tentang senja atau fajar semburat
sapa beradu ketika pagi merona
aku dan engkau yang kusebut purnama
melontarkan cahaya
menitikkan jingga di ruang rongga bermuram durja
dingin pun suram cukup lama

tanpa engkau nyana
seminar lembayung itu masih bernyala
sebagaimana waktu menyempatkan kita bersua
aku masih memelihara di pojok relung dada

perjalanan masa sungguh menjarakkan kita
kusangka itulah akhir cerita
namun cinta tak mengenal terlambat
bukan seperti rembulan kesiangan hingga memucat
sebab kepemilikan bukan menjadi syarat
mencintaimu

Bogor, 30 Januari 2025


DEMONSTRASI

Media massa memajang massa berunjuk rasa
slogan dan poster memuat isyarat
atas nama rakyat
jalanan padat
orang-orang menyemut disambut mentari menyengat

sejumput rumput kali ini tak turut
apatisme bergayut
padaku
di depan berita hangat
aku hanya bernyali menimpali dalam hati:
nikmatilah demokrasi
kebijakan penguasa negeri
bukankah andil pilihan kalian sendiri
suara terbeli
atau popularitas instan dan sesuap nasi

Bogor, 1 Maret 2025


BIODATA :

Wijatmoko Bintoro Sambodo, berasal dari Magelang dan kini menetap di Jakarta Utara. Ia telah menerbitkan sepuluh buku tunggal dengan genre pantun, prosa, dan puisi, serta terlibat dalam 30 buku antologi bersama penulis lain. Buku terbarunya berjudul Seuntai Syair Hujan. Karya-karyanya juga lolos kurasi pada ajang Pertemuan Penyair Nusantara XIII 2025 di Jakarta, di mana ia hadir sebagai peserta undangan. Sebelum menekuni dunia kepenulisan, Wijatmoko menggemari bela diri, berenang, dan membaca artikel psikologi untuk menjaga keseimbangan jiwa.
Instagram: @ikowijatmoko | Facebook: Iko Wijatmoko Bintoro | WA/HP: 0857-3605-8700

Check Also
Close
Back to top button