Puisi

5 PUISI DODDI AHMAD FAUJI

VOX POPULI VOX DEI

Sambil mempelajari
teknik meracik bom molotov
aku berfirman di pohon linden
tempat tawon gemar bersarang
kami siap menjadi gerombolan ronin

Maka wahey saudara satu hari nurani
singsingkan jauh-jauh ketakutanmu
asah kembali jurus-jurus pamungkas
karena nyata rakyat tak punya senjata
untuk berhadapan dengan aparat
dengan anjing peliharaan koruptor

Ketika penguasa dikendalikan cukong
mereka jadi begitu gemar berbohong
mereka telah tuli, buta, dan bisu, untuk
mendengar, melihat, dan mengucapkan
kebenaran yang menyala di hatinya juga

Jangan takut, kawan!
suara rakyat adalah firman Tuhan
sekejam dan sekuat apapun Orde Baru
tak berkutik melawan Kehendak Tuhan
yang bersarang di hati nurani Rakyat
kelak meledak bersama bom molotov
yang telah kuracik hingga matang
jika kebenaran terus-terusan
mereka kangkangi!

Bandung, 2025
*

Bom Molotov di Taman Puisi: Ketika Kata-Kata Jadi Senjata

Oleh Irzi

Puisi “Vox Populi Vox Dei” karya Doddi Ahmad Fauji adalah semacam kombinasi antara khutbah jalanan, manifesto revolusioner, dan panduan DIY meracik bom molotov versi pujangga. Bukan dalam artian literal, tentu saja — ini puisi. Tapi gaya bicara Doddi terasa seperti suara yang menyeruak dari celah-celah poster usang demonstrasi, menyala dengan retorika membara dan simbolisme yang kasar namun efektif. Kalimat pembuka “sambil mempelajari teknik meracik bom molotov” langsung menghentak pembaca seperti lagu punk yang tidak menunggu intro. Ia memadukan kekerasan simbolik dengan tempat manis seperti pohon linden, menciptakan kontras imajinatif yang absurd tapi menarik: dari situ kita tahu ini bukan puisi yang ingin berdamai-damai saja.

Di bait-bait selanjutnya, Doddi tidak malu-malu menggunakan diksi yang lugas dan bahkan kasar untuk menyatakan sikap politisnya. Kalimat seperti “rakyat tak punya senjata untuk berhadapan dengan aparat” menunjukkan kesadaran struktural yang pahit — puisi ini sadar bahwa kekuasaan tidak hanya bersifat politis, tapi juga militeristik dan brutal. Istilah “anjing peliharaan koruptor” pun seperti terlempar dari halaman koran rakyat murka, bukan dari halaman puisi klasik. Tapi begitulah gaya Doddi — dia sengaja mengaburkan batas antara puisi dan pamflet, antara estetika dan agitasi, lalu berdiri di tengahnya sambil menyeringai: “Jangan takut, kawan!”

Apa yang menarik adalah bagaimana Doddi menyeimbangkan antara kemarahan dan iman — “suara rakyat adalah firman Tuhan.” Di sinilah puisinya melompat dari sekadar orasi menjadi bentuk spiritualitas politik. Konsep “Vox Populi Vox Dei” yang dalam sejarah digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan demokratis, di tangan Doddi menjadi mantra subversif. Ia menyandingkan kekuatan rakyat dengan Kehendak Tuhan — semacam doktrin revolusioner suci. Ini bukan puisi yang hanya ingin berteriak, tapi puisi yang ingin membakar altar kekuasaan dengan obor suci dari hati nurani.

Namun, kekuatan besar puisi ini juga menjadi tantangan: seberapa jauh puisi bisa dan boleh menyerukan bentuk perlawanan yang (di permukaan) tampak destruktif? Apakah metafora bom molotov bisa tetap dibaca sebagai simbolik dan tidak literal di zaman yang gampang sekali tersulut oleh paranoia? Di sinilah posisi puisinya jadi penting: ia berdiri di pinggir, menegangkan batas antara kritik dan agitasi, antara estetika dan militansi. Tapi justru di situ letak keberanian Doddi. Ia tidak pura-pura manis. Puisinya tidak bermain di taman bunga, tapi di jalan yang penuh batu dan gas air mata.

“Vox Populi Vox Dei” adalah puisi yang sadar kelas, sadar sejarah, dan sadar resiko. Ia bukan sekadar puisi marah; ia adalah puisi yang tahu kenapa marah itu perlu. Dalam semesta sastra Indonesia hari ini, keberanian semacam ini — untuk menulis bukan hanya yang indah, tapi juga yang genting — adalah sesuatu yang tak boleh diabaikan. Sebab, seperti kata Doddi, ketika kebenaran terus-terusan mereka kangkangi, kita butuh lebih dari sekadar puisi indah — kita butuh puisi yang mengguncang. Dan puisi ini tahu betul cara menyalakan sumbunya.

IRZI : 2025
*
Puisi lainnya karya Doddi Ahmad Fauji

MATAHARI

Sesekali matahari memperpanjang waktu nyala
namun akan kembali pada rotasinya yang pasti
seperti itulah semestinya para penguasa
sesekali saja hilaf, lalu bertaubat penuh seluruh

Tak ada yang sempurna di kolong langit ini
Karena aku akan menempuh jalanan
yang dipagari kawat berduri
dibentengi panser dan gas air mata
kunyalakan matahari di ubun-ubun
kuasah kata-kata setajam belencong
kesigapan telah kusiagakan
kewaspadaan dikobarkan
hingga matahari meledak
membakar rumah kaum lancung!

Bandung, 2025
*

IDUL FITRI

Telah berulang-ulang kita menerbitkan
hati yang fitrah di sumbu fajar
tapi selalu kembali remang
jiwa yang tentram kembali temaram

Dalam kelam menyala api amarah
wajah dan daun telinga memerah

Setiap agama memiliki
bismillah-nya masing-masing
tiap umat agama apapun
punya Abu Lahab-nya
yang tak terperi

Namun jangan mudah menyerah
menyalakan fitrah dan bismillah
saat meradang menerjang
ke ruang gelanggang.
moga menang, kawan
aamiin!

Bandung, 2025
*

DANANTARA

Aku melihat Indonesia yang murung
rontok tulang-beluangnya

Jendral Nyodonyowo
Prof. Sutabes (sudah tapi belum sih)
Habib Ndas yang gemoy
tak berhasil menjalankan amanat rakyat
malah mendirikan kandang sapi perah
bernama Danantara itu kan

Tak perlu menghabiskan waktu
membuktikan yang sudah pasti
pengalaman adalah guru terbaik
memberitakan, mereka itu Raja Mangkrak!

Adakah kalian ragu Danantara
tidak akan mangkrak?

Maka kebenaran yang mana lagikah

yang hendak kalian dustakan?

Bandung, 2025
*

MERINDUKAN KOKOK AYAM JANTAN

Gema adzan awal selalu berkumandang, sebuah pagi
yang sunyi selalu, aku mulai lagi mereguk kopi tanpa gula
sebuah amanat yang diwanti-wanti para tabib otodidak
apakah lambungku, apakah ususku, apakah jantungku
bisa ikut menopang aliansi angin perubahan yang deras
bahwa tak ada dinasti yang abadi, bahwa para elite
akan kembali saling bertikai di antara kecamuk judi online
sebuah pemerintahan hancur reputasinya oleh dengung netizen

Sebuah syair lagu kebangsaan tidak kontekstual lagi
seluruh jargon tentang republik tak letih menggumamkan
akar-akar persatuan yang justru dicerabut oleh prilaku elitnya
melahirkan majas oksimoron yang luput dalam puisi
para penyair festival, yang menyerupai perangai jelangkung
datang dengan ongkos sendiri pulang tak dikasih honor

Revolusi permanen diidam-idamkan para kontestan
yang kalah berebut kursi di Senayan, tak kebagian bancakan
tentang kucuran anggaran RAPBN. Surat Yasin dan Ayat Qursi
salah dilafalkan, salah dimaksudkan, salah difungsikan
aku mereguk kopi lagi, menyudahi gerutuan yang parau

Marwah nasionalisme sebenarnya telah bangkrut
panggilan alam dan kekuatannya yang tak tertandingi
membangkitkan arwah-arwah raja lokal dari tidur panjang
diiringi lirik-lirik harismatik dan sabda para futurolog
para rosul yang tidak menyadari kehadiran dirinya
telah memasyarakat bersama bibit-bibit bencana alam
juga jeratan para kapitalis hitam yang tak mengenal bangsa

Sebuah festival sastra mempertanyakan dan dipertanyakan
apakah ruh puisi telah dihidupkan dan dikobarkan
tentang lawan ada ialah tiada, lawan hitam tidak hitam
buku-buku diterbitkan meski kian kehilangan pembaca
puisi-puisiku segera ditransformasikan oleh suno
menjadi bunyi-bunyi yang manis sekaligus kejam
bersama erupsi Merapi di Sumbar dan di Jateng
kucing kampung yang kelaparan namun pemalas
menghardikku dengan ekor matanya yang sayu

Lamat-lamat suara tahrim dari berbagai masigit
seperti berdendang merayu Tuhan yang jauh
pada kilometer ke 17 sebuah puisi akan berakhir ditulis
kita menuding orang lain Yahudi padahal kita juga Yahudi
sebuah muruah yang memicu akar kerakusan
dalam berebut mengumpulkan pundi-pundi
seperti gedung-gedung berlomba mencakari langit
hutan di tengah kota jadi miniatur yang ditertawakan

Aku menyaksikan para walikota dan bupati
digiring ke hotel prodeo. Langit makin angkeb
dan tembang-tembang bernada pemberontakan
dari para rasul yang tak menyadari kehadirannya
menjadi partitur-partitur yang mulai dibaca
sekalipun mereka buta not balok

Tidak ada kokok ayam jantan di kota-kota
yang mengingatkan matahari bahwa
sudah waktunya menerbitkan pagi
sebelum kesadaran yang menyala
kembali redup, di sini, di tanah katulistiwa

Bandung, 2025
*


Doddi Ahmad Fauji menulis puisi sejak 1990-an, dan puisinya dimuat di berbagai media massa cetak lokal maupun nasional pada periode 1991 – 2.000 dengan cukup produktif, sehingga karyanya termasuk yang dipilih masuk ke dalam antologi ‘Angkatan 2000 dalam Karya Sastra’ suntingan Korrie Layun Rampan.

Buku-buku terkait puisi yang telah terbit antara lain:
1. Yth. Nona Yumar (Madrasah Budaya, 1997)
2. Bukan Ken Arok (Teu nanaon da teu kunanaon) – (Madrasah Budaya, 1997)
3. Poeima (Madrasah Budaya, 1997)
4. Aku Cinbta Pada-mu (Pustaka Latifah, 2006) dicetak ulang dengan judul: Amor Memoar Traktat (SituSeni, 2016)
5. Neng Li (ASASUPI, 2015)
6. Jangjawokan (SituSeni, 2016)
7. Singlar (SituSeni, 2024)
8. Menghidupkan Ruh Puisi (SituSeni, 2018)

Check Also
Close
Back to top button