Vitamin D adalah Hormon
Menurut International Conference of Photobiology (ICP) tahun 2009, 50 persen populasi manusia modern mengalami defisiensi vitamin D. Hal ini diakibatkan oleh perubahan gaya hidup sejak Revolusi Industri, dan diperparah oleh publikasi bahaya sinar matahari bagi kesehatan kulit — dan hal ini ditentang oleh banyak peneliti.
Oleh : Zaenal Muttaqin
JERNIH– Vitamin D adalah satu-satunya vitamin yang diproduksi di dalam tubuh organik. Saat kulit disiram cahaya matahari, sinar ultraviolet masuk ke jaringan epidermin dan melakukan fotolisa keluarga kolesterol 7-dehydrocholesterol dan mengubahnya menjadi vitamin D3 setelah proses isomerasi.
Kenyataan ini membuat vitamin D lebih layak disebut hormon — bukan vitamin — selain karena diproduksi tubuh juga karena masuk keluarga kolesterol. Itu bukan satu-satu cerita menarik tentang vitamin D yang mungkin asing di telinga, masih banyak cerita menarik lainnya soal vitamin D di bawah ini.
Awal mula
Penelitian tentang manfaat sinar matahari bagi kesehatan sudah berlangsung lama. Pada 1822 Jedrzej Sniadecki menemukan hubungan antara penyakit rakhitis dan defisiensi sinar matahari. Penemuannya dibuktikan selama puluhan tahun oleh berbagai institusi kesehatan yang membuktikan bahwa berjemur dapat mengurangi serangan rakhitis.
Berikutnya, seorang dokter asal Denmark bernama Niels Ryberg Finsen memiliki hipotesis bahwa sinar matahari memiliki manfaat dan memberi pengaruh penting bagi organisma untuk menjadi lebih kuat. Pada 1895 dia memulai eksperimen klinis efek matahari terhadap kesehatan, di antaranya terhadap penyakit lupus vulgaris. Finsen berhasil membuktikan bahwa fototerapi berpengaruh positif terhadap penyakit lupus vulgaris, dan percobaannya ditiru banyak peneliti dan berhasil mengurangi penyakit lupus vulgaris di berbagai negara. Penemuan Finsen ini membawanya mendapat Nobel di bidang medis pada tahun 1903.
Meski rakhitis, beri-beri, dan berbagai penyakit defisiensi vitamin sudah dikenal berabad-abad, penyebab semua penyakit itu tidak terpahami hingga abad ke-20. Liebig, Lunin, Eijkman, Hopkins, Suzuki, dan Funk sudah mengidentifikasi adanya senyawa tertentu yang berpengaruh terhadap kesehatan, tapi baru pada tahun 1912 istilah “vitamin” dikenal ketika Casimir Funk mengatakan bahwa terdapat ‘vital amine’ pada makanan yang berpengaruh positif pada kesehatan dan kelangsungan hidup. Elmer McCollum dan Marguerite Davis, yang pada tahun 1913 berhasil menemukan ‘faktor’ spesifik pada mentega dan minyak ikan yang dapat mencegah gangguan mata, sepakat untuk menggunakan istilah Funk dan memberinya nama “vitamin A”. Segera setelah itu vitamin B, vitamin C, dan vitamin D ditemukan.
Sejarah penemuan vitamin D
Vitamin D ditemukan atas jasa Edward Mellanby dan Elmer McCollum, yang dalam dua eksperimen terpisah berhasil membuktikan bahwa rakhitis terkait dengan vitamin baru yang diberi nama vitamin D. Adapun yang berhasil menemukan hubungan vitamin D dengan matahari adalah Harry Steenbock yang dijuluki “the trapper of the sun” (penjerat matahari).
Hingga tahun 1900, sudah diketahui secara umum bahwa penderita rakhitis memiliki tulang yang kadar mineralnya rendah, terutama kalsium dan fosfat; tetapi pemberian garam berkalsium pada penderita rakhitis tidak mampu memperbaiki keadaan. Seorang dokter menulis bahwa: “tampaknya darah kekurangan sesuatu yang memungkinkan garam-garam itu mengendap di tulang rawan yang sedang tumbuh” (Parry, 1872). Karena rakhitis banyak ditemukan di kota-kota belahan bumi utara, beberapa peneliti menduga bahwa hal tersebut disebabkan oleh kurangnya paparan sinar matahari (Palm, 1890); juga ada beberapa tradisi lokal yang mengatakan minyak ikan kod dapat menyembuhkan rakhitis (Trousseau 1873).
Ketika MCollum menemukan vitamin D pada 1921 setelah melakukan percobaan dengan minyak ikan kod pada tikus rakhitis, pada waktu hampir bersamaan Huldhinsky di Austria (1919) dan Harriette Chik di Inggris (1922) menemukan bahwa anak-anak penderita rakhitis dapat disembuhkan dengan berjemur di bawah sinar matahari musim panas. Hal ini menghadirkan teka-teki: bagaimana mungkin dua stimuli berbeda memberi dampak yang sama?
Ditemukannya teknologi sinar-x oleh Wilhelm Conrad Roentgen pada 1895, telah membuka kesempatan bagi para peneliti untuk melakukan eksperimen dengan cahaya matahari secara langsung maupun sinar ultraviolet buatan. Hume dan Smith di Inggris (1924) serta Steenbock di Amerika (1924) berlomba memecahkan teka-teki tersebut di ruang laboratorium. Mereka berhasil membuktikan bahwa tikus yang menderita rakhitis dapat disembuhkan dengan paparan sinar ultraviolet buatan.
Steenbock melanjutkan penelitiannya pada makanan organik. Sebelumnya, sejak tahun 1916, dia telah meneliti bahwa kambing yang terkena sinar matahari di musim panas memiliki kadar kalsium yang seimbang, namun kadar kalsiumnya menurun manakala memasuki musim dingin dan tidak terpapar matahari. Dengan latar belakang ini, Steenbock bereksperimen memberi iradiasi ultraviolet pada makanan organik dan menemukan bahwa makanan tersebut kini dapat menyembuhkan tikus rakhitis (1925).
Steenbock menyimpulkan bahwa hal ini terkait dengan komponen unsaponifiable lipid yang terdapat pada makanan ataupun kulit, yang diaktivasi oleh sinar ultraviolet menjadi zat anti-rakhitis aktif (vitamin D). Penemuan inilah yang membuat Steenbock dijuluki profesor “penjerat matahari”.
Meskipun gagasan tentang vitamin D sudah semakin jelas dan hanya terdapat pada fraksi unsaponifiable, struktur vitamin D baru diketahui pada tahun 1930 ketika para peneliti Inggris berhasil mengisolasi vitamin D2 dari iradiasi egosterol (Askew, Bourdillon, Bruce, Jenkins and Webster, “The Distillation of Vitamin D”, Royal Society of London, 1930). Windaus dan Linsert menemukan vitamin D1 merupakan campuran vitamin D2 dan lumisterol. Pada 1973 Windaus juga berhasil mengisolasi 7-dehidrokolesterol, dilanjutkan pada 1937 berhasil mengidentifikasi vitamin D3.
Vitamin D3 adalah bentuk alami vitamin D yang terbentuk melalui iradiasi ultraviolet-B pada fraksi 7-dehidrokolesterol di kulit manusia. Pada 1978, Michael F. Holick berhasil membuktikan bahwa previtamin D3 terbentuk di kulit oleh penyinaran ultraviolet-B (UVB); dilanjutkan oleh Esvelt yang berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi vitamin D3 dengan teknik spektometri.
Matahari dan vitamin D
Radisi sinar matahari memiliki spektrum yang lebar, mulai dari yang bergelombang pendek seperti sinar gamma, sinar-x, dan ultraviolet; hingga yang bergelombang panjang seperti cahaya (visible light), infrared, dan microwaves. Sebagian besar radiasi matahari, terutama yang bergelombang pendek, dinetralisir di atmosfer oleh lapisan ozone. Adapun radiasi yang mencapai permukaan bumi sebagian besar merupakan gelombang panjang, seperti cahaya (39 ersen) dan infrared (56 persen); ditambah ultraviolet-B (0,1 persen) dan ultraviolet-A (4,9 persen) yang merupakan gelombang pendek.
Spektrum cahaya yang dipancarkan matahari
Sinar matahari tersedia secara melimpah dan gratis. Kita yang berada dekat ekuator bisa mengakses sinar matahari sekitar 12 jam sepanjang tahun, berbeda dengan mereka yang tinggal di wilayah empat musim di belahan bumi utara atau selatan. Meski demikian, menurut International Conference of Photobiology (ICP) tahun 2009, 50 persen populasi manusia modern mengalami defisiensi vitamin D. Hal ini diakibatkan oleh perubahan gaya hidup sejak Revolusi Industri, dan diperparah oleh publikasi bahaya sinar matahari bagi kesehatan kulit — dan hal ini ditentang oleh banyak peneliti.
Vitamin D tidak dapat dipenuhi melalui asupan makanan — kecuali suplemen vitamin. Meski vitamin D konon dapat ditemukan di dalam susu, minyak salmon, dan beberapa jenis jamur, namun jumlahnya sangat kecil sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan manusia. Lain halnya dengan produksi vitamin D melalui proses ‘fotosintesis’ (fotolisa) pada kulit manusia yang terpapar sinar matahari, dalam hitungan kurang dari 30 menit kebutuhan tubuh dapat tercukupi.
Perlu diketahui bahwa sinar ultraviolet-B (UVB) tidak dapat menembus kaca sehingga paparan sinar matahari di dalam rumah tidak akan menghasilkan vitamin D. Demikian halnya pakaian yang menutupi tubuh dan sunblock (SPF-30) dapat mengurangi penyerapan UVB pada kulit manusia hingga 98 persen, yang secara signifikan mencegah pembentukan vitamin D. Hanya kulit terbuka yang terpapar sinar matahari yang dapat menghasilkan vitamin D.
Saat kulit disiram cahaya matahari, sinar UVB masuk ke jaringan epidermin dan melakukan fotolisa 7-dehydrocholesterol (provitamin D3) dan mengubahnya menjadi previtamin D3, yang selanjutnya mengalami isomerisasi menjadi vitamin D3 dalam jangka waktu 2–3 hari. Meski kita terpapar sinar matahari terus-menerus, tubuh tidak akan kelebihan vitamin D karena previtamin D3 bersifat fotolabil dan mengakibatkan isomerisasi previtamin D3 tidak akan menghasilkan provitamin D3 melainkan lumisterol (Holick, 1987).
Kontroversi: hormon atau vitamin?
Pada awalnya penemuannya, defisiensi vitamin D memiliki kaitan erat dengan penyakit tulang rakhitis, yang sudah diketahui terkait dengan kalsium dan melibatkan dua fungsi organ yakni usus dan ginjal. Karena itulah sudah sejak lama Windaus (1936) mengasosiasikan vitamin D dengan steroid.
Fungsi utama vitamin D, sebagaimana sudah diketahui umum, adalah membantu penyerapan kalsium pada tulang dan gigi sehingga menjadi kuat dan tidak keropos, serta memperkuat sel otot. Kekurangan vitamin D mungkin tidak sampai menyebabkan rakhitis, akan tetapi Holick menyatakan bahwa defisiensi vitamin D bukan saja berakibat pada kesehatan tulang, namun juga berdampak pada infertilitas, bayi prematur, stunting, resiko terkena diabetes tipe 1 dan 2, resiko terkena kanker, melemahnya autoimun, hingga penurunan kognisi. Mengapa bisa demikian?
Belakangan baru diketahui bahwa peran seco-steroid vitamin D dalam gugus hydroxy (1,25-dihydroxycholecalciferol) tidak berlaku sebagaimana layaknya fat-soluble nutrient pada vitamin sebagaimana dipikirkan banyak orang, tetapi lebih berperan sebagai hormon (Kodicek 1974; Norman 1979; Merke et all 1986). Kenyataan ini menggelitik Stumpf untuk mencari jejak Vitamin-D Receptor (VDR) di dalam tubuh manusia melalui radiolabeled 1,25-dihydroxyvitamin D3. Apa yang ditemukannya kemudian mengubah persepsi kita seutuhnya tentang vitamin D.
Hampir seluruh sel manusia, dari kepala hingga kaki, dari otak hingga ginjal, memiliki Vitamin-D Receptor (VDR). Hal itu menimbulkan pertanyaan besar atas fungsi vitamin D bagi tubuh. Baru belakangan diketahui keberadaan vitamin D di dalam tubuh tidak melulu terkait kalsium dan tulang, tetapi memiliki fungsi yang lebih besar dari itu.
Vitamin D adalah hormon yang berperan besar dalam sistem reproduksi (Walters 1981; Merke 1983; Schleicher 1989, Stumpf dan Denny 1989; Majumdar 1994), di mana VDR dan fungsi terkait ditemukan di plasenta, uterus, oviduct, ovarium, mammary gland, testis, epididimis, dan prostat. Vitamin D juga berperan besar dalam proliferasi dan diferensiasi sel (Urban & Schedl 1969; Birge dan Alpers 1973; Hosomi 1983) dan jejaknya ditemukan pada sel kulit, sel inestinal crypts, serta pada sel osteoblas dan odontoblas (Stumpf 1979, 1980; Kim 1985). Vitamin D juga berperan dalam regulasi autoimun (Stumpf 1980; Provedini 1983), sekresi TSH (Sar 1981), sekresi insulin (Clark 1981), atrial natriuretis (Bidmon 1991), tyrosin hydoxylase mRNA (Puchacz 1995), gastrin (Stumpf 1979; Kurose 1988), dan banyak peran lainnya. Lebih dari 50 target tissue terkait dengan keberadaan vitamin D berhasil diungkap oleh Stumpf.
Secara konsep, vitamin adalah zat yang dibutuhkan tubuh sebagai mikro-nutrisi tetapi tidak bisa diproduksi organisma (tubuh) dan karenanya harus dipenuhi melalui intake makanan. Hal ini berlaku untuk vitamin D1 dan D2 yang terdapat dalam beberapa tumbuhan dan hewan dalam skala kecil. Adapun hormon adalah zat yang diproduksi di dalam tubuh dari keluarga kolesterol dan berperan sebagai kurir kimiawi yang bekerja diam-diam dalam berbagai proses metabolisme tubuh. Ini hanya berlaku untuk vitamin D3. D3 adalah pure hormon, bukan vitamin. Mengkonsumsi D2 atau D3 sebagai suplemen memiliki dampak yang berbeda, meski sama-sama bisa meningkatkan D blood level.
Radiasi Ultraviolet-B di tanah Jawa
Untuk pencegahan penyakit akibat defisiensi vitamin D, Michael F. Holick, yang mengepalai “Endocrine Practice Guidelines Committee” (2011), merekomendasikan asupan vitamin D sebagai berikut (penderita obesitas dosisnya dikali 2 sampai 3 kali):
0–1 tahun: 400–1000 IU per hari;
1–18 tahun: 600–1000 IU per hari;
18 tahun+: 1500–2000 IU per hari;
Ibu hamil: 2000–4000 IU per hari;
Ibu menyusui: 4000 IU per hari untuk menghasilkan ASI yang mengandung vitamin D.
Khusus untuk Pulau Jawa, yang terletak antara 6–8 derajat Lintang Selatan dengan ketebalan ozon sekitar 256 DU, sinar UVB matahari dapat mencapai permukaan bumi Tanah Jawa dari jam 8 pagi hingga jam 15 sore dalam cuaca cerah (lain halnya bila mendung atau hujan). Meski banyak faktor berpengaruh atas tingkat fotolisa matahari pada kulit, seperti warna atau tipe kulit, ketinggian tanah, ketebalan awan, dan posisi matahari, namun secara umum untuk menghasilkan 1000 IU vitamin D per hari diperlukan durasi berjemur sekitar 10–30 menit. Rincian kasarnya adalah sebagai berikut:
Pakaian dengan tangan dan wajah terbuka: siang hari cerah 30 menit, siang hari berawan 40 menit;
Pakaian lengan pendek & celana panjang: siang hari cerah 10 menit, siang hari berawan 14 menit;
Pakaian lengan pendek & celana pendek: siang hari cerah 5 menit, siang hari berawan 8 menit. [ ]
Ditulis berdasarkan berbagai sumber
Referensi:
Deluca HF, “History of the discovery of vitamin D and its active metabolites”, Bonekey Rep. 2014;3:479. Published 2014 Jan 8. doi:10.1038/bonekey.2013.213.
Kenneth J. Carpenter, Ling Zhao, “Forgotten Mysteries in the Early History of Vitamin D”, The Journal of Nutrition, Volume 129, Issue 5, May 1999, Pages 923–927, doi:10.1093/jn/129.5.923).
Holick MF, “Photosynthesis of vitamin D in the skin: effect of environmental and life-style variables”, Federation Proceedings, 1987 Apr;46(5):1876–82. PMID: 3030826.
Walker A, El Demellawy D, Davila J., “Rickets: Historical, Epidemiological, Pathophysiological, and Pathological Perspectives”, Acad Forensic Pathol. 2017;7(2):240–262. doi:10.23907/2017.024.
Matsuoka LY, Wortsman J, Dannenberg MJ, Hollis BW, Lu Z, Holick MF, “Clothing prevents ultraviolet-B radiation-dependent photosynthesis of vitamin D3”, J Clin Endocrinol Metab. 1992 Oct;75(4):1099–103. doi:10.1210/jcem.75.4.1328275. PMID: 1328275.
Alexi Assmus, “Early History of X-Rays”, Published in: SLAC Beam Line 25N2 (1995), 10.
Holick MF, “The D-Lightful Vitamin D for Good Health”, Evening Lecture Series at Institute for Human & Machine Cognition (IHMC), Florida, 2013 (youtu.be/hiGBVDcbFVk).
Mercola, “Dr. Mercola Interviews Dr. Holick on the Benefits of Light”, Dec 26, 2015 (youtu.be/la3hthu5BJA).
Kiera Wiatrak, “The person behind the Building: Steenbock”, 2010, University of Wisconsin-Madison (news.wisc.edu/the-person-behind-the-building/).
Zaenal Muttaqin; Pecinta buku, seni, dan kopi; penggiat pendidikan dan literasi.