
Penting untuk diingat, Dana Otsus tidak secara eksplisit tercantum dalam teks MoU Helsinki. Artinya, dana tersebut merupakan bentuk interpretasi dan implementasi kebijakan afirmatif negara terhadap semangat perdamaian, pemberdayaan daerah, dan keadilan sosial. Dalam konteks tersebut, maka sudah selayaknya pula jika pelaksanaannya dievaluasi secara terbuka demi memastikan bahwa maksud mulia tersebut benar-benar tercapai.
Oleh : Iswadi*
JERNIH– Sudah 18 tahun berlalu sejak Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) mulai dialokasikan kepada Provinsi Aceh sebagai salah satu instrumen afirmatif pasca perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka melalui MoU Helsinki tahun 2005. Seiring berjalannya waktu, berbagai kebijakan telah ditempuh dalam upaya menjadikan Dana Otsus sebagai pendorong utama pembangunan Aceh dalam konteks keistimewaan, pemberdayaan masyarakat, serta pemulihan sosial pasca konflik.
Namun kini, setelah hampir dua dekade, muncul kebutuhan mendesak untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh, objektif, dan konstruktif terhadap efektivitas, relevansi, dan dampak penggunaan Dana Otsus bagi Aceh. Evaluasi ini bukanlah upaya untuk mencari cari kesalahan atau untuk memberi label kegagalan terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik terhadap generasi sekarang dan yang akan datang.
Penting untuk diingat bahwa Dana Otsus tidak secara eksplisit tercantum dalam teks MoU Helsinki. Artinya, dana tersebut merupakan bentuk interpretasi dan implementasi kebijakan afirmatif negara terhadap semangat perdamaian, pemberdayaan daerah, dan keadilan sosial. Dalam konteks tersebut, maka sudah selayaknya pula jika pelaksanaannya dievaluasi secara terbuka demi memastikan bahwa maksud mulia tersebut benar benar tercapai.
Kita memahami bahwa mengelola provinsi dengan sejarah konflik, luka kolektif, serta struktur sosial yang kompleks seperti Aceh tidaklah mudah. Terlebih, dana sebesar itu yang selama bertahun tahun menca-pai ratusan triliun rupiah membawa konsekuensi besar dalam hal tata kelola, kapasitas kelembagaan, dan harapan publik yang sangat tinggi.
Karena itu, evaluasi atas penggunaan Dana Otsus selama 18 tahun terakhir seyogianya dilihat sebagai bagian dari upaya memperbaiki kebijakan, bukan sebagai bentuk penghakiman. Evaluasi ini penting untuk menjawab pertanyaan pertanyaan fundamental: Apakah Dana Otsus telah benar-benar menjangkau masyarakat bawah yang paling membutuhkan? Apakah mekanisme distribusi dan perencanaannya telah partisipatif, transparan, dan akuntabel? Apakah Dana Otsus mampu memperkuat kelembagaan lokal dan mempercepat pencapaian indikator kesejahteraan? Ataukah justru Dana ini terserap dalam pola-pola birokratis dan elitis yang menjauh dari aspirasi masyarakat?
Pertanyaan pertanyaan tersebut bukanlah tudingan, melainkan bentuk keprihatinan dan tanggung jawab kolektif. Tidak sedikit suara dari masyarakat sipil, akademisi, bahkan tokoh tokoh lokal yang mulai mempertanyakan efektivitas Dana Otsus terutama ketika melihat data empiris yang menunjukkan bahwa Aceh masih menghadapi tantangan serius seperti kemiskinan yang tinggi, pengangguran, ketimpangan pembangunan antarwilayah, serta lemahnya daya saing ekonomi daerah.
Dalam situasi demikian, pembentukan Tim Evaluasi Independen Penggunaan Dana Otsus Aceh menjadi opsi strategis yang layak dipertimbangkan. Tim ini sebaiknya terdiri dari berbagai unsur: akademisi yang kompeten, tokoh adat dan agama, lembaga masyarakat sipil, serta unsur birokrasi yang memiliki integritas. Tujuannya bukan hanya untuk menilai, melainkan juga untuk merumuskan rekomendasi yang aplikatif dan visioner terkait masa depan Dana Otsus.
Evaluasi ini diharapkan menyentuh lima dimensi utama: Pertama tata kelola dan transparansi , termasuk audit terhadap perencanaan dan implementasi anggaran Kedua dampak ekonomi terutama terhadap penurunan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat ketiga pembangunan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, serta pelayanan dasar lainnya keempat penguatan kelembagaan, termasuk efektivitas fungsi pengawasan oleh DPRA dan partisipasi masyarakat; dan kelima aspek budaya dan identitas, untuk melihat apakah Dana Otsus turut mendukung pelestarian nilai nilai keacehan sebagai bagian dari identitas kolektif.
Evaluasi yang dilakukan secara terbuka dan akuntabel juga akan memperkuat legitimasi kebijakan pemerintah ke depan. Terlebih, masa berlaku Dana Otsus sesuai UU Nomor 11 Tahun 2006 akan memasuki fase akhir, dan pembahasan mengenai keberlanjutan atau transformasi skema Dana Otsus harus didasarkan pada data dan refleksi yang menyeluruh, bukan sekadar kepentingan jangka pendek.
Dalam konteks ini, perlu juga ditegaskan bahwa evaluasi bukanlah alat untuk menghukum siapa pun. Justru, evaluasi merupakan bentuk pembelajaran kolektif untuk memperbaiki arah pembangunan, membangun kepercayaan publik, serta memastikan bahwa investasi besar yang telah dikeluarkan negara benar-benar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat Aceh.
Sebagai bangsa, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa perdamaian tidak berhenti pada kesepakatan politik semata, tetapi juga terwujud dalam kesejahteraan yang nyata, pelayanan publik yang adil, dan pemerintahan yang bersih. Dana Otsus adalah bagian dari komitmen itu, dan karenanya patut untuk terus ditelaah, diperbaiki, dan disesuaikan dengan dinamika zaman.
Kini, setelah satu generasi berlalu, kita berada di titik penting untuk melihat ke belakang dengan jernih dan ke depan dengan penuh harapan. Kita perlu jujur melihat kekurangan, namun juga tetap menghargai capaian yang telah ada. Karena pada akhirnya, evaluasi bukanlah akhir dari sebuah cerita, melainkan awal dari perjalanan baru yang lebih matang, lebih inklusif, dan lebih berpihak pada kepentingan rakyat. [ ]
- Dr. Iswadi, M.Pd, dosen Universitas Esa Unggul Jakarta