
Tahun 1945, kemerdekaan berarti bebas dari penjajah asing. Hari ini, musuh kita tidak lagi datang dengan kapal perang dan senapan, tapi dengan kontrak investasi yang timpang, dengan kebijakan yang dibungkus jargon pembangunan, dan dengan kebohongan yang diulang-ulang sampai terdengar seperti kebenaran. Merdeka bukan hanya berarti terbebas dari kekuatan luar, tetapi juga dari kekuatan dalam negeri yang mengekang. Oligarki politik, korupsi, dan ketakutan untuk berbeda pendapat adalah bentuk-bentuk penjajahan baru.
Oleh : Radhar Tribaskoro
JERNIH– Delapan puluh tahun lalu, bangsa ini mengucapkan kata yang paling berharga: merdeka. Satu kata yang lahir dari perjuangan panjang, darah, dan air mata. Namun seperti yang diingatkan Bung Hatta, kemerdekaan hanyalah “jembatan emas” — sebuah jalan penghubung dari dunia penindasan ke dunia yang kita cita-citakan.
Pertanyaannya: apakah kita sudah menyeberang?
Tahun 1945, kemerdekaan berarti bebas dari penjajah asing. Hari ini, musuh kita tidak lagi datang dengan kapal perang dan senapan, tapi dengan kontrak investasi yang timpang, dengan kebijakan yang dibungkus jargon pembangunan, dan dengan kebohongan yang diulang-ulang sampai terdengar seperti kebenaran.
Dulu, penjajah jelas berwajah asing. Sekarang, penjajah bisa berbicara dengan bahasa kita, duduk di kursi pemerintahan kita, dan tersenyum dalam iklan televisi. Inilah wajah baru penjajahan dari dalam — kekuasaan yang memonopoli masa depan dan membatasi pilihan rakyat tanpa disadari.
Merdeka bukan hanya berarti terbebas dari kekuatan luar, tetapi juga dari kekuatan dalam negeri yang mengekang. Oligarki politik, korupsi, dan ketakutan untuk berbeda pendapat adalah bentuk-bentuk penjajahan baru.
Kita sering bangga mengatakan “Indonesia negara demokrasi terbesar ketiga di dunia,” tapi lupa bertanya: demokrasi untuk siapa? Jika rakyat hanya dipanggil lima tahun sekali untuk mencoblos, lalu kembali dilupakan, maka kemerdekaan itu kehilangan ruhnya.
Konstitusi kita memuat janji yang indah: melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum. Tapi janji ini hanya menjadi kalimat di dinding jika hukum masih tunduk pada kekuasaan, jika pendidikan hanya melahirkan tenaga kerja murah, dan jika kekayaan alam lebih banyak mengalir keluar ketimbang dinikmati rakyat.
Kemerdekaan sejati berarti rakyat berdaulat atas tanah, air, dan masa depannya sendiri. Itulah yang seharusnya menjadi tolok ukur kita merayakan kemerdekaan, bukan sekadar panjangnya deretan panji merah putih di sepanjang jalan.
Kemerdekaan bukan hadiah abadi yang tinggal dinikmati. Ia harus dirawat setiap hari:
– Dengan menolak kompromi terhadap kebenaran.
– Dengan membela yang lemah, meski tidak populer.
– Dengan membuka ruang bagi kritik, bahkan terhadap diri sendiri.
Kemerdekaan adalah proses kolektif, di mana warga negara menjadi pelaku sejarah, bukan penonton. Jika kita membiarkan rasa acuh tumbuh, kemerdekaan bisa hilang perlahan, tanpa dentuman senjata, tanpa invasi.
Delapan Puluh Tahun: Cermin untuk Bangsa
Di usia 80 tahun, manusia sudah matang untuk bercermin dan jujur pada diri sendiri. Begitu pula bangsa. Sudah saatnya kita bertanya:
– Apakah kita sudah adil terhadap rakyat kecil?
– Apakah kita sudah berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu?
– Apakah kita sudah membuka pintu lebar-lebar bagi gagasan baru, bahkan yang menantang kekuasaan?
Kalau jawabannya ragu-ragu, berarti kemerdekaan kita masih setengah jalan.
Kemerdekaan adalah hak yang diwariskan oleh generasi pejuang, tapi hanya menjadi kenyataan bila kita menegakkannya setiap hari. Penjajahan bisa datang dalam bentuk apapun: keserakahan penguasa, manipulasi informasi, hingga kebiasaan kita membiarkan ketidakadilan.
Maka pada 80 tahun kemerdekaan ini, mari kita ucapkan kata merdeka bukan sebagai ritual, tetapi sebagai janji baru — janji untuk melawan penjajahan dalam bentuk apa pun, termasuk yang bersembunyi di dalam sistem kita sendiri, dan yang bersemayam di dalam diri kita.
“Kemerdekaan tidak diberikan untuk disimpan, tapi untuk digunakan — demi keadilan, demi kebenaran, demi manusia yang merdeka.” []
Cimahi 12 Agustus 2025






