Abu Nawas Mendapat “Lailatul Qadar”
Puisi-puisinya dinamakan “asy syi’iruz zuhdiyah”. Puisi-puisi kezuhudan. Salah satu bait-bait yang termashur, mengutarakan sikap sebagai manusia yang merasa tak pantas masuk surga (lastu lil firdausiy a’la), namun amat takut jika masuk neraka (la aqwa alan naril jahannam).
Oleh : H.Usep Romli HM
Suatu malam penyair Abu Nawas (762-814) melangkah terhuyung-huyung. Mabuk minuman keras. Ia tiba di pinggir S.Euphrat. Pikiran kacau dan badan lemah membuatnya terpeleset ke sungai berair deras dan dalam itu.
Nyawanya nyaris melayang akibat tenggelam, jika tidak ada seseorang memberi pertolongan. Seorang laki-laki berjubah hijau, menyeretnya ke atas, sambil berkali-kali menyuruh Abu Nawas agar sadar.
Mendengar kata-kata “sadar” itu, seraya mengetahui dirinya terhindar dari maut, Abu Nawas benar-benar sadar. Bukan hanya sadar dari mabuk minuman keras. Tapi juga sadar akan kondisi hidupnya yang selama ini sia-sia. Menghabiskan waktu di warung-warung minuman. Kelayapan tak tentu tujuan. Serta menulis syair-syair penuh cinta berahi (ghazal), angan-angan (tamani), gagasan-gagasan kontroversial penuh kesombongan dan senda gurau (munujiyat), serta pemujaan terhadap alkohol (khumuriyat). Seolah-olah mahluk perkasa. Ternyata untuk bangkit dari sergapan aliran air pun membutuhkan bantuan orang lain.
Setelah selamat berada di darat, penolongya berkata : “Ya, Abu Hani, idza lam takun milhan tuslih, fa la takun zubabatan tufsid (Wahai Abu Hani, jika Engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah Engkau menjadi lalat yang menjijikkan, perusak hidangan itu).
Abu Nuwas langsung merasa dirinya sebagai lalat. Bahkan lebih hina dina. Ia sadar, tahun-tahun kehidupannya tidak membawa manfaat sebagaimana garam memberi kesedapan. Justru ia terus-terusan merusak, merusak dan merusak. Padahal merusak dilarang keras oleh Allah SWT. “La tufsidu fil ardli. Innallaha la yuhibbul mufsidin.” (Q. Surah Al Qashash : 77).
Sejak peristiwa itu, Abu Nawas, mengganti syair-syair dengan zikir. Memindahkan malam-malamnya dari kafe, bar atau pub, ke masjid. Ia tidak ingin lagi menjadi lalat. Biar tak jadi apa-apa, asal tidak membawa kerusakan bagi dirinya dan orang lain.
Beberapa kawannya satu “geng” mendatangi Abu Nawas yang sedang “i’tikaf” di sebuah masjid pinggiran kota Bagdad, pada sepuluh malam terakhir Ramadan.
“Apa yang keluar dari bibirmu sekarang ?” ejek kawan-kawannya.
“Ayat-ayat Alquran,” jawab Abu Nawas, kalem.
“Yang kau pikirkan di kepalamu ?”
“Kemahaagungan Allah, yang sudah mengubah manusia buruk seperti kalian, menjadi manusia yang baik seperti aku sekarang.”
“Kau habiskan malam-malammu dengan apa ?”
“Dengan mendekatkan diriku yang hina dina kepada Zat Maha Mulia, yaitu Allah SWT.”
“Lalu siang-siangmu keluyuran ke mana ?”
“Ke gurun dan samudera petunjuk-Nya yang penuh rahmat dan ampunan. Aku tak akan tersesat di situ, karena firman-firman-Nya amat jelas,” kata Abu Nawas seraya mengutip sabda Nabi Muhammad saw. “Afdlala ibadati ummatiy tilawatul Qurani”. Sebaik-baik ibadah umatku adalah membaca Alquran.
Menurut “Tarikh Adabul Arabiy” karya Abu Latief Masykur (1999), peristiwa yang menimpa Abu Nawas itu, terjadi pada malam akhir Ramadhan. Mungkin bertepatan dengan “Lailatul Qadar”. Satu malam yang nilainya setara dengan seribu bulan. Sehingga pada malam itu, tak ada peristiwa-peristiwa membahayakan. Seperti kebakaran, pembunuhan, bencana alam, dan lain sebagainya yang akan menodai kesyahduan detik-detik “Al Qadar”.
Termasuk pembebasan Abu Nuwas dari maut akibat hanyut dalam keadaan mabuk. Dan penolongnya bukan mahluk sembarangan. Melainkan Khidir, yang selalu berbusana hijau dan selalu ada di kawasan aliran sungai atau laut. Khidir, di kalangan kaum sufi, merupakan penjelmaan dari “seorang di antara hamba-hamba Allah” (Quran, S.al Kahfi : 65) yang mengajarkan ilmu hikmah kebijaksanaan kepada Nabi Musa (Q.s.al Kahfi : 66-82).
Pada malam mulia itu, Abu Nawas menemukan “husnul khatimah” (akhir yang baik). Bertekad menghabiskan sisa hidup dalam kebaikan dan kebajikan. Maka sejak saat itu, Abu Nuwas berbuah haluan. Ia meneruskan karir sebagai penyair. Namun yang ditulisnya sekarang adalah puisi-puisi sufistik mengandung unsur “zuhud” (kesederhanaan) dan “wara” (kebersihan).
Sehingga puisi-puisinya dinamakan “asy syi’iruz zuhdiyah”. Puisi-puisi kezuhudan. Salah satu bait-bait yang termashur, mengutarakan sikap sebagai manusia yang merasa tak pantas masuk surga (lastu lil firdausiy a’la), namun amat takut jika masuk neraka (la aqwa alan naril jahannam).
Tak ada lagi yang diharapkan kecuali ampunan (habli taubatan waghfir dzunub), sebab ampunan Allah Maha Luas dan Maha Besar dibanding dosa-dosa manusia (innaka ghafiru dzanbil Adzim).
Puisi tersebut, kerap dilantunkan sebagai “pupujian” di masjid-masjid, sambil menunggu waktu salat berjamaah.
Maha Pengampun Allah SWT kepada hamba-hambaNya yang mau bertobat. Orang sesesat Abu Nawas pun, mendapat ampunan. Semoga kita termasuk di antara hamba-hamba Allah SWT yang bertobat dan mendapat ampunanNya. Apalagi kita berada dalam bulan Ramadan yang terdiri dari tiga fase : rahmat (sepuluh hari pertama), ampunan (sepuluh hari kedua), dan pembebasan dari siksa neraka (sepuluh hari terakhir, yang di dalamnya terdapat “Malam Qadar”, malam seribu bulan. [ ]