Solilokui
Trending

Ada Ada dengan Silfester Matutina?

Drama hukum kembali menyita perhatian publik. Kali ini bukan soal rumitnya perkara, melainkan soal eksekusi hukum yang tak kunjung dilaksanakan. Kasus Silfester Matutina memperlihatkan bagaimana jarak antara hukum sebagai teks dan hukum sebagai tindakan bisa membentang begitu jauh, bahkan hingga enam tahun lamanya.

Silfester, Ketua Solidaritas Merah Putih (Solmet), seharusnya sedang menjalani hukuman penjara. Ia divonis 1,5 tahun oleh Mahkamah Agung melalui putusan kasasi No. 287 K/Pid/2019 karena dinyatakan bersalah menghina mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tuduhannya kala itu bukan sembarangan—Silfester menyebut Jusuf Kalla sebagai “akar masalah bangsa” dan menudingnya menggunakan isu SARA untuk kepentingan Pilkada DKI 2017. Vonis itu sudah berkekuatan hukum tetap sejak tahun 2019.

Namun, fakta di lapangan berkata lain. Enam tahun berlalu, pria yang dikenal sebagai pendukung setia Presiden Joko Widodo ini tetap bebas. Ia hadir di ruang publik, beraktivitas politik, bahkan menjadi narasumber di media nasional—seolah tak pernah menyandang status terpidana.

Pertanyaannya, mengapa vonis itu tidak kunjung dieksekusi?

Silfester berdalih bahwa dirinya telah berdamai dengan Jusuf Kalla. Mereka, katanya, sudah saling memaafkan dan bertemu secara langsung. Namun, menurut pakar hukum tata negara Mahfud MD, klaim damai tidak relevan dalam perkara pidana. “Ini bukan perkara orang lawan orang, tapi orang lawan negara,” kata Mahfud, menegaskan bahwa damai hanya berlaku dalam ranah perdata. Putusan pidana yang sudah inkracht tidak bisa dibatalkan hanya karena adanya rekonsiliasi pribadi.

Ketika hukum berhenti di atas kertas, masyarakat pun bertanya-tanya. Apakah ada kekuatan non-yuridis yang ikut bermain?

Pakar hukum Asman Syahputra menyatakan bahwa tidak ada alasan hukum yang sah untuk menunda eksekusi selama bertahun-tahun. Ia bahkan menduga adanya intervensi kekuasaan atau tekanan politik yang melemahkan independensi lembaga kejaksaan. “Kalau hukum bisa ditunda hanya karena kekuasaan, maka keadilan menjadi milik yang kuat,” katanya.

Namun, dari sisi penegak hukum, argumentasi lain dikemukakan. Mantan jaksa Jasman Panjaitan menyebut bahwa proses eksekusi tidak bisa dilakukan sebelum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menerima salinan resmi putusan Mahkamah Agung. Setelah salinan diterima, kejaksaan akan memanggil terpidana hingga tiga kali. Jika tidak datang, barulah dilakukan penangkapan paksa.

Pernyataan ini justru melahirkan pertanyaan baru: mengapa butuh waktu enam tahun untuk mengirimkan salinan putusan?

Sulit dipercaya bahwa proses administratif seperti pengiriman surat bisa memakan waktu selama itu. Jika kendalanya hanya soal dokumen resmi, mengapa sistem hukum kita begitu rentan pada kelambatan teknis? Bukankah surat putusan adalah dokumen standar yang bisa segera dikirim oleh seorang petugas administrasi?

Publik mulai membandingkan dengan jargon “no viral no justice” yang dulu melekat pada institusi kepolisian. Kini, sentimen itu mencuat pula ke arah kejaksaan. Kasus Silfester baru mendapat sorotan setelah publik mulai bersuara—melalui media sosial, kolom opini, hingga pernyataan para pakar hukum. Desakan demi desakan akhirnya membuat Kejaksaan Agung pada awal Agustus 2025 menyatakan akan segera mengeksekusi vonis terhadap Silfester Matutina.

Sayangnya, tekanan publik tidak seharusnya menjadi syarat bagi hukum untuk berjalan. Jika hukum hanya bergantung pada viralitas dan tekanan massa, maka independensi lembaga penegak hukum patut dipertanyakan. Lebih dari itu, kepercayaan publik terhadap hukum bisa terkikis secara perlahan namun pasti.

Dalam negara hukum, keadilan tidak boleh bergantung pada siapa pelakunya, seberapa besar kekuasaannya, atau seberapa ramainya media sosial menyorot. Hukum seharusnya berjalan dengan prinsip: setiap orang sama di hadapan hukum. Bukan karena viral, bukan karena tekanan publik, apalagi karena “izin kekuasaan.”

Kini, masyarakat menunggu: apakah kejaksaan benar-benar akan menuntaskan eksekusi itu? Ataukah ini hanya satu babak lain dalam drama panjang hukum yang kehilangan arah?(*)

BACA JUGA: Enam Modal Menyemai Indonesia Emas

Check Also
Close
Back to top button