“Alaska Daily: Serial Tempat Wartawan Muda Belajar Dunia Mereka
“Orang-orang sudah sibuk dengan pekerjaan, keluarga, hidup mereka. Harus ada yang mengungkap berbagai kedegilan, konspirasi jahat dan merugikan publik. Kalau bukan kita, siapa?”kata Roz Friendly, awak “Daily Alaska” yang juga warga asli Anchorage, Alaska, seolah mewakili seluruh wartawan di bumi.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Tak banyak film yang bercerita soal jurnalis atau dunia jurnalistik. Lebih langka lagi yang cukup berbobot untuk menjadi rujukan para wartawan. Tidak heran bila dari tahun ke tahun, film-film yang diputar untuk ‘melengkapi’ pelatihan buat para wartawan baru biasanya hanya itu ke itu. Yang paling sering tentu saja “All The President’s Men”, film yang dirilis 1976, cukup tua untuk menjadi tontonan bapak-ibu para wartawan baru saat ini.
Thriller drama politik yang dibintangi dua aktor besar, Robert Redford dan Dustin Hoffman, masing-masing sebagai dua wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, yang sukses menjungkalkan Richard Nixon dari kursi kepresidenan akibat skandal Watergate, itu memang layak tonton. Jeremy N. Smith, wartawan hiburan yang menulis untuk The Atlantic, Discover, Slate, dan The New York Times, serta penulis buku “George Clooney: Anatomy of an Actor”, menempatkannya di tempat kedua dari “The 25 greatest movies about journalism”. Tempat pertama diberikannya kepada “His Girl Friday“, film 1940 yang pastinya hanya ditonton para buyut alias kakek-nenek dari orang tua generasi wartawan saat ini.
Dua film lainnya yang menurut saya paling sering menemani pelatihan wartawan adalah “Absence of Malice” (1981), dan yang agak lebih ke sini, “The Insider”, film garapan sutradara besar Michael Mann yang dirilis 1999. Kadang, redaktur yang jeli sesekali memutarkan “True Crime” (1999), tentang perjuangan Steve Everett (Clint Eastwood), jurnalis berandalan tua di sebuah koran lokal,“Oakland Tribune”, yang dengan tulisannya berhasil menyelamatkan Sengkon versi AS, yang tengah dalam persiapan untuk dihukum mati.
Kalau yang ingin dikenalkan kepada para calon wartawan itu adalah gaya hidup, kehidupan sehari-hari dan petualangan para jurnalis di lapangan, biasanya yang diputar tak lebih seputar film garapan Oliver Stone, “Salvador” (1986), atau “Live From Baghdad (2002) yang dibintangi “Si Batman” Michael Keaton dan Helena Bonham Carter, atau film tentang Indonesia yang dibintangi Mel Gibson dan Sigourney Weaver, “The Year of Living Dangerously” (1982).
Dengan keuntungan hidup di era digital, para wartawan baru dapat saja memutar film tersebut via berbagai situs dan aplikasi; YouTube atau laman-laman maya soal film, misalnya. Persoalannya–meski kecil– kadang elan zaman alias zeitgeist film terlalu jauh dari keseharian mereka saat ini.
Makanya, munculnya “Alaska Daily”–meski lebih terbatas sebagai sebuah serial yang diputar di tv-tv berlangganan—memicu harapan untuk jadi tontonan yang tak hanya menghibur, melainkan pula dapat memberi ilustrasi yang lebih detil tentang bagaimana seorang wartawan menyadari peran pentingnya sebagai penjaga kebenaran, serta apa yang harus ia lakukan dan hindari di lapangan.
“Orang-orang sudah sibuk dengan pekerjaan, keluarga, hidup mereka. Harus ada yang mengungkap berbagai kedegilan, konspirasi jahat dan merugikan publik. Kalau bukan kita, siapa?”kata Roz Friendly, awak “Daily Alaska” yang juga warga asli Anchorage, Alaska, seolah mewakili seluruh wartawan di bumi.
“Alaska Daily”, produksi ABC—di sini kita bisa menikmatinya via tv berbayar Disney HotStar, mulai tayang di AS pada 6 Oktober 2022. Dengan bintang utama aktris pemenang dua kali Academy Awards (2000 dan 2005), Hilary Swank, sejak awal film ini memang menjanjikan.
Seri ini dibuka dengan pindahnya Eileen Fitzgerald (Swank), reporter investigasi koran nasional di New York City, ke sebuah koran kecil di Alaska, “Daily Alaska”, setelah beberapa lama sengaja menganggur karena terpeleset sebuah pemberitaan. Bukan salah dia, sebenarnya, tetapi lebih karena ‘pengkhianatan’ seorang sumber.
Sunyinya Anchorage dibandingkan New York yang tak pernah tidur, awalnya membuat Eileen skeptis, bahkan menyepelekan fungsi dirinya sebagai wartawan. Apalagi di hari-hari pertamanya bekerja itu, ia melihat korannya tak lebih dari sekadar laiknya media internal atau publikasi ke-PR-an. Jika tidak berkisah soal konferensi pers dan berita ludah (talking news), berita-berita yang ada jenisnya hanya meng-“hore! hore!” tokoh politisi atau pengusaha lokal.
Sampai kemudian ia menemukan betapa banyaknya poster sederhana hilangnya seseorang terpampang di pinggiran jalan dan ruang publik lainnya.
Keisengan Eileen bertanya soal tersebut ke kantor sheriff setempat justru membuat kecurigaannya membengkak. Semua orang-orang hilang itu di kantor sheriff disebutkan sebagai “No Case”. Dikatagorikan seperti itu, artinya tak pernah ada kejadian tersebut, alias kantor sheriff pun tak harus menyelidikinya lebih lanjut.
Dari situlah naluri kewartawanan Eileen bangkit, sebagaimana tumbuh pula semangatnya untuk menggali dan mencari lebih jauh. Persoalannya, meski Alaska adalah wilayah Amerika Serikat—negara ultramodern dalam kepala kita– urusan “warga tempatan”, “penduduk asli”, “pribumi”, atau “orang lokal” ternyata masih menjadi soal di sana. Belum lagi pembawaan Eileen yang sekilas terlihat “sok” laiknya warga New York, membuatnya di awal-awal tidak disukai, bahkan di kantornya sendiri. Penugasan yang diberikan Pemimpin Redaksi Stanley Cornik (Jeff Perry) kepada reporter Rosalind “Roz” Friendly, diperankan Secwépemc Grace Dove, untuk menjadi tandem Eileen, awalnya ditolak wartawan pribumi tersebut. Namun tetap saja, aturan paling utama jurnalistik bahwa wartawan tidak pada tempatnya menolak tugas, akhirnya tegak. Namun pasti, di lapangan, kisruh—yang kian memudar seiring makin ciamiknya hasil kerja mereka berdua sebagai tim—itu tetap saja kadang muncul.
Tidak hanya di jajaran bintang, sutradara serial ini pun bukan seniman film sembarangan. Tom McCarthy, yang menyutradarai film pemenang Oscar “Spotlight,” adalah nama besar yang menggaransi serial ini. Mungkin karena setidaknya dua nama itu—Swank dan McCarthy—episode pertama serial ini, “The Pilot” ditonton sedikitnya 6 juta orang pada saat penayangan.
Yang menguatkan serial ini, mungkin karena hilangnya warga pribumi pun tak sepenuhnya fiksi dalam kehidupan keseharian Alaska.
Newsweek menulis, meskipun kasus yang ditampilkan dalam serial tersebut tidak nyata, investigasi kasus sejenis yang menjadi kerja bareng Anchorage Daily News dan ProPublica, yang terbit bersama dengan judul “Lawless”, meraih Hadiah Pulitzer pada 2020 lalu.
Sebelumnya, John Tetpon, seorang warga suku Inuit dan pensiunan jurnalis Anchorage Daily News, pada 1988 lalu juga meraih Pulitzer untuk artikel investigatifnya, “People In Peril”, yang juga menyoal kasus hilangnya orang-orang lokal.
Oh ya, bahkan Dove, pemeran Rosalind “Roz” Friendly yang menjadi rekan dalam tim Eileen, menyatakan kepada Newsweek bahwa soal orang hilang adalah hal yang akrab dengan keseharian dirinya sebagai seorang Alaska. “Mengenai MMIW (Missing and Murdered Indigenous Women), perempuan pribumi, anak-anak gadis local yang hilang dan terbunuh, bukan berita baru bagi saya,” kata Dove. “Ini sangat lazim dalam hidup saya, keluarga saya dan komunitas saya. Jadi, melihat hal ini di televisi jaringan sungguh luar biasa bagi saya,”kata dia.
Ini bukan iklan, tapi sulit bagi saya untuk tidak mengajak para wartawan,”Ayo langganan DisneyPlus, dan menyaksikan serial menarik ini.” [INILAH.COM]