Ancaman itu nyata!
Dia dan semua yang hadir siang itu ketawa. Dan saya pun mengatakan: “Orang Islam tidak makan babi, bukan sekadar karena ada penyakit. Tapi juga karena taat aturan dan menghormati Otoritas (Allah).”
Oleh : Imam Shamsi Ali*
JERNIH– Sebagai minoritas yang hidup di tengah-tengah mayoritas non Muslim, apalagi dengan Islamophobia yang masih meninggi, pasti banyak tantangan bahkan ancaman yang dihadapi. Ketakutan, kebencian, bahkan kekerasan pun dapat terjadi kepada komunitas ini.
Tapi dari sekian tantangan bahkan ancaman itu adalah tantangan membesarkan anak. Hal ini bahkan menjadi ancaman nyata bagi kehidupan dan masa depan komunitas Muslim di Amerika dan di barat secara umum. Tantangan untuk memastikan jika anak dan generasi masa depan dapat bertahan hidup.
Hidup yang dimaksud tentunya bukan dalam pemahaman orang secara umum. Karena secara umum orang memahami hidup dalam defenisi dan kalkulasi material. Sesungguhnya hidup pada aspek ini di Amerika masih merupakan “land of opportunities”. Bahkan Amerika dikenal dengan “a land of dream” (bumi impian).
Secara ekonomi dengan segala tantangan saat ini Amerika masih sangat solid. Hampir seperempat kekayaan dunia masih dalam genggaman Amerika. Secara politik juga dengan perubahan global Amerika masih banyak mewarnai kekuatan politik dunia. Apalagi secara militer sesungguhnya Amerika masih sangat kuat. Belum lagi kenyataan bahwa banyak universitas terbaik dunia masih ada di Amerika Serikat.
Ancaman hidup yang saya maksud adalah ancaman terhadap kehidupan sejati manusia. Hidup lahir batin. Hidup raganya, subur hatinya. Yang terekspresikan dalam nyanyian Indonesia Raya: “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”.
Dalam wawasan keislaman umat, tentu dengan iman dan Islam-lah manusia akan hidup secara paripurna.
Ancaman itu nyata
Tantangan dan ancaman generasi itu nyata. Tapi pada umumnya warga Muslim dan khususnya Muslim Indonesia menyikapinya secara enteng. Bahkan seringkali tidak terusik dengan kenyataan pahit ini. Kadang menyadari ketika telah terjadi kasus buruk yang tidak perlu saya rincikan di sini.
Tapi sebagai contoh saja, hari Sabtu lalu saya diminta oleh satu keluarga yang secara duniawi cukup sukses. Suami isteri ini adalah dokter gigi yang berhasil. Tinggal di sebuah rumah mewah di sebuah perumahan elit di Long Island, New York. Informasi yang saya dapatkan adalah calon menantunya (calon suami putrinya) ingin masuk Islam.
Saya tentu bahagia. Karena memang kebahagiaan terbesar sebagai seorang Muslim hidup di Amerika adalah di saat dapat menuntun seorang hamba Allah menemukan hidayahNya. Bahkan rasanya lebih membahagiakan ketimbang dunia dan segala isinya.
Ternyata ketika sampai walau disambut dengan segala keramahan dan penghormatan, saya menemukan calon suami putrì Muslimah itu adalah seorang atheist. Walau dulunya belajar di Sekolah Minggu (Sunday School)—tak mungkin diterjemahkan sebagai Sekolah Ahad—red– Katolik tapi dalam perkembangannya agama dinilai sampah.
Saya berusaha dengan segala kemampuan yang ada dan mencoba sangat bijak untuk meyakinkan tentang Islam. Bahkan tidak jarang terjadi gelak tawa karena berusaha menyampaikan Islam dengan cara yang ringan tanpa mengintimidasi.
Satu contoh misalnya tentang haramnya babi. Menurutnya aturan ini kadaluarsa karena hal yang ditakuti dari babi sejak lama telah dieliminasi. Hal yang dimaksud adalah adanya cacing ganas di daging babi itu telah dihilangkan dengan kemajuan ilmu di bidang kesehatan.
Dialog singkat pun terulang persis yang pernah terjadi antara saya dan seorang remaja masjid di kota New York. Saya memberikan ilustrasi tentang lampu lalu lintas (traffic light).
Kenapa seseorang harus berhenti di saat lampu lalu lintas merah?
Jawabannya karena menghindari tabrakan.
Tapi kalau yakin jalan sepi, tak ada polisi lalu lintas, bahkan juga tidak ada kamera yang merekam, apakah melanggar lampu merah itu?
Sambil bercanda sang calon menantu itu menjawab: “I think I will just pass the light” (melabrak lampu merah). Karena menurutnya lagi tidak ada yang dibahayakan.
Saya kemudian merespons dalam bentuk pertanyaan: tapi dengan melakukan itu apakah Anda dikategorikan warga yang baik di mata hukum dan otoritas?”.
Dia dan semua yang hadir siang itu ketawa. Dan saya pun mengatakan: “orang Islam tidak makan babi, bukan sekedar karena ada penyakit. Tapi juga karena taat aturan dan menghormati Otoritas (Allah)”.
Singkatnya sang calon itu sebenarnya mulai mengangguk-ngangguk setuju. Tapi yang jadi masalah adalah justru putrì Muslimah itu yang nampaknya tidak melihat urgensi agama dalam kehidupan. Hal itu nampak ketika menyela, walau dengan hormat dan sopan: “But why is it so important to follow all these regulations” (Kenapa penting mengikuti semua aturan-aturan ini?).
Menurutnya lagi semua aturan agama hanya jadi beban bahkan kendala bagi kemajuan hidup manusia. Makanya tidak ada negara-negara mayoritas Muslim kecuali mengalami keterbelakangan secara sains dan teknologi, kata dia.
Mendengar itu saya hampir marah dan merespons secara keras. Tapi saya tidak ingin justru mereka semakin jauh dan melarikan diri dari agama ini. Maka saya pun berusaha menjelaskan dua hal.
Satu, tentang posisi aturan-aturan dalam Islam. Bahwa aturan itu bukan beban, apalagi halangan untuk maju. Justru aturan itu memberikan jalan untuk maju tapi secara terhormat dan bermoral.
Dua, bahwa dunia Islam mengalami keterbelakangan, bukan karena aturan Islam. Keterbelakangan dunia Islam justru karena mayoritasnya tidak ikut aturan-aturan Islam. “What country do you think genuinely follow Islam?” tanya saya.
Antara usaha dan hidayah
Pada akhirnya saya hanya berusaha menyakinkan ternyata bukan hanya calon menantu pria itu. Tapi juga putrinya yang justru tidak yakin pentingnya agama dalam kehidupan. Akankah berbasil? Hasil dan hidayah itu ada di tangan Allah, Pencipta langit dan bumi, Pengendali jiwa hamba-hambaNya.
Justru yang ingin saya sampaikan adalah betapa tantangan membesarkan anak sesuai harapan iman dan Islam itu sangat berat. Dan betapa ancaman itu ada di hadapan mata Komunitas Muslim di Amerika.
Tentu semua harus mengambil tanggung jawab itu. Tanggung jawab anak, tanggung jawab orang tua, tanggung jawab umara dan ulama. Dan tentunya tanggung jawab kolektif komunitas itu sendiri.
Yang aneh kadang adalah orang tua yang tidak sadar akan tanggung jawab berat ini. Padahal keselamatan orang tua juga akan banyak ditentukan oleh bagaimana mereka telah menjalankan tanggung jawab itu secara sungguh-sungguh.
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
Pada ayat ini ada dua penekanan: 1) anak benar secara Islam adalah perintah. Dan semua perintah dalam Al-Quran bermakna kewajiban. 2) keselamatan orang tua terikat (mu’allaqah) dengan tanggung jawab menyelamatkan keluarga.
Semoga Allah menjaga kita dan keluarga kita dari marabahaya yang besar, dunia akhirat. Dan semoga kita semua dijaga di atas jalan kebenaran, jalan yang lurus. Jalan para nabi, para siddiq, syuhada, dan hamba-hambaNya yang saleh. Amin! [ ]*NYChhc Chaplain / Presiden Nusantara Foundation