
Buku saya, “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?” dibedah di SMA dan SMP Al-Izhar, Pondok Labu. Saya datang dengan dugaan bahwa para gurulah yang akan membedahnya. Ternyata, para siswa—anak-anak muda dengan mata bening dan pikiran yang menyalakan kejutan—yang mengambil alih panggung. Mereka bukan hanya memahami gagasan inti buku itu; mereka menyulingnya, mengembangkannya dengan informasi tambahan dan ilustrasi visual yang membuat argumen saya lebih hidup.
Oleh : Yudi Latif

JERNIH–Selama tiga hari berturut-turut (08–10/12/2025), saya menyaksikan sesuatu yang tak pernah terlintas bahkan dalam bayangan paling liar. Buku saya, “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?” dibedah di SMA dan SMP Al-Izhar, Pondok Labu. Saya datang dengan dugaan bahwa para gurulah yang akan membedahnya. Ternyata, para siswa—anak-anak muda dengan mata bening dan pikiran yang menyalakan kejutan—yang mengambil alih panggung.
Sungguh, saya nyaris tak percaya. Mereka bukan hanya memahami gagasan inti buku itu; mereka menyulingnya, mengembangkannya dengan informasi tambahan dan ilustrasi visual yang membuat argumen saya lebih hidup. Bahkan siswa SMP pun memaparkan analisis dengan ketelitian dan ekspresi yang mencengangkan.
Pengalaman ini membuka mata betapa sering kita meremehkan generasi baru. Kita terlalu mudah menempelkan stigma bahwa milenial dan Gen Z lemah literasi, dangkal nalar, rapuh konsentrasi. Padahal stigma seperti itu adalah nocebo sosial: nubuat yang menggenapi dirinya sendiri dan membangun tembok yang melemahkan potensi mereka.
Namun pengalaman itu juga mengingatkan: potensi unggul ini tak serta-merta menjelma kreativitas produktif. Seperti diingatkan Mihaly Csikszentmihalyi, kreativitas lahir dari ekosistem—dari domain simbolik yang kaya nilai dan pengetahuan; wahana (field) yang memfasilitasi, memvalidasi, dan menjaga mutu; individu kreatif yang menggugah domain itu dengan terobosan.
Karena itu, dalam forum Kata Sains Diktisaintek dan Harian Kompas (10/12/2025), saya mengusulkan pembenahan tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera melalui lima sistem nasional: pendidikan yang menumbuhkan literasi dan nalar kritis; inovasi yang memeratakan infrastruktur pengetahuan; ekosistem sosial-budaya yang menyehatkan rasionalitas publik; politik yang berbasis bukti dan meritokrasi; serta ekonomi yang bertransformasi menuju ekonomi pengetahuan.
Tiga hari bersama pelajar Al-Izhar meninggalkan jejak mendalam: masa depan tak selalu datang sebagai ancaman; kadang ia hadir sebagai api kecil—tenang namun menjanjikan. Tugas kitalah menjaga nyala itu, agar tumbuh menjadi cahaya yang menerangi masa depan bangsa. []






