Solilokui

Apresiasi Sastra Para Elit PKI

Para pengarang Lekra yang lebih junior, yang harus masuk bui pada usia rata-rata 25-30-an tahun, ikut terkena epheuria kebebasan. Nama-nama Hesri Setiawan, Amarzan Ismail Hamid, Putu Oka Sunanta, Sulami, Martin Aleida dll., bermunculan kembali.

Oleh   : Usep Romli HM

Ada satu masa, dunia kesastraan nasional dipenuhi kesemarakkan luar biasa. Dalam rentang waktu cukup panjang, 1950-1965, gairah penciptaan menjulang di tengah hiruk-pikuk pertarungan dua kutub ideologi. Realisme sosialis yang menginduk ke Cina dan Uni Sovyet, serta humanisme universal yang bersum-ber ke Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Pelaku utama kemeriahan itu adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap sebagai organ partai terpenting. Sehingga ikut ditumpas habis tatkala PKI dituduh menjadi dalang “Gerakan 30 September” tahun 1965, yang menewaskan enam Jendral TNI-AD.

Penangkapan para aktivis PKI, termasuk para aktivis Lekra, oleh rezim militer Orde Baru, sempat memutus matarantai kehadiran mereka di ajang publikasi media. Kurun masa 1965 hingga bertahun-tahun kemudian, kreativitas kesu-sasteraan nasional, terasa sepi. Berat sebelah. Para pendukung humanisme universal, atau apa namanya, yang mendapat kebebasan penuh, tidak mampu menembus suasana “hitam-putih” menjadi aneka warna. Bahkan cenderung satu warna “kuning” belaka, akibat keketatan sensor penguasa.

Perbedaan mulai terasa, setelah para aktivis Lekra dilepas dari isolasi belasan tahun di balik jeruji penjara-penjara menyeramkan sekelas Nusakambangan, atau kungkungan alam liar kamp pembuangan Pulau Buru. Nama-nama tokoh Lekra, dipelopori Pramudya Ananta Toer, kembali menampilkan taring. Menunjukkan daya tahan mereka yang “Tak Terlumpuhkan” (meminjam salah satu judul novel Pram tahun 1950-an) oleh interogasi, siksaan, pengasingan dlsb. Sebagian di antara para pengarang Lekra, malah semakin produktip setelah mendapat godogan siksaan mental dan pisik di kawah candra dimuka penjara dan kamp pembuangan. Seperti Alexander Solzenitsin yang melahirkan karya-karya hebat setelah lama disekap di Siberia oleh rezim komunis Uni Sovyet, para pengarang Lekra pun bangkit dengan napas baru dan enerji maksimal. Pram melahirkan tetralogi “Bumi Manusia” , “Anak Semua Bangsa“, “Jejak Langkah“, dan “Rumah Kaca“yang cukup menggemparkan. Juga dua jilid memoar “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu“. Disusul “Arok Dedes”, dll. Sehingga Pram masuk nominasi Nobel Sastra. 

Para pengarang Lekra yang lebih junior, yang harus masuk bui pada usia rata-rata 25-30-an tahun, ikut terkena epheuria kebebasan. Nama-nama Hesri Setiawan, Amarzan Ismail Hamid, Putu Oka Sunanta, Sulami, Martin Aleida dll., bermunculan kembali. Termasuk juga  para aktivis Lekra yang yang menjadi “exile” di negeri orang. Seperti Agam Wispi, Abdul Kohar Ibrahim, Sobron Aidit, dan banyak lagi.

Sebuah buku berjudul “Lekra Tidak Membakar Buku” (2008), susunan Rhoma Dwi  Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, membeberkan sepak-terjang Lekra, sejak lahir (1950) hingga lenyap dari muka bumi tahun 1965. Kedua mereka menyajikan juga dua buku pelengkap, yaitu “Laporan dari Bawah” (2009), kumpulan ceritera pendek, dan “Gugur Merah” (2009), kumpulan puisi. Baik cerpen maupun puisi dalam kedua buku itu, semuanya pernah dimuat di surat kabar “Harian Rakyat”, organ resmi PKI.

Dari dua buku tersebut, selain menunjukkan produktivitas para anggota Lekra di bidang sastra, juga menunjukkan betapa sastra tidak asing di kalangan elit partai. Beberapa tokoh teras PKI sanggup menulis ceritera pendek. Di antaranya Sujinah, Sulami (DPP Gerwani),  Samandjaja, Setiawan HS, Hadi, Bachtiar Siagian, Sugiarti Siswadi (DPP Lekra), dll. Bahkan para elit politik PKI, seperti DN Aidit (Ketua Umum CC PKI/ Menko/Wakil Ketua MPRS), Nyoto (Ketua CC PKI/Wakil Ketua DPR-GR), Sudisman (Ketua CC PKI/anggota DPR-GR), dll, piawai pula  menulis puisi..

Terlepas dari benar atau salahnya ideologi mereka, benar atau salah tindakan mereka melalukan “kudeta” yang menimbulkan goncangan nasional 1965, kegiatan mereka memasuki arena penciptaan karya sastra, dengan apresiasi dan kreativitas  cukup tinggi dan serius, patut diacungi jempol. Jejak langkah yang tampaknya sulit ditiru elit politik nasional masa kini yang lebih sibuk dalam arus pusaran korupsi. [  ]

Check Also
Close
Back to top button