POTPOURRI

Cerpen: Kehilangan Masjid

Oleh  :  Usep Romli HM

Usai wirid subuh, Ajengan Mamad berkata kepada para jamaah yang masih ada : “Salat berjamaah ini merupakan yang terakhir. Bahkan salat Jumat lusa juga ditiadakan. Silakan salat di rumah masing-masing saja. Salat Jumat diganti dengan salat dzuhur.”

Suara Ajengan Mamad serak. Tersedak menahan tangis.

“Karena ada korona, Pangersa ?”Mang Suha, modin, bertanya.

 “Ya. Majelis Ulama sudah mengeluarkan fatwa. Masjid harus dikosongkan dari salat berjamaah, salat Jumat, pengajian dan sebagainya yang banyak dihadiri orang.“

Sambil berjalan ke rumahnya, persis di samping masjid jami, Ajengan Mamad tak dapat lagi menahan air mata. Ia menyapunya dengan serbannya yang selalu melilit di leher. Ketika masuk beranda depan, langsung merebahkan badan ke kursi panjang sebelah pojok, tangisnya hampir pecah. Namun ditahan. Tinggal isak saja.

“Ya Allah, aku harus mengalami berpisah dengan masjid. Gara-gara wabah penyakit menular yang Engkau timpakan kepada kami. Membuat jamaah masjid menjadi sasaran penyebaran……”

Ajengan Mamad teringat sebuah hadis yang mengisahkan hari kiamat. Kelak di padang mahsyar, tak ada naungan sedikit pun. Sedangkan matahari cuma sejengkal dari ubun-ubun. Seluruh manusia tersiksa kepanasan. Dan dari bawah, keringat terus menggenang semakin tinggi. Hingga ke leher. Hingga ke  telinga.

Hanya ada tujuh jenis manusia yang terlindungi. Mereka mendapat peneduh di hari tanpa peneduh itu. Salah seorang di antara mereka, adalah orang yang hatinya tertambat ke masjid. Rajin datang ke masjid untuk itikaf, tadarus Quran, salat berjamaah, dan amal ibadah lain.

“Usia hamba sudah tujuh puluh lima tahun, ya Allah. Sudah mendekat ke liang lahat. Tak mustahil esok lusa dicabut nyawa. Hamba ikhlas yang Allah, namun hamba menyesal jika maut menjemput dalam kondisi jauh dari masjid, “isak Ajengan Mamad tak henti. Serbannya sudah basah digunakan menyeka air mata.

Tiba-tiba muncul kenangan lama, ketika zaman nyantri, lima puluh lima tahun yang lalu. Kelompok komunis yang dinaungi PKI, sering melakukan upaya mengganggu salat dan pengajian di masjid. Melakukan intimidari, provokasi dan terror, agar syiar Islam terhenti. Minimal terhambat.

Ajengan Mamad sedikit tesenyum, membayangkan sosok  Kang Damiri, salah seorang santri senior, selalu membangkitkan keberanian para santri di hadapan barisan Pemuda Rakyat yang berseragam pakaian “jawara”. Baju dan celana pangsi hitam, ikat kepala merah menyala. Golok terselip di pinggang.

“Kalian makan nasi, kami makan nasi!” teriak Kang Damiri. Pemuda Rakyat tak ada yang berani membalas teriakan itu. Mereka tahu, Kang Damiri pendekar silat sungguhan. Bukan sekedar “silat kembang” yang diiringi tabuhan kendang penca.   

Peristiwa itu, merupakan awal dari konfrontasi langsung antara santri dengan PKI. Provokasi pihak komunis terhadap santri dan pesantren sudah berlangsung lama. Sering kali. Namun masih dibiarkan. Setelah memuncak, baru bereaksi.

Yaitu, ketika sebuah bola sepak meluncur ke arah jendela masjid. Brak ! Kaca pecah berantakan. Santri-santri yang sedang tekun mengaji, tersentak. Termasuk Pangersa Ajengan  yang sedang memberi pelajaran.

Memang, tidak jauh dari kompleks pesantren, terdapat lapangan milik desa. Suka dipakai bermain oleh para penduduk, baik anak-anak atau orang tua. Digunakan  main sepak bola, layangan, pertunjukkan kesenian, dll. Tapi baru kali itu ada bola nyasar ke masjid.

“Besok kalian main sepak bola. Tunjukan kemampuan dan keberanian kalian melawan komunis”suara Pangersa Ajengan, keras dan tegas.

Ternyata bola yang akan digunakan, bukan bal sepakbola biasa. Melainkan kelapa tua, yang akan direndam semalaman dalam drum minyak tanah. Nanti dinyalakan di tengah lapang. Dan itulah yang harus disepak-sepak.

Seusai mengaji subuh, Pangersa Ajengan memberi petuah khusus. Beliau menyatakan, sikap dan tindakan para anggota PKI sudah keterlaluan. Mulai dari mengejek-ejek santri dengan sebutan “santri budug” hingga menendang bola ke jendela masjid.

“Untuk melawan mereka, kita harus menunjukkan kemampuan di atas mereka. Jika mereka hanya menyepak-nyepak bola kulit, para santri harus menyepak bola api. Attakaburu minal mutakabbirina sodakoh. Sombong terhadap orang sombong, sedekah.   Tapi awas, jangan kalian takabur. Bersihkan hati dan pikiran kalian dari rasa ujub dan  ria. Perbuatan kalian nanti, semata-mata lillahi ta’ala. Juga atas izinNya pula. Nanti kalian mampu menyepak bola api, bukan berarti kalian sakti mandraguna. Tidak. Itu semata-mata karunia Allah SWT belaka. Bukan karena do’a, jampi-jampi atau mantera yang kita ucapkan. Bukan. Semua hanya karena kehendak Allah. Hanya atas izin Allah. Maka bertawakkallah kepada Allah, dan mengharap perkenanNya. Tawakalltu alalLah wa bi idznillah. Lahaula wa la quwwata illa billahil aliyyil adzim. Tak ada kekuatan, kecuali Allah yang Maha Agung,“kata Pangersa Ajengan,  lalu mengutip kisah Nabi Ibrohim As, ketika dibakar oleh Raja Namrudz. Setelah api pembakaran padam, Namrudz berharap Ibrahim hancur tinggal debu. Tapi ternyata tidak apa-apa. Tetap utuh dan selamat.

Sore hari, di lapangan telah berlangsung permainan sepabola yang didominasi anak-anak Pemuda Rakyat. Rombongan kami yang sudah siap, langsung masuk ke lapangan. Bola dari buah kelapa yang disulut, dilemparkan oleh santri-santri yang bertugas untuk itu. Pangersa Ajengan bersama beberapa santri senior menyaksikan.

Kang Damiri menjadi orang pertama yang menyepak bola-bola itu. Santri yang mengikuti sedikit ragu-ragu ketika akan menyepak. Seorang santri lain berteriak mengingatkan : “La takhof ya Akhi ! Tawakalltu alalloh, wa bi idznillah !” (Jangan takut, kawan. Bertawakkal kepada Alloh dan mendapat izinNya).

Mendapat suntikan semangat itu, para santgri tidak ragu-ragu menerima operan, mempermainkan sebentar dan mengoperkannya lagi kepada yang lain-lain. Kang Damiri tampak bergembira.

Para pemain bola asli, tertegun sejenak. Ada seorang hendak memburu kami. Tapi cepat dilempar bola api. Sehingga ia cepat menghindar. Seorang lagi datang. Mungkin akan menegur. Tapi santri yang didatangi bersiap menyepak bola api ke arahnya. Ia pun segera lari ke pinggir lapang.

Sorak-sorai terdengar. Tepuk tangan dan suara suitan menunjukkan kekaguman kepada kami. Para pemain bola Pemuda Rakyat sudah kabur semua. Bolanya yang tertinggal di tengah lapang, kami tendang keras-keras ke arah kebun pinggir lapangan.

Hampir satu jam kami bermain. Permainan dihentikan setelah Pak Lurah datang. Rupanya mendapat pengaduan dari anak-anak PKI. Kami dituduh mengganggu.

Kang Damiri menjelaskan kepada Pak Lurah yang tampak pro-PKI : “Kami tidak mengganggu. Kami sama-sama main bola di sini. Jika mereka mau ikut silakan.”

Habis sepuluh  buah bola api dimainkan. Para penonton masih terus meminta. Tapi Pangersa Ajengan menyuruh menghentikan permainan. Sambil membereskan alat-alat,  Pangersa Ajengan memimpin pembacaana do’a “tolak bala” : “Na’udzubikalimatillahit tammah, wa min syarri ma kholaq”. Lindungi kami, ya Alloh, dengan kesempurnaan kalimatMu,  dari segala kejahatan mahluk-mahlukMu.”

Ajengan Mamad menutup wajah. Merasakan gairah perjuangan melawan kaum komunis dulu. Tapi mereka tak berhasil menutup masjid, menghentikan dakwah dan pengajian. Malah mereka lebih dulu hancur, dihantam rezim Orde Baru yang menghabisi PKI beserta organ-organ dan seluruh anggotanya.

“Tapi sekarang, dengan wabah corona covid 19, malah masjid  ditutup dari salat berjamaah, salat Jumat dan pengajian. Tak mustahil, arwah para komunis bedebah di neraka, bersorak-sorai menyaksikan keadaan ini, “Ajengan Mamad bangkit. Melangkah ke luar, akan melaksanakan salat duha di masjid. Namun surut lagi begitu ingat, masjid sudah ditutup sejak subuh.

“Masya Allah, aku harus berpisah dengan masjid yang kucintai puluhan tahun. Ya Allah, ampuni dosa-dosa hamba, yang mengakibatkan datang corona, dan akibat lanjutannya masjid ditutup.” [  ]     

Back to top button