Solilokui

Ayahku–Surat Kepada Buya Sjafii Maarif (Bagian 1)

Ayah tahu saya tidur paling malam, usai mengerjakan sesuatu, memasang pancing di telaga penuh hantu, lalu paling pagi sudah bersama daun-daun banto, eceng gondok, memeriksa lele, belut, atau mujair yang saya tangkap. Ayah tahu, saya tak bakal menangis pulang ke rumah nenek atau emak, dalam keadaan lapar dari sekolah, tak menemukan sebutir pun nasi, saya bakal pergi diam, membawa parang, ke parak atau hutan yang tak masuk tanah ulayat siapapun, mencari jenis makanan hutan, apa saja

JERNIH– Kepada Buya Ahmad Sjafii Maarif,

di

Alam Permenungan.

Assalamu’alaikum Wr Wb,

Pada nafas embun hilang dipeluk pelan cahaya pagi ini, saya do’akan Buya sehat dalam deru waktu yang tak pernah membeku. Sejak melepas cahaya terang terakhir di kening ayahanda saya, Boestami Dt Nan Sati pada 26 Desember 2016,  sungguh tak ada lagi semangat bermain ala kanak-kanak dari 40 pasang manusia (bumi) pertama yang lahir dari sungai sorga dalam rahim Siti Hawa.

Indra J Piliang

Saya seakan Qabil yang terus menangis bercucuran air mata. Hingga saya ingin air mata itu kering, lalu menjadi buta, seperti mata Qabil akibat penyesalan panjang atas terbunuhnya adik yang paling ia jaga atas titah ibunya, Habil.

Emaklah yang terus berperilaku ajaib, selalu berteriak dan menangis kala ia menelepon saya. Emak yang kata ayah selalu kehilangan satu gigi dan satu tulang, setiap satu anak lahir dari rahimnya. Emak yang selalu bisa tertawa terbahak, dalam keadaan sakit separah apapun, kalau sudah mendengar saya berbicara lewat telepon, semenit sekali pun. Emak yang lebih dulu memudar cahaya terang di matanya, sehingga sulit membaca  Al Qur’an ketika ayah masih bisa berjalan kaki di pematang sawah di malam paling gulita sekali pun.

Tujuh orang jumlah anak ayah dan emak. Dari delapan kerat tulangnya, tinggal satu yang masih utuh, pada batang leher yang menyangga seluruh medan memori yang tersimpan di bagian kepala. Dan saya sudah pasti datang dengan segala sikap kanak-kanak, sembari meniru sikap ayah. Sisir bagus saya beli di Jakarta, termasuk cermin, lalu usai memandikan saya minta emak menyisir rambutnya sambil menyodorkan cermin. Emak semula diam, tapi segera tergelak karena tahu itu cara ayah usai emak mandi.

Rambut emak sangat panjang, hitam, dibaluri minyak dari air kelapa muda berwarna gading yang dibuat sendiri. Saya tentu kebagian tugas pulang sekolah, memarut (mengukur) kelapa dengan cara seperti duduk di atas seekor angsa. Bertahun saya lakukan itu, termasuk lebih dulu ketika tinggal bersama nenek (Uwo) dari kelas 1 sampai kelas 3 Sekolah Dasar, kala ayah dan emak sudah berpindah tempat tinggal sebagai tanda kehadiran dan “penguasaan” teritorial pegawai negeri sipil. 

Terhindar dari emak, sedetik saja, atau pada saat duduk di depan laptop, saya seolah kembali memutuskan bersembunyi di batas gelap. Terisak, sendiri, sampai istri saya tahu, lalu “mengirim” satu dari dua putra kami, entah bertanya sesuatu, atau meminta sesuatu yang ia sudah tahu atau bisa kerjakan sendiri. Lalu semua berubah menjadi doa-doa, seperti Siti Hawa bersenandung “Salsabil” setiap pagi, bekerja riang menyiapkan kebutuhan pagi suami dan anak-anaknya yang beberapa jeda bakal bangkit serentak rebutan tempat mandi, handuk kering ayah yang dipinjam pertama, hingga kerak paling luar kering lebih hitam dari telor mata sapi harum bawang yang disiapkan untuk sarapan ayah.

Sekolah dan buru-buru, selalu jadi alasan terbaik untuk tidak membuat ayah marah ketika tahu yang tersisa ceceran kuning telor, seperti mesjid yang saya lihat di pantai Ulheeleu, selebihnya disapu tsunami. Mulut lapar anak-anaknya yang membuat seluruh yang berbau atau bernama makanan, bakal tinggal ampas setiap saat.

“…Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera, di dalamnya mereka duduk bertelakan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang bersengatan.

Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya.

Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak dan piala-piala yang bening laksana kaca, (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya.

Di dalam syurga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil.

Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda.

Apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka, mutiara yang bertaburan.

Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.

Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih…. ( QS. Al-Insan: 12-21 )

Tentu tidak ada tangis itu, ketika saya melangkah masuk ke rumah tengah sawah, masih bercelana basah, lalu menaruh telunjuk di mulut agar emak atau saudara yang melihat tak berteriak, seperti setiap kali saya pulang, selalu dengan kejutan yang tak sama, lalu ayah langsung bangun atau datang sambil terkekeh.

Tapi anak mana yang bisa menipu ayahnya? Murid mana yang bisa menipu gurunya? Adik mana yang bisa menipu kakaknya? Walau ayahnya lumpuh, anak itu gagah perkasa, guru itu reot, murid itu berkendara jet pribadi antar angkasa, kakak itu terbaring tertidur di lelah tepat di depan pos ronda rumah serba istana adik itu.

“Alah pulang Yaya,” terucap di bibir ayah.

Emak langsung tergelak, pun yang lain.

“Kirain sudah dijemput malaekat, dua-tiga hari ini hening saja, tak lagi menyebut ‘kapan Yaya pulang’ seperti dua-tiga bulan ini setiap siapapun tiba, pintu berbunyi,” kata Emak. Emak dan keluarga saya selama dua — tiga hari meyakinkan saya, menelepon bergantian, betapa ‘Yaya akan menyesal kalau tak juga pulang!”

Saya memang lama menahan diri, bersikap biasa, sejak ayah dilarikan ke rumah sakit, dalam serangan stroke ketiga yang berhasil mematahkan tulang belulang berpahat jenis terbaik zat-zat besi dan vitamin-vitamin terunggul dari berjenis sayuran, buah-buahan, ikan, susu, dan tanaman obat-obatan hutan rimba yang dikumpulkan ayah mengelilingi rumah berkerangka baja yang dibangun dengan teknologi tahan gempa, pasca gempa Kobe tahun 1984, langsung diawasi ayah setiap komposisi semen, pasir, kerikil, atau batunya.

Dan kami ikut bekerja merusak apa saja, dimarahin tukangnya, seseorang yang satu matanya putih buta, tapi ia paling dipercaya ayah dalam mengerjakan bangunan apapun. Tukang yang di usia senja, ikut berangkat ke Jakarta, mendorong gerobak sate anak-menantu-cucu, seperti saya dulu lakukan sebelum tahu saya masuk Universitas Indonesia, lalu sepanjang masa kuliah saya, pada hari libur, dari kampung-kampung kumuh pinggir kali di Jalan Kunir, belakang stasiun kereta Beos, atau Mangga Besar XIII akibat pindah-pindah dengan satu titik sasaran: Petak IX, Pancoran, Glodok, kawasan Pecinan paling tua dan utama, pun dekat bekas penjara yang sempat menahan kaum inteligensia.

Tukang yang paling presisi itu, bermata satu itu, tak tahu saya makamnya di Jakarta entah mana, adalah sosok yang membuat rumah tengah sawah yang sampai saya hampir tamat kuliah tak berjendela, sebagian berlantai tanah itu, dalam alam kesaksian nanti diberi kesaksian oleh semua orang yang mengenalnya, dengan perbandingan sekitar 90 persen rumah di seputaran rumah tengah sawah hingga yang tua dibangun kakek dari nenek saya, hancur remuk dihoyak kiri-kanan-keatas-kebawah-diliukan-pada-putaran-akhir, dalam gempa bumi 2009.

Tukang yang mengepalai seluruh tukang di hari penghakiman nanti saat istana-istana dibangun untuk ganjaran amaliyah di hari-hari selewat bak kilat menuju hari itu. Tukang yang saya berdoa, kini, bakal membuatkan ayah di alam jutaan tahun cahaya nanti, rumah yang sama, seperti yang dikerjakan bersama ayah dan anak-anaknya di Sawah Kasiak, Durian Kadok, itu.

“Dari mana ayah tahu, Yaya pulang?” kata saya, sambil membersihkan pinggir mulutnya, membaui sarung yang sering digaruk ayah, karena benda itu begitu asing di kulit seputar pinggangnya, hasil dari kerja propaganda korporasi-korporasi farmasi raksasa, kaum yang berderet gelar dalam layar kaca, seluruh media yang bisa dilihat, lewat perlombaan izin-izin higienis plus label halal-haram, lalu teronggok di samping rumah, saya hanya tahu pempers namanya, dengan pikiran mengambil sekop dan cangkul, lalu menguburkan sumber gemerincing pengerukan urang orang-orang miskin akibat dibodohkan dengan cara menghancurkan ilmu dan buku-buku.

“Itu kan rama-rama Yaya. Tak pernah ia datang, kalau Yaya tidak di rumah,” kata ayah. Saya tersipu, lupa berucap salam kepada seekor kupu-kupu putih yang bergerak riang, biasa saya jaga ketika menjadi kepompong, pada daun-daun pisang yang kadang-kadang lupa diingatkan emak kepada kaum ibu yang minta daun pisang muda pembungkus lepat. Ayah akan marah pas tahu, ada bulatan kepompong yang dari ulat berwarna hijau, menggergaji dedaunan hijau, lalu dalam film-film yang mengeruk untung multi jutaan dollar Hollywood diolah jadi dua telinga runcing bermulut taring yang bernama dracula, saya lihatin dengan bengong setiap kali bioskop-bioskop penuh, guna menangkap detil demi detil usaha penghancuran atas hutan-goa-alam, tempat saya menghilang, sebelum maghrib datang, dalam masa-masa kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, hingga saya tetap gagap bahkan ketika menempuh ujian akhir akibat gambar-gambar di otak saya bergerak sendiri, kala saya berada di saat pilihan teks lebih penting dibanding impuls dan gerak alam yang bergerak cepat dibanding kecepatan apapun yang paling mutakhir dikenal manusia.

Saya langsung mengerti setiap pesan yang ia hendak ungkap, melihat rama-rama atau kupu-kupu itu, dalam gerak yang tak lincah, jumlah yang hanya seekor, tak seperti yang bersama saya, ketika berada di rumah yang jendelanya juga tak banyak itu, hingga apapun bisa masuk, bahkan dalam jumlah yang sangat banyak, datang di waktu malam hari, kala saya berkebun buah naga, lalu setiap tiba jam berapapun, malam apalagi, saya masuk mengawinkan serbuk dan bunga berbeda rumpun, sampai pukul tiga pagi menjelang, saat saya keluar dengan singlet penuh darah, tertusuk duri, lalu menjadi kebun buah naga paling mahal harga buahnya, di seluruh Sumatera Barat, sebelum kemudian mati — tentu saya tahu sebab-sebabnya — ketika saya lebih banyak menggunakan waktu bersorak dari satu tempat ke tempat lain, atas nama calon walikota perseorangan yang mencatat prestasi sebagai yang paling pertama di seluruh Sumatera Barat, hingga ayah terkadang datang ke kota Pariaman, bersua dengan kawan-kawan lamanya, sambil menepuk dada yang saya tahu ucapan itu berarti apa: “Ayah juga punya massa. Minimal 10.000 suara dari ayah untuk suara Yaya.” 

Saya balik tubuh ayah, melihat semut-semut api menempel berbaris, lalu saya ikuti dengan mata, berbaris kemana.

“Itulah! Minta makan! Dikasih nasi! Lalu setelah itu diludahin! Begitu saja terus! Bagaimana mau sehat!” ucap Emak yang duduk di halaman, tanpa ia melihat saya sedang apa. Kembali saya terbahak.

“Yah, masih saja sibuk memberi makan semut-semut ini. Tetap saja pura-pura banyak makan, padahal cuma sekali dalam sehari-semalam,” ucap saya. Ayah bergumam, saya tahu apa yang berada dalam pikirannya. Semut-semut api berwarna merah-hitam-beberapa-bercaping-bertubuh-lebih-besar-yang-lain-kecil-kecil-gesit-jalannya itu adalah sekelompok pasukan yang tak pernah tak berupa pasukan, ketika melakukan apapun. Sebanyak itu mereka, melekat dan menekan capitnya ke arah makanan di kulit ari-ari ayah, tak satu pun yang menggigit ayah.

“Yaya, hidup yang terbaik adalah tidak pernah berutang. Ayah ingin naik haji. Tuan Herman Didong–kakak dari Prof Dr Rustam Didong, guru besar ekonomi FE UI yang sekelas dengan ayah di SMP Padang Panjang-– telah menyiapkan segala sesuatu. Ayah menemuinya di Jakarta. Ayah jadi ragu, karena ibumu punya beban berat. Kalian masih kecil-kecil, seperti marmut yang butuh makan, tujuh orang. Ayah tidak ingin itu jadi dosa, karena tidak ada biaya yang ayah bisa tinggalkan ketika berangkat ke Tanah Suci. Jika ayah mati di perjalanan, bukan sorga yang menyambut, tapi malaekat Malik yang bercemeti akar-akar jilatang berduri beracun,” begitu dialog yang terjadi antara saya dan ayahanda.

“Iya, Yah. Apa Yaya punya hutang ke ayah?” tanya saya, lalu menyebut seluruh nama  anak-anaknya, bertanya siapa saja yang punya hutang, sambil merekam via smartphone saya, berjanji kepada ayah bakal menjadi debt collector paling kejam guna membayar kepada ayah yang sangat gagah ini. Muncul lagi detil dari cerita ayah, janji salah seorang anaknya untuk mengirimkan makanan kesukaan ayah, sampai kelakuan cucu-cucu ayah yang mengambil sepeda motor diam-diam, padahal ayah mau menggunakan untuk ‘raun-raun panik’ ke Embun Pagi, seperti ia beberapa kali boncengin saya dalam masa kanak-kanak, dengan motor yang sangat jantan-terawat-seperti-seluruh-benda-milik-ayah-dari-cincin-kacamata-bahkan-peniti-atau-kancing-baju guna diberikan kepada Emak, karena Emak lupa menaruh dimana.

“Ada satu lagi, Yaya,” kata saya, usai saya melakukan semacam audit detil kepada apa yang diucap ayah dengan terbata, tapi tergambar jelas seperti tayangan film dengan beberapa layar yang berputar di dalam ruangan rumah dengan ruang tengah luas itu, tempat kami berdua berbicara dalam waktu yang tentu bukan sejam-atau-duajam, tapi terasa bertahun-tahun, menelusuri bukan saja masa kecil saya, atau cerita masa kecil ayah, tapi bergerak kemana-mana, dengan satu frase yang bernada tetap berhuruf sama: “Nabi begini-begini. Nabi begini.”

“Apa itu, Yah,” tanya saya, dengan kening berkerut, seakan saya sedang ujian dengan satu kesalahan di pihak saya: tak belajar dengan baik, sehingga tak siap menjawab.

“Kalau bisa, hidup yang juga paling baik, bernilai sama dengan yang tadi, janganlah sampai kita memberikan utang kepada siapa pun, atas nama kebaikan hati nurani sekalipun, melebihi batas yang kita tahu, di atas ia atau mereka bisa dapatkan, berdasarkan janji waktu membayarnya. Itu sama saja dengan kita membunuh atau menghancurkan atau minimal mengurangi segala daya dan upaya yang ia atau mereka lakukan, tapi mereka menjadi lalai, akibat uluran kebaikan yang kita lakukan,” kata ayah, lembut.

DOOOR!!! Satu pukulan yang sangat keras dari ayah, masuk ke hulu-hati-jantung-dan-seluruh-kepercayaan-diri-saya-runtuh.

“Yah, jangan marah. Yaya tidak pernah mengingat, tidak pernah mencatat, otomatis amnesia, tentang uang atau apapun yang bagi ayah bisa jadi itu bernama utang. Lillahi ta’ala, tidak ada orang yang punya piutang kepada Yaya,” kata saya, ketika seluruh yang berusaha saya susun dengan kata-kata indah, bertentangan dengan apa yang masuk ke kapala saya.

Ayah diam. Sejenak. Saya seperti seorang terdakwa yang menunggu putusan pengadilan dalam waktu yang sangat lama. Saya tahu, jika seluruh orang mendengar suara ayah menggelegar, hingga ayam-kucing-burung berhenti bersuara, sambil di tangannya terlihat ikat pinggang kulit ditarik, menyebut semua nama anak-anaknya yang masih berada dalam arus sungai atau bermain di lapangan, saat jam yang kami memang sudah ada di rumah, apalagi kalau besok pagi adalah hari sekolah, petang mulai membayang, itu berarti ayah tak sedang marah. Suara yang begitu khas, bernada tegas, dari sosok yang keras, bahkan di usia sangat muda, setelah menyelesaikan sekolah menengah pertama, bergerilya.

Marahnya ayah adalah diamnya. Ia sering saya lihat terisak, sendiri di dalam kamar, kalau satu atau semua kami, dicambuk dengan ikat pinggang, usai membuang seluruh kelereng hasil “kemenangan” kami, atau ratusan gelang karet usai ia putuskan sekali pegang juga hasil dari “kemenangan” kami, lalu setelah menyabet di bawah lutut kami, bekas-bekas gelang yang putus itu membentuk garis-garis merah, bahkan juga luka, di kedua pergelangan tangannya, seperti ialah yang dicambuk akibat menyambuk anak-anaknya yang memang dikenal masing-masing sangat keras kepala, suka berkelahi sendiri, namun sangat kompak jika itu menyangkut marwah apa pun.

Ayah tahu, saya berbohong. Ayah tahu, kenapa kebun buah naga saya hancur, setelah saya menggaji kakak-adik saya sendiri, dengan tujuan ayah tak lagi sering-sering datang ke Kota Pariaman, ikut membayangi tempat saya berkumpul dengan anak-anak muda usia Kota pariaman. Ayah tahu bahkan sejak saya kecil, kenapa saya jatuh di jembatan Mentawai, tangan saya patah, guna mengambil apa, sesuatu yang jatuh untuk saya raih, padahal saya adalah kanak-kanak yang bicara terpatah, tak lancar, berbeda dengan anak-anak lain.

Ayah tahu, berapa banyak saya berbohong kepadanya, pada saat saya sering sangat menderita, dalam masa-masa yang panjang, karena saya yang paling sedikit punya waktu pernah bersama ayah dan emak dalam satu rumah, selebihnya hidup sebatang kara-berkelana-dalam-alam-pun-buku-buku-yang-sengaja-ditinggalkan-ayah-untuk-saya-baca-dalam-usia-kanak-kanak-dan-remaja-saya-padahal-buku-buku-tebal-itu-adalah-untuk-merek-yang-sudah-masuk-kategori-alim-ulama-ilmi-pasca-sarjana-atau-apapunlah dalam dunia kepangkatan ilmu. Ayah-tahu-saya-bakal-menderita-jika-tak-makan-ikan-sayuran-buah-hingga-tubuh-saya-begitu-begitu-saja.

Ayah-tahu-saya-lebih-suka-berenang-bepergian-mendaki-bahkan-ketika-orang-orang-melihat-saya-di-televisi-atau-koran-berdampingan-dengan-orang-orang-paling-kaya-atau-paling-berkuasa di Indonesia. Ayah tahu, saya lebih suka tak diketahui siapapun tak dikenali atau tak dianggap tak peduli apapun, terkecuali upaya saya memburu buku-buku, menjelajahi alam raya.

Ayah tahu cita-cita saya sejak kecil: menjadi seorang astronot yang bergerak di galaksi yang saya tunjuk, hilang hingga tiba-tiba muncul sendiri sehat, pada saat nenek-nenek saya sudah menangis. Ayah bahkan tahu, saya diam-diam berjualan es, sepulang sekolah di SD I Air Angat, kelas 5, guna mencari uang sendiri agar bisa menyewa buku-buku di Pasar Bawah Bukittinggi, pulangnya berjalan kaki usai Maghrib, dengan langkah mendaki, dari Bukit Surungan, Panyalaian, Aie Badarun, Simpang, itu terjadi berkali-kali.

Ayah tahu saya tidur paling malam, usai mengerjakan sesuatu, memasang pancing di telaga penuh hantu, lalu paling pagi sudah bersama daun-daun banto, eceng gondok, memeriksa lele, belut, atau mujair yang saya tangkap. Ayah tahu, saya tak bakal menangis pulang ke rumah nenek atau emak, dalam keadaan lapar dari sekolah, tak menemukan sebutir pun nasi, saya bakal pergi diam, membawa parang, ke parak atau hutan yang tak masuk tanah ulayat siapapun, mencari jenis makanan hutan, apa saja, tentu saya kenali satu-satu, mana yang beracun, mana yang menyimpan energi alami.

Harta, benda, uang, apalagi kuasa, sangat menyakitkan dan membebani saya, membuat saya menderita, dalam pengetahuan ayah saya. Ayah tahu, apa yang saya tolak, ketika saya bahkan hampir tak bisa menyelamatkan buku-buku penting saya, akibat dimakan rayap. Kepada ayah saya begitu terbuka, saling bertukar cerita dengan bangga, tentang siapa yang paling tak punya apa-apa, saya atau ayah, lalu bernilai tinggi ketika lebih lama dilihat orang sebagai orang yang paling miskin atau menderita atau bahkan dibisikan gila akibat banyak yang disebut kegagalan dalam hidup.

Saya dan ayah akan sangat senang berdua saja tertawa, menepuk dada masing-masing, lalu menghitung dalam ilmu matematika, fisika, cerita kaum sufi, kisah nabi-nabi, tentang berapa nilai dari dunia yang bersifat sementara ini yang saya atau ayah tolak dengan gagah.

Sebab ayah yang tahu, ketika saya minta izin masuk partai politik, lalu ayah berkata tak ada yang lebih tinggi dibanding menjadi manusia merdeka 100 persen, seperti ia lihat pada diri saya yang ia ikuti saban hari di layar televisi, koran, atau apapun, terbang kemana saja, bicara tak kenal takut, masuk Aceh kala masih perang, Ambon saat darah mengalir, Papua yang sedang bergerak, tanpa rasa takut, saat usia masih muda.

Ayah tahu, tak ada satu pun dari anak-anaknya yang menjadi pegawai negeri sipil, polisi, apalagi tentara, karena sudah pasti tak bakal bisa hidup bahkan untuk memenuhi nutrisi tubuh saja bagi diri, apalagi istri dan anak-anak, kalau tidak bekerja dengan sangat keras di alam terbuka menunggu sebutir padi menjadi benih, benih menjadi tampang, tampang menjadi batang, batang yang mulai berisi pada bagian dekat ruas, seolah makhluk-makhluk yang hamil secara bersamaan dalam jumlah jutaan, lalu saya rawat siang, sore, malam, pagi.

Ayah tahu, dari tangan kecil saya, apapun yang saya tanam, di tempat yang bahkan dianggap tandus oleh orang-orang, bakal muncul rimbun-rimbun yang subur mengalahkan yang pernah ada, baik kedelai, bunga matahari, terong belanda, pepaya, tomat, apa saja.

Ayah tahu, saya diam-diam malam pergi ke arah kambing yang mengembik di halaman, merawat luka, baik di badan, apalagi mulut, akibat memakan sesuatu atau dijahilin orang. Ayah baru mencari obat apapun, kemanapun ia bakal bertanya, kalau makhluk-makhluk itu terkena penyakit yang bukan dari alam.

Ayah tahu, saya bisa mendapatkan ikan dalam jumlah banyak, dari jenis yang bahkan makin susah didapat, seperti udang sungai, atau ikan di laut, padahal orang lain yang bahkan itu pekerjaannya, tak banyak mendapat apa-apa. Saya seperti sengaja membuat sarang-sarang ikan sendiri, tersembunyi dari siapa pun, lalu saya yang bisa memanggilnya kembali, walau itu berada di depan mata orang banyak.

Ayah tahu, apapun yang saya lakukan, selalu dengan sungguh-sungguh, senang hati, tak peduli apapun, sampai semua menjadi sempurna. Ayah juga tahu, saya  hanya bisa didekati, diajak bicara, jika itu lewat tiga pintu: emak saya, adik perempuan saya satu-satunya, atau istri saya. Ayah pun dengan berkelakar bicara, “Jatah ayah bicara di telepon ini berapa menit? Yang jelas, ayah tahu, tidak sebanyak jatah bicara dengan emak.”

Dari semua yang ayah tahu, tentu yang paling utama, pengetahuan itu ia dapat dari apa yang ia lakukan, ia kerjakan, tanpa ia pernah ceritakan kepada siapapun, lalu suatu hari saya ujug-ujug bicara bertanya detilnya, apa seperti yang saya tahu, atau ada yang lain. Tak ada, atau jarang orang bercerita tentang ayah kepada saya. [Bersambung]

Back to top button