‘Bajingan’, Konotasi Positif dan Negatif
Tinjauan historis ini penting untuk mendudukkan etimologi kata itu yang juga populer digunakan pada masanya. Berdasarkan data berita dalam berbagai media online maka muncul beberapa berita berikut yang menunjukkan bahwa kata “bajingan” bermakna positif, tidak negatif. Perhatikan contoh berikut: Kirab Seribu Santri Sambut Ramadan Diantar Para “Bajingan” (lihat: https://jatimnet.com/kirab-seribu-santri-sambut-ramadan-diantar-para-bajingan)
Oleh : Fahmy Lukman*
JERNIH–Bahasa adalah pedang bermata dua, memecah belah atau menyatukan bangsa. Ketegangan bahasa biasanya terkait dengan klaim bahasa dalam konteks status sebagai bahasa resmi, posisi bahasa minoritas dan pemeliharaannya, penggunaan hak bahasa di sekolah dan ruang pengadilan, pendidikan dwibahasa, dan “persaingan bahasa” (Calvet, 1998; DeVotta, 2004).
Berkembang dan beradaptasinya sebuah kata dalam bahasa di ruang publik merupakan hal yang tidak dapat dielakkan. Keberterimaan atau ditolak, mencerminkan posisi kata tersebut dalam penggunaannya secara umum dalam masyarakat, di samping pengaruh numerik pengguna bahasa dan preferensi bahasa itu dalam gaya komunikasi di kalangan para elit masyarakat. Dalam banyak penelitian tentang sensitivitas bahasa menunjukkan bahwa keberterimaan kata dan bahasa berkorelasi dengan historis budaya yang berkembang dalam masyarakat (Reisigl & Wodak, 2005, Ryan et al., 1995).
Salah satu hal yang terkait dengan aspek di atas adalah kata ‘bajingan’ yang digunakan Rocky Gerung (RG) dalam pidato pada pertemuan “Aliansi Aksi Sejuta Buruh, Selasa, 29 Juli 2023 (https://www.youtube.com/watch?v=H6exlQdfz3o)
lalu, telah memicu perdebatan panas di ruang publik dan media sosial. Sikap pro dan kontra tentang penggunaan kata “bajingan” telah memicu polarisasi masyarakat, antara setuju dan tidak setuju.
Menyikapi hal ini, maka perlu diletakkan secara objektif pengertian makna kata ‘bajingan’ itu dalam kerangka pemahaman yang dibangun oleh wacana yang disampaikan RG, apakah berkonotasi positif ataukah negatif. Meletakkan persoalan ini secara objektif maka diperlukan data yang tersedia dan perangkat pisau analisis yang tepat agar pengertian yang dihasilkan memiliki landasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tanpa pendekatan ini maka polarisasi masyarakat akan berdampak pada saling klaim yang tidak sehat.
Konotasi makna ‘bajingan’ positif
Secara etimologi, kata “bajingan” berasal dari bahasa Jawa bermakna “sais” (kusir) gerobak pedate, dan gerobak pedati sapi yang disebut “cikar”. Kalau kata “sais, kusir” biasanya digunakan untuk pengendali gerobak yang ditarik oleh kuda (delman). Dalam bahasa (Jawa), “Bajingan tekane suwe tenan” Bajingan sampainya lama sekali’, atau “Bajingan endi sih kok ra teko-teko” Bajingan itu dimana sih, kok nggak datang-datang’, maka kata bajingan dalam kalimat bahasa Jawa bermakna ‘sais (kusir)’ pedati yang ditarik sapi.
Jadi, kata bajingan di atas, secara historis menggambarkan tentang sais/kusir pedati sapi yang bekerja lamban karena lambannya sapi berjalan. Dampaknya adalah orang-orang yang menunggu datangnya roda pedati sapi itu karena hendak menumpang mulai mengumpat dan mengomel dengan kalimat “Bajingan itu lama sekali”. Tinjauan historis ini penting untuk mendudukkan etimologi kata itu yang juga populer digunakan pada masanya. Berdasarkan data berita dalam berbagai media online maka muncul beberapa berita berikut yang menunjukkan bahwa kata “bajingan” bermakna positif, tidak negatif.
Perhatikan contoh berikut:
a. Ada Rombongan Bajingan dalam Kirab Hari Veteran Nasional di Kediri (lihat: https://www.dhahanews.com/kediri-raya/pr-5754255984/ada-rombongan-bajingan-dalam-kirab-hari-veteran-nasional-di-kediri),
b. Kirab Seribu Santri Sambut Ramadan Diantar Para “Bajingan” (lihat: https://jatimnet.com/kirab-seribu-santri-sambut-ramadan-diantar-para-bajingan)
c. Ogoh-Ogoh dan Bajingan Ramaikan Kirab Mbah Bergas di Sleman (lihat: https://jogja.tribunnews.com/2016/05/20/ogoh-ogoh-dan-bajingan-ramaikan-kirab-mbah-bergas-di-sleman)
d. Ketika Para Bajingan Turun ke Desa (https://kediripedia.com/ketika-para-bajingan-turun-ke-desa/)
e. Ketika para “Bajingan” hantarkan 1.000 santri songsong Ramadhan (https://www.antaranews.com/berita/856590/ketika-para-bajingan-hantarkan-1000-santri-songsong-ramadhan)
Kelima data itu (dan masih banyak lagi) menunjukkan bahwa bajingan merupakan kata berasal dari bahasa Jawa dan bukan berasal dari nomina “bajing” dengan konfiks /-an/ yang merujuk pada sebutan hewan. Berdasarkan data di atas, kata bajingan bermakna positif dan tidak dapat dimaknai secara negatif.
Konotasi makna ‘bajingan’ negative
Menyimak video yang beredar di sosial media (https://www.youtube.com-/watch?v=H6exlQdfz3o), maka rangkaian kalimat itu memiliki rujukan pada jabatan kepala negara dan pemerintahan yang melekat pada nama seseorang. Di antara kalimat yang diungkapkan RG dapat dicontohkan pada penggalan kalimat “…dia memikirkan nasibnya sendiri, dia tidak memikirkan nasib kita. Itu bajingan yang tolol. Kalau dia bajingan pintar, dia mau terima berdebat dengan….
Berdasarkan data pada video yang beredar, kata “bajingan” dalam pidato itu dikemukakan berulang sebanyak lima kali berupa empat frase nomina “bajingan yang tolol”, “bajingan pintar”, “bajingan yang pengecut”, “bajingan tapi pengecut” dan satu kali perulangan yang sama. Pada ujaran yang disampaikan di atas, kata “bajingan” direlasikan dengan tiga ajektiva, yaitu tolol, pintar, dan pengecut.
Dalam kaitan ini, maka muncul masalah, apakah kata “bajingan” dengan tiga ajektiva yang menyertainya itu bermakna negatif? Merujuk pada maka leksikal yang yang terdapat pada KBBI (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/bajingan), maka makna kata “bajingan” adalah ‘penjahat, ‘pencopet’ (nomina), dan ‘kurang ajar’ (kata makian), menandai kata yang digunakan dalam ragam yang tidak sopan. Selaras dengan makna leksikal tersebut, maka frase, kata “bajingan” dikorelasikan dengan 3 ajektiva yang mengikutinya “tolol, pintar, pengecut” maka berdampak pada makna yang dihasilkan adalah negatif dan ungkapan yang digunakan untuk memaki seseorang yang dituju.
Ungkapan makian menunjukkan pada kemarahan yang mengekspesikan emosi kejengkelan, kekesalan, dan berbagai perasaan psikologis tidak nyaman seseorang. Bentuk kata makian lain dalam bahasa Indonesia yang acapkali diungkapkan adalah goblok, anjing, bangsat; yang dua kata terakhir sebenarnya merujuk pada referensi hewan. Pada pembahasan ini, maka kata “bajingan” berkonotasi negatif dan berkorelasi untuk memaki yang merendahkan martabat kemanusiaan.
Rekomendasi kajian
Pembahasan kata “bajingan” yang dikorelasikan dengan tiga ajektiva yang digunakan di atas, maka tidak cukup ditelaah menggunakan penelusuran etimologis historis kata dan makna leksikal semata, tetapi memerlukan perangkat lain dalam pengujiannya. Karena bahasa tidak berada di ruang hampa. Bahasa merupakan produk budaya dan nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan sebuah masyarakat.
Dalam upaya menghasilkan makna secara objektif, karena kata itu diungkapkan dalam konteks budaya, politik, dan ruang pidato di hadapan publik yang hadir, maka diperlukan perangkat analisis lain untuk mengungkapkan makna kata itu yang dikaitkan dengan kondisi latar waktu, sosial-budaya, dan politik, serta ideologi yang menyertainya. Dalam kaitan inilah bahasa tidak dapat berdiri sendiri untuk difahami secara tepat sehingga maksud yang diungkapkan oleh pembicara (RG) dapat dipahami secara lebih akurat.
Perangkat linguistik untuk pembahasan itu dapat didekati melalui analisis wacana, analisis wacana kritis, dan pragmatik. Dalam aspek lain, pembahasan masalah ini berkaitan erat dengan bidang makrolinguistik.
Pada titik inilah maka kita dapat mengungkapkan secara objektif tentang maksud pernyataan RG dalam forum pertemuan yang sudah berlagsung tersebut. Di sinilah para ahli bahasa memegang peranan penting untuk menafsirkan makna kata “bajingan” secara keilmuan dan objektif. [ ]
* Assoc. Prof. Dr. Fahmy Lukman, M.Hum, Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Unpad