
Ketika citra bertemu sorotan hukum dan kepercayaan publik mulai retak, balada Ridwan Kamil berubah menjadi cermin tentang kekuasaan, integritas, dan batas rapuh antara pesona dan pertanggungjawaban.
WWW.JERNIH.CO – Dalam mitologi politik Indonesia kontemporer, Ridwan Kamil pernah hadir sebagai tokoh yang nyaris tanpa cela. Ia bukan sekadar pejabat publik, melainkan simbol zaman: arsitek yang menata kota sekaligus citra, pemimpin yang memadukan estetika dengan teknologi, dan figur yang terasa dekat lewat layar gawai.
Kariernya melesat cepat, seolah mengikuti hukum alam orang-orang terpilih—ketika bakat, momentum, dan pesona bertemu dalam satu tubuh, lalu dipercaya publik tanpa banyak syarat.
Namun sejarah, baik sejarah bangsa maupun sejarah manusia, selalu berulang dalam satu pelajaran yang sama: tidak ada kejayaan yang kebal terhadap ujian realitas. Setiap tokoh yang terlampau cepat dipuja, suatu saat akan diuji—bukan oleh musuh, melainkan oleh harapan yang pernah diletakkan terlalu tinggi di pundaknya sendiri.
Max Weber menyebut karisma sebagai salah satu sumber legitimasi kekuasaan. Karisma membuat seorang pemimpin dicintai, dipercaya, bahkan dimaafkan. Ridwan Kamil lama hidup dalam ruang ini.
Media sosial menjadi panggung tempat ia menampilkan diri sebagai pemimpin romantik: puitis, humoris, dan penuh gestur simbolik. Ia tidak hanya memerintah, tetapi juga bercerita; tidak hanya membangun kebijakan, tetapi juga membangun suasana.
Namun karisma, seperti cahaya, memiliki sifat paradoks. Ia menerangi sekaligus membutakan. Ketika publik mulai merasa bahwa kehangatan personal lebih dominan daripada ketegasan kebijakan, karisma perlahan berubah menjadi kecurigaan.
Apa yang dulu dianggap “dekat” mulai dibaca sebagai “tidak sensitif”. Apa yang dulu dinilai “kreatif” beralih makna menjadi “terlalu sibuk membangun citra”. Di titik inilah pesona kehilangan daya lindungnya.
Kisah Ridwan Kamil pun mulai menyerupai Don Juan dalam sastra Eropa: sosok penakluk hati yang akhirnya kalah bukan karena kehabisan daya pikat, melainkan karena kehilangan kepercayaan. Ia tidak tumbang oleh duel terbuka, tetapi oleh keraguan yang tumbuh perlahan di benak mereka yang dahulu memujanya.
Sebagai arsitek, Ridwan Kamil memahami bahwa bentuk selalu membawa pesan. Kota, taman, dan bangunan bukan sekadar infrastruktur, melainkan narasi tentang kemajuan.
Namun dalam politik, estetika adalah pedang bermata dua. Proyek-proyek mercusuar yang dahulu dielu-elukan sebagai penanda visi dan inovasi, kini dibaca ulang dengan kacamata yang lebih kritis. Sorotan terhadap LHKPN, lonjakan kekayaan, serta efektivitas anggaran—terlepas dari proses hukum yang berjalan—melahirkan krisis persepsi.
Dalam politik modern, krisis persepsi sering kali lebih mematikan daripada vonis pengadilan. Hannah Arendt pernah mengingatkan bahwa kekuasaan bergantung pada kepercayaan, bukan semata pada kebenaran.
Maka publik pun mulai bertanya, bukan dengan kemarahan, melainkan dengan kekecewaan yang sunyi: apakah keindahan selalu sejalan dengan keadilan anggaran? Apakah inovasi cukup tanpa transparansi? Dan pertanyaan yang paling tajam: apakah pemimpin ini masih sama dengan yang dulu kami percayai?
Sejarah penuh dengan tokoh-tokoh yang jatuh bukan karena mereka tidak cerdas, melainkan karena terlalu lama percaya pada citra dirinya sendiri. Dari Julius Caesar hingga figur-figur modern, kejatuhan kerap diawali oleh rasa aman yang berlebihan—keyakinan bahwa reputasi dapat menggantikan akuntabilitas.
Ridwan Kamil, dalam balada ini, tampak berada di titik serupa: ketika pesona tak lagi cukup, dan publik menuntut sesuatu yang lebih berat namun esensial—integritas.
Bab paling sunyi dari kisah ini mengeras pada 10 Maret 2025, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah rumah Ridwan Kamil di kawasan Ciumbuleuit, Bandung. Penggeledahan itu terkait penyelidikan dugaan korupsi pengadaan iklan di Bank BJB, dengan potensi kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah.
Peristiwa tersebut bukan sekadar prosedur hukum, melainkan simbol pergeseran zaman: dari politik yang lama bertumpu pada citra, menuju arena akuntabilitas yang menuntut penjelasan konkret.
Dalam prosesnya, sejumlah aset disita, dan Ridwan Kamil dipanggil sebagai saksi untuk memberikan keterangan, termasuk mengenai dugaan aliran dana serta isu-isu personal yang telah lama beredar di ruang publik.
KPK menegaskan bahwa pemeriksaan ini bukan formalitas, melainkan upaya menelusuri relasi antara kekuasaan, kebijakan, dan manfaat pribadi. Meski hingga kini status hukumnya masih sebagai saksi dan belum ditetapkan sebagai tersangka, wilayah abu-abu pun terbentuk—di mana proses hukum berjalan perlahan, sementara persepsi publik melaju jauh lebih cepat.
Di sinilah reputasi diuji paling keras. Bukan oleh palu hakim, melainkan oleh opini kolektif yang terbentuk dari potongan informasi, ingatan akan citra masa lalu, dan ketidakpastian yang tak segera terjawab.
Niklas Luhmann pernah menulis bahwa masyarakat modern bekerja melalui diferensiasi sistem: politik hidup dari narasi dan legitimasi simbolik, sementara hukum bergerak dengan bahasa bukti, prosedur, dan tanggung jawab. Ketika dua sistem ini bersinggungan, ketegangan tak terelakkan.
Ironi pun menjadi kian terasa. Seorang yang membangun ruang publik kini diuji di ruang batin publik. Seorang yang merancang kota harus merancang ulang kepercayaan.
Friedrich Nietzsche pernah menyinggung rapuhnya batas antara kehendak untuk berkuasa dan kehendak untuk bermoral. Dalam balada ini, ketegangan antara ambisi dan tanggung jawab menjelma menjadi garis retak yang tak mudah disembunyikan oleh estetika apa pun.
Pada akhirnya, kisah Ridwan Kamil bukan semata tentang naik atau jatuhnya seorang tokoh. Ia adalah alegori tentang masyarakat yang mulai menuntut lebih dari sekadar kemolekan narasi dan kecanggihan pencitraan.
Di tengah riuh opini dan spekulasi, satu prinsip tetap berdiri sunyi namun kokoh: hukum tidak mengenal romantika. Ia berjalan perlahan, berlapis, dan kerap tanpa tepuk tangan—namun justru di sanalah keadilan diuji, bukan oleh sorak massa, melainkan oleh kesabaran pada fakta dan keberanian menanggung konsekuensinya.(*)
BACA JUGA: Ridwan Kamil Digulung Skandal: Diterpa Isu DNA, Dikaitkan Kasus Korupsi dan Kini Digugat Cerai Istri





