Bambu di Tengah Kehidupan Orang Sunda
Mungkin besok lusa, tak akan ada lagi yang mengetahui nama dan jenis “awi tali”, “awi temen”, “awi gombong”,”awi haur”, “awi hideung”, “tamiang”, dlsb. berikut segala turunannya, seperti “iwung”, yang merupakan bahan pangan cukup penting.
Oleh : Usep Romli H.M.
Akhir-akhir ini muncul gejala. Menganggap tanaman bambu tidak menguntungkan secara finansial-material. Berbeda dengan menanam kayu. Sehingga masyarakat memilih menanam kayu yang dapat segera mendatangkan uang, daripada menanam bambu yang hanya untuk “berkah” saja.
Artinya, nilai tambah ekonomi yang bersifat jangka pendek dan untung-untungan, sudah menyisihkan nilai tambah “berkah” yang sejak lama menjadi dasar pandangan hidup “urang Sunda”. Dalam menanam sesuatu, “urang Sunda” meniatkan, hasil tanaman itu, “keur anak incu jaga, lain wungkul keur urang ayeuna” (buat anak cucu di masa datang, bukan hanya buat kita sekarang saja).
Selain faktor perubahan pandangan hidup yang berubah seiring kebutuhan gaya hidup serba uang dan serba instan, juga faktor perubahan cuaca. Suhu semakin panas, mempengaruhi kondisi tanaman bambu menjadi lebih pendek dan menjadi kurang kuat.
Padahal tanaman bambu tak terpisahkan dari hidup dan kehidupan “urang Sunda” yang mayoritas tinggal di pedesaan dengan professi umum bercocok-tanam. Memiliki tanaman bambu bagi “urang Sunda” ibarat memiliki “cengcelengan”. Tabungan. Atau deposito bagi khalayak moderen.
Selain karena bambu dapat dijadikan jaminan kebutuhan sandang pangan sehari-hari, juga dapat dijadikan bahan tabungan sebearmya.. Ruas-ruas bambu menjadi tempat penyimpanan uang. Djadikan “cengcelengan”. Terutama pada zaman “duit kencring”.
Pada dua tiga dasawarsa lampau, sebelum datang plastik merambah segala bidang, bambu adalah andalan setiap orang. Untuk tali pengikat, mewadahi barang, alat-alat rumah tangga, dan lain sebagainya, kebutuhan primer sehari-hari. Kehadiran plastik, bukan hanya menyisihkan peran dan fungsi bambu, tapi juga barang-barang lain yang menggambarkan kesederhanaan dan kepraktisan hidup “urang Sunda” yang akrab dan ramah dengan lingkungan alam. Seperti alat-alat terbuat dari tanah (gerabah), kayu, batu, dlsb. Semua sudah serba plastik saja.
Alih fungsi lahan dari sawah atau ladang menjadi pabrik, dan infrastruktur moderen lain, juga ikut berdampak terhadap keberadaan bambu. Rumpun-rumpun bambu yang identik dengan kemuraman, kekumuhan, dianggap tidak cocok di tengah lanskap kontemporer yang serba terang benderang, cerah kemilau.
Padahal pohon bambu dengan “dapuran” (rumpun) nya yang rimbun, merupakan pengikat tanah dari ancaman erosi. Juga sebagai penyedia cadangan air. Tapi apa boleh buat. Tuntutan keadaan zaman sudah jauh melesat ke depan. Tak membutuhkan lagi belaian dan desiran daun-daun bambu. Maka bersiap-siaplah generasi masa kini, untuk kehilangan kekayaan khazanah alam sekitar yang dikandung tanaman bambu. Mulai dari nama dan jenis hingga manfaat pohon bambu bagi manusia, baik sebagai sumber kearifan lokal, hingga pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Bambu sebagai “berkah” sudah kalah oleh segala macam alasan serba ekonomi.
Mungkin besok lusa, tak akan ada lagi yang mengetahui nama dan jenis “awi tali”, “awi temen”, “awi gombong”,”awi haur”, “awi hideung”, “tamiang”, dlsb. berikut segala turunannya, seperti “iwung”, yang merupakan bahan pangan cukup penting.
Maka lampu merah kemiskinan flora – dan tentu juga fauna — di Tatar Sunda akan semakin menyala. Tanda semakin kritis.Setelah banyak lahan tergerus infrastruktur moderen yang melahap segala isi kekayaan permukaan tanah, terutama floradan fauna itu, kini jenis-jenis tanaman andalan masa lalu, masa kini dan masa depan, seperti bambu, akan ikut lenyap pula akibat perubahan sikap pandangan hidup urang Sunda dan perubahan cuaca global.
Urang Sunda ibarat “awi sumaer”. Terombang-ambing ditengah terpaan angin kehidupan yang entah mengarah ke mana. [ ]