“Ke Mana Kalian Akan Pergi?”
Sebelum melontarkan pertanyaan lumrah namun sangat dahsyat itu, Allah SWT terlebih dulu memaparkan kondisi alam semesta pada saat terjadi Hari Kiamat. Yaitu tatkala matahari digulung. Bintang-bintang berjatuhan. Gunung-gunung dihancurkan. Sehingga seluruh mahluk lintang pukang mencari penyelamatan
Oleh : H.Usep Romli H.M.
Di tengah gonjang-ganjing serangan Corona, marilah kita merenungkan makna pertanyaan “ke mana”, sebagai bagian dari kata tanya “bagaimana”, “mengapa”, apa”, “kenapa” dst.
Pertanyaan “ke mana?”, mungkin paling sering digunakan secara massal dan fenomenal. Penyanyi dangdut Ayu Tingting tahun 2012 meraup sukses karena mendendangkan lagu “Alamat Palsu”, yang penuh kata tanya “ke mana, ke mana?” Setengah abad sebelumnya (1969), mendiang penyanyi Ellya M. Haris alias Ellya Khadam, mengalami hal serupa, berkat lagu “Kau Pergi Tanpa Pesan” yang dimulai dengan kata tanya “ke mana?”. Demikian pula Elvie Sukaesih, yang lagunya “Ke mana?” sangat populer pada pertengahan 1970-an.
Kata tanya “ke mana?” memang sangat umum. Menjadi keperluan pokok dalam percakapan sehari-hari. Namun mengandung makna sangat mendalam, karena di situ terdapat gambaran ketidaktahuan manusia yang serba lemah dan terbatas pengetahuannya.
Apalagi jika dilontarkan oleh Allah SWT, Sang Maha Pencipta Kata, sekaligus pencipta mahluk pengguna kata, kalimat dan bahasa. “Fa aina tadhabun?”. Ke mana kalian akan pergi? (Q.s.at Takwir : 26).
Sayyid Qutub, penulis tafsir “Fi Dzilalil Qur’an”, menyebut pertanyaan tersebut sangat menyentak. Menguak kesadaran setiap insan atas ketakberdayaan dirinya menghadapi kekuasaan Allah SWT, yang telah memberi pilihan jelas tentang arah kehidupan di jalan lurus. Namun kebanyakan manusia mengabaikan. Justru terseret ke arah jalan sesat dan menyesatkan yang membawa kepada kehancuran di dunia dan akhirat.
Sebelum melontarkan pertanyaan lumrah namun sangat dahsyat itu, Allah SWT terlebih dulu memaparkan kondisi alam semesta pada saat terjadi Hari Kiamat. Yaitu tatkala matahari digulung. Bintang-bintang berjatuhan. Gunung-gunung dihancurkan. Sehingga seluruh mahluk lintang pukang mencari penyelamatan. Tak ingat apa-apa lagi (Surat at Takwir : 1-6).
Termasuk unta-unta bunting yang akan melahirkan. Dalam tradisi Arab, memelihara unta adalah sangat istimewa. Selain menjadi sumber nafkah, juga sebagai gengsi. Jumlah unta peliharaan menjadi salah satu ukuran kekayaan dan kehormatan. Terlebih jika banyak di antara unta peliharaan bunting-bunting. Berarti sehat-sehat, di samping akan menambah koleksi jumlah unta. Menunggui dan menjaga unta bunting siap melahirkan, merupakan tugas penting setiap anggota keluarga. Tidak boleh dibiarkan terlantar, terutama pada saat bayi unta ke luar dari rahim induknya.
Dalam tradisi moderen, unta bunting mungkin setara dengan emas intan, deposito, tabungan, saham, harta bergerak, harta tidak bergerak, dan lain-lain yang juga menjadi ukuran dan kehormatan duniawi.
Tapi ketika terjadi guncangan kiamat, semua tak berarti. Harta, kekayaan, kehormatan, tak perlu lagi dipertahankan. Semua gunjang-ganjing. Tak tahu arah pelarian.
Di daratan, gunung-gunung sudah hancur lebur. Di lautan, air menggelegak. Panas jutaan derajat.
Kemudian ruh dipertemukan dengan tubuh. Manusia yang sudah mati dibangkitkan kembali. Yang masih hidup, mengalami kematian pula bersama proses pelenyapan alam semesta, dan juga dihidupkan lagi seperti yang sudah mati terdahulu. Lalu digiring ke alam mahsyar, untuk menempuh perhitungan amal perbuatan. Yaumul Hisab. Hari Perhitungan, Hari Pengadilan yang dipimpin langsung oleh Allah SWT Ahkamul Hakimin. Hakim Maha Hakim.
Di situ, bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, dosa apa yang membuat mereka dibunuh? (S.at Takwir : 9). Dalam tradisi Arab Jahiliyah (sebelum kedatangan Islam), memiliki bayi perempuan dianggap aib, noda, penghinaan. Karena yang dibutuhkan adalah bayi laki-laki yang kelak tumbuh dewasa menjadi pahlawan. Sehingga setiap bayi perempuan yang baru lahir, langsung “diruang kerepes”. Dikubur hidup-hidup hanya karena rasa malu keluarga yang tumbuh dari keangkuhan dan kesombongan heroisme belaka.
Namun, tradisi Jahiliyah tersebut, ternyata masih terus tumbuh berkembang pada zaman moderen. Tatkala sebagian manusia merasa malu mempunyai bayi. Bukan hanya perempuan saja. Tapi juga lelaki. Malu karena lahir dari hubungan tidak sah. Hubungan gelap, perzinahan, yang terkutuk. Sehingga membawa dosa tambahan terkutuk pula. Yaitu pembunuhan terhadap bayi tak berdosa. Bahkan berbagai praktek pembunuhan bayi di abad “jahiliyah” moderen ini, lebih sadis.
Mulai dari aborsi janin, baik ilmiah, maupun non-ilmiah, maupun pembunuhan langsung begitu bayi ke luar. Termasuk juga membuang dan menelantarkan bayi atau anak-anak yang masih membutuhkan asuhan dan kasih sayang orang tua.
Kemudian catatan amal perbuatan dibuka terang-terangan. Gamblang segamblang-gamblangnya. Tak ada sedikit pun yang disembunyikan. Direkayasa. Diputarbalikkan. Neraka telah dinyalakan. Siap menelan para pendosa. Surga telah dibukakan. Siap menyambut para penerima pahala kebajikan. Tiap jiwa, saat itu, akan mengetahui apa yang dikerjakannya (S.at Takwir : 10-14).
Dipaparkan pula posisi Malaikat Jibril, sebagai panglima para malaikat, yang telah bertugas menyampaukan wahyu Ilahi kepada Nabi Muhammad Saw, berupa ayat-ayat Quran. Sehingga mustahil jika ayat Quran itu merupakan perkataan syaitan terkutuk (S.at Takwir : 19-25). Ayat-ayat Quran itu merupakan peringatan bagi semesta alam. Bagi siapa saja di antara manusia yang bersedia menempuh jalan lurus (S.at Takwir : 27-28).
Untuk memperoleh petunjuk ke jalan lurus tersebut, Allah SWT menguji manusia dengan kewajiban menempuh proses pembelajaran (S.at Takwir : 29). Sehingga, atas kehendakNya, berhasil meraih pencapaian posisi terpuji. Tunduk patuh menjalankan segala perintah Allah SWT, sekaligus meninggalkan segala laranganNya. Yaitu takwa.
Maka pertanyaan “ke mana kalian akan pergi ?” jawabannya jelas sudah. Apakah menuju jalan lurus yang dipandu petunjuk Quran menuju ridla Allah SWT ? Atau menuju jalan sesat menyesatkan seperti yang pernah ditempuh oleh orang-orang dimurkaiNya? (Q.s.al Fatihah : 7).
Namun jika direnungkan, dicamkan dan diyakinkan, mengenai kekuasan Allah SWT terhadap masa depan dan masa akhir kehidupan dunia dan alam semesta, sebagaimana dipaparkan secara rinci di atas, mustahil jika ada orang yang memilih jalan terkutuk, penuh dosa kemaksiatan yang tak mungkin dapat tertanggungkan dalam Hari Pengadilan Yang Maha Adil. Tentu semua ingin memilih jalan lurus, penuh amal kebaikan da kebajikan, serta janji ganjaran dan pengampunan dari Allah al Wahabul Ghoffar. Semoga kita tetap berada di situ, bersama orang-orang yang mendapat petunjuk. Tetap teguh (istikomah) sekalipun di tengah serangan Corona yang membuat kalang-kabut. [ ]