SolilokuiVeritas

Benarkah Abu Batu Bara Tidak Berbahaya?

Laporan Greenpeace tahun 2015 menyebutkan bahwa sebagai negara dengan perkembangan ekonomi yang pesat, Indonesia memiliki puluhan pembangkit listrik tenaga batu bara yang menghasilkan emisi ratusan ribu ton setiap tahunnya. Merkuri, timbal, arsenik, kadmium, dan bahan kimia lainnya dilepaskan ke udara oleh pembangkit listrik ini, dan racun ini menembus jauh ke dalam paru-paru manusia.

Oleh   : Lengga Pradipta*

JERNIH–Banyak pemangku kepentingan, termasuk ahli lingkungan, ekonom, dan pembuat kebijakan, telah menyatakan keprihatinannya tentang masalah sumber daya alam dan mineral sebagai akibat dari laju globalisasi yang cepat dalam beberapa dekade terakhir.

Sumber daya alam dan mineral di Indonesia dianggap milik negara, artinya pemerintah pusat bertanggung jawab untuk menegakkan semua operasi yang berkaitan dengan akses dan pemanfaatan sumber daya.

Lengga Pradipta

Secara tegas dinyatakan dalam Konstitusi Indonesia bahwa segala sumber daya yang dikuasai negara akan digunakan untuk kemakmuran bangsa. Namun, meski aturannya sudah jelas, situasi dan fakta bisa jadi berbeda. Banyak masalah muncul akibat ketidakmampuan pemerintah untuk menegakkan hukum sumber daya alam dan mineral, serta mengelola limbah sumber daya mineral.

Pada awal Februari 2021, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa FABA (fly ash dan bottom ash) dari pembakaran batubara tidak lagi dianggap sebagai limbah berbahaya. Secara naluriah, keputusan ini telah memicu pertanyaan tentang masalah lingkungan dan keberlanjutan Indonesia, dan sejumlah pemangku kepentingan telah mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari pernyataan ini.

Plus-minus Fly Ash dan Bottom Ash (FABA)

Ketika para ilmuwan membahas materi yang dihasilkan dari pembakaran batu bara beberapa dekade yang lalu, mereka jarang menggunakan kata-kata umum, sehingga sulit dipahami oleh masyarakat umum. Namun, mereka sekarang mencoba untuk menyederhanakannya dengan menggunakan akronim FABA (fly ash dan bottom ash).

Fly ash adalah abu hasil pembakaran batu bara yang mengapung di permukaan, sedangkan bottom ash adalah abu yang jatuh ke tanah. Karbon, nitrogen, dan silika hanyalah beberapa dari komponen FABA. Komponen tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai barang industri, seperti aspal, blok perkerasan, dan pondasi jalan.

Selain itu, batubara tetap menjadi pilihan sumber daya pertambangan yang paling dicari di Indonesia, karena pemerintah memiliki rencana ambisius untuk menjadikan batubara sebagai sumber utama pembangkit listrik (54,4%) pada tahun 2025. Misinya adalah menghasilkan listrik di seluruh Indonesia, termasuk di pedesaan dan daerah terpencil. Awalnya menjanjikan; Kita dapat melihat bahwa pemerintah Indonesia telah menempatkan prioritas tinggi pada pembangunan infrastruktur dan telah meraup keuntungan ekonomi yang besar sebagai hasil dari tindakannya, tetapi apakah ini pilihan terbaik?

Laporan Greenpeace tahun 2015 menyebutkan bahwa sebagai negara dengan perkembangan ekonomi yang pesat, Indonesia memiliki puluhan pembangkit listrik tenaga batu bara yang menghasilkan emisi ratusan ribu ton setiap tahunnya. Merkuri, timbal, arsenik, kadmium, dan bahan kimia lainnya dilepaskan ke udara oleh pembangkit listrik ini, dan racun ini menembus jauh ke dalam paru-paru manusia.

Setiap tahun, lebih dari tiga juta orang meninggal secara prematur akibat polusi udara. Kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung, dan penyakit pernapasan semuanya meningkat akibat polusi. Pembakaran batu bara adalah salah satu sumber emisi yang paling signifikan.

Penambangan batu bara tidak hanya menimbulkan polusi udara yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat, tetapi juga merusak hutan hujan Indonesia dan menurunkan kualitas air sungai dan danau. Ikan yang ditangkap di daerah dekat pembangkit listrik tenaga batu bara, misalnya, memiliki merkuri 19 kali lebih banyak daripada ikan yang ditangkap di daerah lain tanpa pembangkit listrik. Ini tidak dapat disangkal membahayakan kesehatan jutaan orang.

Krisis sumber daya VS kesenjangan ekonomi

Pada tahun 2011, seorang ekonom terkenal, Jeffrey D. Sachs, memprediksikan bahwa krisis sumber daya yang berkembang akan memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin– dan bahkan dapat berkontribusi pada peningkatan ketimpangan.

Bertahan hidup adalah perang yang berdarah-darah. Orang kaya akan mencoba menggunakan kekayaan mereka untuk merebut lebih banyak tanah, air, dan sumber daya untuk diri mereka sendiri dan banyak yang akan mendukung cara-cara kekerasan jika perlu.

Hal ini juga terjadi di Indonesia, di mana kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin tumbuh secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Sebaliknya, empat orang terkaya di Indonesia memiliki lebih banyak modal daripada seluruh penduduk negara yang 100 juta penduduk miskin. Kondisi ini mengakibatkan tingkat kemiskinan tertinggi dan merupakan tantangan yang signifikan bagi stabilitas sosial.

Dan, sejak peraturan pembakaran batu bara diberlakukan dan tersedia untuk industri, pemerintah Indonesia memiliki beberapa pilihan untuk menyeimbangkan permintaan ekonomi sambil tetap melindungi lingkungan.

Pertama, kita dapat mencoba skenario energi baru dengan meningkatkan dan mengubah ekonomi kita menjadi sumber energi terbarukan, karena kita memiliki sumber daya yang cukup. Memang bukan pekerjaan rumah yang mudah untuk diselesaikan, tapi bukan berarti tidak mungkin.

Kedua, pemerintah dapat memungut pajak yang adil atas orang kaya untuk mencegah kesenjangan ekonomi melebar. Ketiga, perkuat hukum lingkungan untuk membatasi peraturan pembakaran batu bara, terutama untuk mengurangi tanah dan air yang tercemar, serta udara yang tercemar, guna melindungi kesehatan manusia.

Terakhir, seperti yang dikatakan Mahatma Ghandi, “Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk memuaskan keserakahan semua orang.” [Modern Diplomacy]

*Peneliti Ekologi Manusia pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI]. Tulisan ini opini penulis.

Back to top button