Ada baiknya para pejabat negara sadar bahwa dampak dari kata atau pernyataan itu menjadi pertanggungjawaban dunia akhirat. Di dunia akan direspons publik, di akhirat akan dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Maha Pemilik Hari Pengadilan (Malik al-Yaumiddin). Baiknya ingatkan lagi: Kerja! Kerja! Kerja! Jangan terlalu banyak ngomong tanpa dasar keilmuan yang cukup. Lelah bangsa ini dijadikan ribut oleh sebagian pejabatnya sendiri.
Oleh : Shamsi Ali*
JERNIH– Sambil menikmati pergerakan kereta api bawah tanah di kota New York, saya mencoba kembali bertanya-tanya, ada apa dengan berbagai perdebatan, bahkan kekisruhan yang terjadi saat ini? Apalagi jika melihat hiruk pikuk media, khususnya di media sosial. Mengapa setiap pernyataan kerap kali hanya datang untuk memicu perdebatan?
Mungkin saja karena masyarakat kita mengalami euphoria kebebasan yang sering tak terkontrol. Mungkin juga karena memang masyarakat kita sedang mengalami emosi sosial yang terpicu oleh banyak penyebab. Atau juga karena memang ada kepentingan dan tujuan dari pihak-pihak tertentu yang senang mengail di air keruh.
Semua itu dan tentunya banyak lagi penyebab lainnya boleh jadi menjadi pemicu semua kekisruhan dan lalu lalang perdebatan terhadap ragam isu di media sosial khususnya. Pastinya ada sensitivitas keumatan (sosial) yang sedang terusik. Bahkan boleh saja telah mencapai tingkatan kekecewaan, bahkan memarahan.
Tapi tampaknya yang paling sering menjadi pemicu adalah karena adanya pihak-pihak yang perlu mengontrol pernyataan-pernyataan (kata-kata) mereka. Benar kata sebagian orang bijak: kata itu bisa jadi air yang menyejukkan. Tapi juga bisa jadi api yang membakar.
Hakikat inilah barangkali diingatkan secara tersirat oleh beberapa ayat Al-Quran. Dua ayat yang ingin saya kutip di bawah ini saya kira mewakili urgensi seseorang menjaga kata atau pernyataan.
Ketika Allah bersumpah tengah lisan dan bibir: ولسانا وشفتين (dan demi lidah dan dua bibir), para ulama mengungkapkan bahwa salah satu maksud terpenting dari ayat itu adalah urgensi menjaga kata-kata atau pembicaraan.
Demikian juga ketika Allah menggandengkan beberapa hal pokok kehidupan manusia di awal Surah Ar-Rahman. Satu yang terpenting di antaranya adalah urgensi membangun komunikasi yang tidak saja benar. Tapi juga berkesesuaian, termasuk di dalamnya menjaga sensitivitas objek pembicaraan.
Komunkasi yang sesuai dan benar itu diistilahkan dengan “Allah nengajarkan al-bayaan”. Sebagian ulama memaknai al-bayan dengan ekspresi sosial menusia dengan alam sekitarnya. Termasuk di antaranya urgensi menjaga kata dan pembicaraan.
Rasulullah SAW sendiri bahkan menjamin syurga bagi siapa yang mampu menjaga lisannya. Ini sekaligus menandakan urgensi berhati-hati dalam berkata atau berbicara. Karena benar juga kata orang bijak: sebuah kata dapat menembus apa yang tidak dapat ditembus sebatang jarum.
Tentu akan lebih sensitif lagi ketika kata atau pembicaraan itu keluar dari seorang yang telah menjadi figur publik (public figur). Apalagi jika ketokohan itu datang karena sebuah posisi publik yang lebih dikenal dengan ‘pemimpin’ atau ‘tokoh’ di bidang apa saja.
Pemimpin itu katanya didengar. Baik dalam makna positif (diikuti) atau dalam makna negatif (ditolak). Tapi intinya, kata-kata pemimpin itu didengar oleh publik dan karenanya kerap menimbulkan perdebatan dan kekisruhan.
Contoh terdekat barangkali adalah Donald Trump. Sebelum menjadi Presiden Amerika Donald Trump sering memberikan statement atau pernyataan-pernyataan yang kontroversial. Tapi ketika itu tidak terlalu menimbulkan “public damage” (kerusakan umum) yang terasa. Bahkan saya pernah berkesempatan menemuinya ketika memberikan statement yang sangat tidak bersahabat dengan Islam. Tapi semua itu terasa biasa saja. Berlalu tanpa ada dampak yang terlalu berarti.
Berbeda ketika Trump telah terpilih jadi presiden. Kata-katanya, walaupun itu tampak kecil, ternyata memiliki dampak besar di benak banyak rakyat Amerika. Pernyataan Trump misalnya bahwa “Islam hates us”, memiliki dampak yang berbeda antara sebelum dan sesudah dirinya menjadi seorang pemimpin.
Saya masih dapat merasakan dampak negatif pernyataan Trump di saat telah menjadi presiden. Begitu banyak warga Amerika yang mengambilnya secara hitam putih sehingga terbangun ketakutan, kecurigaan, bahkan ketakutan kepada agama ini secara berlebihan.
Di sinilah saya ingin mengingatkan kepada semua jajaran kepemimpinan di Tanah Air, baik di tingkat nasional maupun daerah, dan pada skala apapun untuk menjaga kata-kata (pernyataan). Karena begitu kata atau pernyataan itu keluar ke publik pastinya akan menjadi konsumsi publik pula. Dan itulah yang kemudian menimbulkan ragam kegelisahan, keresahan, kekisruhan bahkan perdebatan yang membawa kepada permusuhan dan perpecahan.
Ada baiknya para pejabat negara sadar bahwa dampak dari kata atau pernyataan itu menjadi pertanggungjawaban dunia akhirat. Di dunia akan direspons publik, di akhirat akan dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Maha Pemilik Hari Pengadilan (Malik Al-Yaumiddin).
Para pemimpin sebaiknya menghayati peringatan Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat maka hendaknya berkata yang baik atau diam.”
Baiknya diingatkan kembali: kerja, kerja, kerja! Jangan terlalu banyak ngomong. Apalagi tentang hal yang tidak didasari keilmuan yang cukup. Lelah bangsa ini dijadikan ribut oleh sebagian pejabatnya sendiri. [ ]
NYC Subway, 1 Desember 2021
* Presiden Nusantara Foundation