Bila KPU Juga Masuk Angin, Apa yang Diharapkan dari Pemilu?
Belum lagi bila urusan mencuatnya sengketa Pemilu pun menjadi bahan pertimbangan. Kompas.tv pada Rabu, 3 Juli 2019, pukul 22:15 WIB menyiarkan berita bertajuk “4 Kali Pilpres Indonesia Berakhir Dengan Sidang Sengketa Hasil Pemilu”, yang artinya seluruh Pemilu era pemilihan langsung, hasilnya selalu diprotes. Kompas.tv menulis,”Kecurangan jadi dasar para calon presiden yang maju di pilpres 2004, 2009, 2014, dan 2019 tersebut ajukan gugatan.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Sulit untuk percaya kalau Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asyári, sudah menderita pikun (demensia) sebelum waktunya. Namun jika kesaksian seorang anggota KPU Daerah (KPUD) dalam program “The Political Show” CNN Indonesia TV, Senin (19/20) malam lalu benar terbukti, anggapan pikun itu boleh saja mengemuka.
Pada program tersebut, seorang anggota KPUD mengatakan ada instruksi bernada ancaman dari Komisioner KPU, Idham Holik—anak buah Hasyim–,untuk meloloskan Partai Gelora, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dan Partai Garuda menjadi peserta Pemilu 2024. Instruksi “plus-plus” itu disebutkan disampaikan pada rapat konsolidasi Nasional KPU dengan KPUD seluruh Indonesia di Ancol, Jakarta.
Sekali lagi, kalau semua itu kemudian terbukti benar, sebagai ketua, Hasyim tampaknya lupa akan sejarah KPU yang seringkali cenderung tak sedap selama ini. Bagi publik, meski pengakuan tersebut masih harus dibuktikan kebenarannya, paling tidak sudah memancing opini bahwa Hasyim kurang cakap mengurus perilaku anak buahnya. Lebih jauh lagi, masih wajar bila di era medsos yang penuh gunjingan dan ghibah ini pikiran liar masyarakat pun menyangka lebih dari itu. Ada anggapan KPU sudah tak netral lagi dan malah mencari peluang ‘usaha’ sendiri, misalnya. Semoga saja seiring waktu, bukti menegaskan bening dan kukuhnya integritas para komisioner, yang dalam urusan Pemilu laiknya laksana hakim itu.
Sudah nyaris menjadi rahasia umum kalau KPU seringkali disangsikan dari waktu ke waktu, dari satu ke lain periode yang tentu berbeda pula anggotanya. Anggapan kurang netral, sangkaan masih menyisakan banyak keraguan, dan semacamnya, yang diperparah dengan ekses buruk era media sosial. Sering memang muncul semacam pembenaran, bahwa apapun yang diputuskan KPU, tak akan bisa memuaskan semua pihak, baik partai politik yang jumlahnya bejibun itu, atau bahkan publik, warga masyarakat.
Tetapi jangan pernah lupa, entah kesangsian, keraguan, atau apapun bentuk kekecewaan masyarakat, tentu memiliki sebab. Tak akan ada asap tanpa api, kata peribahasa lama.
Pada ‘sejarah’nya, kesangsian itu sempat memuncak pada rumors yang berkaitan dengan kematian Ketua KPU era Pemilu 2014, Husni Kamil Manik. Tidak tanggung-tanggung, bermula dari posting seorang warganet di Facebook, diikuti seorang postingan seorang politisi yang kini menjadi pendukung garis keras pemerintah Jokowi di Youtube, beredar kabar bahwa Husni meninggal karena diracun.
Kalau dibilang gempar sih belum sampai. Hanya, tidak saja sekian banyak media massa kemudian harus menerbitkan hasil cek faktanya tentang isu tersebut, Kementerian Kominfo pun harus turun tangan menyangkal isu tersebut. Bercak-bercak merah yang keluar di sekujur wajah Husni kemudian disebutkan karena menderita infeksi yang sudah menyebar di tubuh, disertai penyakit gula.
Pada kepemimpinan Arief Budiman, seiring Pemilu 2019 lalu beredar pula kabar kematian ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Situs Kompas pada 22 Januari 2020 menulis, ada 894 petugas KPPS meninggal dunia, dan 11.239 lainnya mengalami sakit. Data itu kontan menimbulkan aneka sas-sus tentang penyebab, selain sekian versi teori konspirasi. Sas-sus itu berhenti sendiri seiring waktu. Pihak KPU sendiri saat itu meyakini bahwa beratnya beban kerja petugas KPPS di Pemilu 2019 menjadi salah satu faktor banyaknya petugas yang sakit atau meninggal dunia.
Belum lagi bila urusan mencuatnya sengketa Pemilu pun menjadi bahan pertimbangan. Kompas.tv pada Rabu, 3 Juli 2019, pukul 22:15 WIB menyiarkan berita bertajuk “4 Kali Pilpres Indonesia Berakhir Dengan Sidang Sengketa Hasil Pemilu”, yang artinya seluruh Pemilu era pemilihan langsung, hasilnya selalu diprotes. Kompas.tv menulis,”Kecurangan jadi dasar para calon presiden yang maju di pilpres 2004, 2009, 2014, dan 2019 tersebut ajukan gugatan. Semua bukti dan keterangan saksi, jadi pertimbangan hakim dalam rapat permusyawaratan hakim untuk pengambilan putusan.”
Maka dengan fakta ‘sejarah’ seperti itu—dan mustahil itu luput dari radar ketua KPU—seharusnya Hasyim jauh dari semberono. Kalau instruksi yang disebut-sebut itu murni ‘prakarsa’ pribadi Idham, Ketua masih bisa “disalahkan” publik karena lalai membina anak buah. Kalau kemudian urusan instruksi itu terbukti ada dan secara meyakinkan datang sebagai prakarsa dirinya—apa pun raison d’etre-nya—mungkin sebaiknya kita ber-he he he saja. Mau apa lagi?
Kalau yang terakhir itu nanti datang sebagai fakta, paling beberapa orang yang lebih ‘ngulama’ di antara kita akan mengaitkannya dengan keberanian manusia zaman ini menantang kemungkinan Peradilan Ilahi di akhirat nanti. Sementara warga kelas bawah yang lebih terbiasa dengan hal itu, barangkali hanya akan mendengus ketus,”Seperti yakin bener nggak akan ada Pengadilan Aherat…”. Jangan berharap lebih dari itu.
Pasalnya, dalam ajaran agama, diyakini ada hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Tirmidzi tentang beratnya beban seorang hakim. “Barangsiapa yang dijadikan hakim di antara manusia, maka sungguh ia telah disembelih tanpa menggunakan pisau.” (HR. Tirmidzi).
Selebihnya, jika itu yang terjadi–sekali lagi hanya jika semua isu ini kemudian hari terbukti benar—negeri ini tengah membuang-buang uang percuma untuk Pemilu yang mungkin sejatinya tidak memiliki nilai tinggi. Bukankah kita yang beragama tahu betul adanya kaidah fikih yang berbunyi: “Tujuan (yang baik) tidaklah membuat baik sarana (yang haram) kecuali dengan adanya dalil.” (Lihat Syaikh Walid bin Rasyid bin Abdul Aziz bin Su’aidan, “Tadzkir Al Fuhul bitarjihat Masail Al Ushul”, hal. 3. Lihat juga “Talqih Al Ifham Al ‘Aliyah”).
Lebih tegas lagi, dalam Alquran Allah SWT berfirman,”Dan janganlah kamu mencampurkan antara haq dan batil, dan kamu menyembunyikan yang hak itu padahal kamu tahu.” (QS. Al Baqarah (2): 42).
Padahal tanpa bercak kotor itu pun sudah banyak di antara warga yang pesimistis dengan Pemilu. Misalnya, tidak sedikit warga yang berpikir, bagaimana mungkin Pemilu 2024 menjadi harapan rakyat, jika haluan bangsa pun menurut mereka sudah tak lagi mengarah menuju Pulau Kesejahteraan yang sebelumnya menjadi tujuan bersama? Ini berkaitan dengan banyak kalangan pemikir kritis melihat alih-alih salah satu cita-cita kemerdekaan menegaskan negara harus memajukan kesejahteraan umum, yang kita dapat saat ini justru disparitas kesejahteraan yang kian senjang.
Belum lagi arus besar pemikiran yang meyakini bahwa Pemilu 2024 sejatinya hanya akan menjadi momen pseudo-demokrasi riuh rendah, yang digelar hanya untuk melestarikan kepentingan para politisi, parpol dan segelintir oligarki yang telah nyaman dengan semua ini. Bagi rakyat banyak, relatif momen lima tahunan itu tak punya arti.
Penulis sendiri memilih mengambil sikap untuk berpantang menjalani hidup tanpa harapan. “Tidaklah berputus asa, kecuali orang-orang yang menutupi kebenaran,”menurut Alquran, Surat Yusuf ayat 87. Pemilu, bila dilakukan dengan niat baik dan tulus, cara yang baik dan jujur, tentu akan mencapai tujuannya yang mulia, dalam berkah Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun soal yang berkaitan dengan lolosnya tiga parpol– Partai Gelora, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dan Partai Garuda—sementara hanya Partai Ummat yang dibiarkan terjerembap sendirian, menurut saya yang dhaif, keadilan masih bisa kita tegakkan. Ada dua opsi. Pertama, dengan lolosnya ketiga parpol tersebut, Partai Ummat pun sebaiknya diloloskan. Atau, sekalian saja keempatnya diminta menunggu lima tahun yang akan datang. Pembaca bisa berpartisipasi mencari sekian alasan pembenar kedua opsi tersebut. [INILAH.COM]