CrispyVeritas

Amankah Pemilu Presiden AS Mendatang dari Cawe-cawe Hacker Rusia?

Biro Investigasi Federal (FBI) dan Cybersecurity and Infrastructure Security Agency mengeluarkan pernyataan bersama yang mengonfirmasi bahwa mereka tidak melihat serangan siber pada database pendaftaran pemilih

JERNIH—Manakala Donald Trump terpilih sebagai presiden AS beberapa tahun lalu, segera merebak berita bahwa ada tangan-tangan Rusia di balik kemenangan tersebut. Berbilang tahun, kita melihat bahwa berita tersebut seolah makin mendapatkan pembenaran bahwa memang itulah yang terjadi.    

Dua hari lalu, Selasa (1/9) sebuah surat kabar Rusia mengklaim bahwa para peretas Rusia telah menyita data pribadi jutaan pemilih AS. Kontan berita tersebut memicu kepanikan tentang terulangnya upaya Rusia untuk mempengaruhi pemilihan presiden AS, sebagaimana Pemilu Presiden sebelumnya.

Laporan tersebut dibagikan secara online oleh sejumlah jurnalis terkenal, komentator politik, dan pakar keamanan nasional, yang mempermasalahkan kekhawatiran yang meluas tentang rencana Moskow untuk mengulangi keberhasilan campur tangan mereka di dunia maya dalam pemilu AS 2016.

Satu-satunya masalah: laporan tersebut menurut Foreign Policy, hampir seluruhnya salah. Empat tahun lalu sebuah lembaga Rusia melancarkan kampanye disinformasi di Amerika Serikat tentang kuatnya peran hacker Negara Beruang Merah tersebut dalam memengaruhi kemenangan Trump di dunia maya. Dan kampanye tersebut bisa dibilang sangat sukses.

“Saya sangat frustrasi melihat sejumlah orang yang memiliki kepiawaian politik dan mengerti keamanan nasional, langsung mengunggah cerita tersebut di media sosial mereka, menggambarkannya sebagai kebenaran,”ujar Cindy Otis, mantan analis CIA, kepada Foreign Policy. “Ini adalah kisah peringatan, apakah Anda memiliki dua pengikut atau bahkan sejuta orang, Anda tetap harus menguji setiap berita yang ada.”

Kini, tatkala semua mata terbuka akan kemungkinan hal tersebut, apalagi setelah bulan lalu seorang pejabat tinggi intelijen AS pun memperingatkan kemungkinan,”Sebuah negara asing akan terus menggunakan langkah-langkah dan pengaruh terselubung dalam upaya mereka mempengaruhi preferensi pemilih AS”, kewaspadaan,–bahkan sudah sampai taraf kecurigaan, pun meningkat. Yang pasti, semua memperkeruh keadaan dan semakin membingungkan calon pemilih.

“Pasti ada minat untuk cerita semacam ini, dan semua orang mencari tahu akankah Rusia campur tangan dalam pemilu,” ujar Nina Jankowicz, pakar soal disinformasi di Wilson Center. “Kurangnya informasi yang kami peroleh dari pemerintah federal sejauh ini,” kata Nina, “Orang-orang pun berusaha untuk mengisi kekosongan tersebut.”

Pakar keamanan siber dengan cepat menyanggah klaim paling eksplosif dalam laporan Kommersant, situs berita tempat berita tersebut berawal. Jenis data yang disebut-sebut ‘bocor’ itu termasuk dalam data umum untuk Amerika Serikat, yang dengan mudah diakses melalui aturan Undang-undang Kebebasan Informasi. Di beberapa negara bagian, seperti Florida, pendaftaran pemilih dan riwayat pemungutan suara,  menurut hukum bahkan merupakan catatan publik.

Kantor Urusan Hubungan Eksternal Negara Bagian Michigan membantah sistemnya telah diretas. “Kami mendorong semua pemilih Michigan untuk waspada terhadap upaya ‘meretas’ pikiran mereka, namun, dengan mempertanyakan sumber informasi dan iklan yang mereka temui dan mencari sumber terpercaya, termasuk petugas pemilihan lokal dan kantor kami,”ujar Tracy Wimmer, juru bicara lembaga tersebut, sebagaimana dikutip Foreign Policy.

Biro Investigasi Federal (FBI) dan Cybersecurity and Infrastructure Security Agency mengeluarkan pernyataan bersama yang mengonfirmasi bahwa mereka tidak melihat serangan siber pada database pendaftaran pemilih, atau sistem apa pun yang melibatkan pemungutan suara.

“Klaim awal yang belum diverifikasi harus dilihat dengan skeptisisme yang sehat,” kata kedua lembaga tersebut dalam pernyataan mereka.

Para pengamat senior Rusia tidak terkejut data yang tersedia untuk umum akan diperdagangkan di forum online Rusia, di mana ada perdagangan yang berkembang baik di basis data informasi yang diretas dan diperoleh secara legal.

“Di Rusia, Anda memiliki banyak orang yang memiliki akses ke informasi seperti layanan migrasi, catatan polisi, informasi pinjaman, dll, dan ada kemauan nyata bagi orang-orang ini untuk menghasilkan uang dengan menjual akses ke data ini,”ujar Aric Toler, seorang aktivis yang menjadi ujung tombak situs investigasi open-source Bellingcat untuk kawasan Eropa Timur dan Eurasia.

Laporan asli Kommersant menuduh para pengguna internet Rusia ingin memanfaatkan basis data pemilih AS untuk memperoleh hadiah dari program Imbalan untuk Keadilan Departemen Luar Negeri AS, yang menawarkan hadiah hingga 10 juta dolar AS untuk informasi tentang identifikasi atau lokasi orang yang bekerja dengan pemerintah asing untuk ikut campur dalam pemilihan AS via aktivitas siber ilegal.

Artikel tersebut mengatakan, seorang pengguna di forum peretas mengklaim telah menerima 4.000 dolar AS dari Departemen Luar Negeri karena membagikan tautan ke basis data pemilih yang bocor dari Connecticut.

Itu juga tampaknya misinformasi. Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan kepada Foreign Policy, tidak ada imbalan yang dibayarkan di bawah program campur tangan Pemilu yang diperluas, yang diluncurkan pada awal Agustus lalu.

Program Imbalan untuk Keadilan dimulai pada 1984 oleh Departemen Luar Negeri AS, guna  mengumpulkan informasi tentang tindakan terorisme yang menargetkan warga Amerika. Bulan lalu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo memperluas program untuk menawarkan penghargaan atas informasi tentang campur tangan asing dalam Pemilu.

Meskipun konten artikel itu telah banyak dibantah, masih belum jelas apakah itu hanya kecerobohan jurnalisme, atau merupakan sesuatu yang lebih jahat. Setelah program Imbalan untuk Keadilan diumumkan, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia bercanda di Facebook, bahwa situs web Departemen Luar Negeri AS akan penuh dengan orang-orang yang ingin mencela tetangga mereka untuk mendapatkan hadiah uang.

Analis politik Rusia Tatiana Stanovaya menggambarkan artikel itu sebagai “aneh”. Ia juga menambahkan, artikel itu tampaknya menuduh Departemen Luar Negeri AS memprovokasi kebocoran data warga AS dengan menawarkan hadiah.

“Kremlin tampaknya bersiap untuk dituduh melakukan campur tangan (pada Pemilu),” tulisnya di aplikasi pesan Telegram. Otis, penulis “True or False: A CIA Analyst’s Guide to Spotting Fake News”, mengatakan bahwa sifat media social, secara alami memicu penyebaran disinformasi.

“Transparansi pemerintah AS yang lebih besar tentang upaya campur tangan asing, dapat menjadi penangkal dengan meningkatkan kepercayaan warga pada pemerintah dan meningkatkan kesadaran tentang jenis ancaman yang dihadapi negara tersebut,” ujar Jankowicz, yang menulis “How to Lose the Information War”.

Namun, menurut Foreign Policy, pemerintahan Trump bergerak ke arah yang berlawanan. Selama akhir pekan, direktur intelijen nasional mengatakan, kantornya akan berhenti memberi tahu Kongres secara langsung tentang campur tangan pemilu asing, seraya mengklaim bahwa anggota parlemen telah membocorkan informasi rahasia.

Pengumuman itu muncul di tengah kekhawatiran (dan beberapa bukti) bahwa pemerintahan Trump berusaha meremehkan ancaman pemilu dari aktor asing.

Pada Rabu (2/9) lalu, ABC News (dengan mengutip email dan dokumen internal) melaporkan bahwa pejabat senior Departemen Keamanan Dalam Negeri menghentikan peredaran buletin intelijen yang dimaksudkan untuk lembaga penegak hukum, yang memutuskan dengan “keyakinan tinggi” bahwa “operator Rusia” berusaha untuk menabur keraguan tentang kondisi kesehatan mental calon presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden. [Foreign Policy/ABC News]

Back to top button