
Alih-alih terang dan menjanjikan, beban utang perlahan muncul ke permukaan. Menjelang dua tahun sejumlah pihak mulai khawatir dan ambil ancang-ancang. Mengapa Menteri Purbaya enggan menggunakan APBN untuk membayar utang Whoosh?
JERNIH – Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh, yang menjadi ikon infrastruktur modern Indonesia, kini berubah menjadi sumber kekhawatiran besar bagi keuangan negara. Sejak beroperasi pada Oktober 2023, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai pengelola proyek ini terus menanggung utang mencapai ratusan triliun rupiah, yang berdampak langsung pada performa keuangan PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Utang ini tidak hanya membebani KCIC, tetapi juga menyeret KAI sebagai pemegang saham mayoritas, sehingga memicu perdebatan sengit di kalangan pemerintah dan badan usaha. Di tengah polemik, muncul usulan solutif dari Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, meski ditolak mentah-mentah oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Artikel ini mengupas isu utang KCIC, kerugian kumulatif Whoosh, serta visi ideal agar proyek ini tak lagi menjadi beban negara.
KAI Defisit
Utang KCIC yang membengkak menjadi “bom waktu” bagi KAI, perusahaan induk yang memimpin konsorsium proyek ini. Berdasarkan laporan keuangan unaudited per 30 Juni 2025, KCIC mencatat kerugian operasional sebesar Rp1,63 triliun pada semester I-2025. Kerugian bersih dari PT Penjaminan Infrastruktur Sektor Transportasi dan Berskala Internasional (PSBI), yang dikontribusikan ke KAI, mencapai Rp951,5 miliar.
Hal ini membuat KAI menanggung beban hampir Rp1 triliun hanya dari operasional Whoosh pada periode tersebut. Secara keseluruhan, proyek ini telah menyeret KAI ke dalam defisit yang signifikan, dengan kerugian mencapai Rp1,424 triliun pada semester I-2025.

Dampaknya terasa pada likuiditas dan profitabilitas KAI secara keseluruhan. Sebagai BUMN utama di sektor transportasi rel, KAI kini kesulitan mengalokasikan dana untuk ekspansi atau pemeliharaan aset inti, karena sebagian besar arus kas tersedot untuk menutup defisit KCIC. Analis keuangan menyebut ini sebagai “beban tersembunyi” yang bisa memicu penurunan rating kredit KAI jika tidak segera ditangani.
Di media sosial, netizen juga ramai membahas bagaimana utang China Development Bank senilai 75% dari total biaya proyek (sekitar USD 5,5 miliar atau Rp86 triliun) kini menjadi tanggung jawab bersama, termasuk KAI.
Di tengah krisis, BPI Danantara—sebagai holding investasi BUMN—mengajukan dua skema utama untuk meredam utang KCIC. Usulan pertama adalah peningkatan penyertaan modal negara kepada PT KAI sebagai pemimpin konsorsium, guna memperkuat neraca keuangan dan menutup defisit operasional. Skema kedua lebih radikal: penangguhan sebagian utang KCIC oleh negara, yang akan membebaskan arus kas KCIC untuk fokus pada peningkatan penumpang dan efisiensi operasional.
“Nah ini dua opsi ini yang kita coba tawarkan,” kata Chief Operating Officer (COO) BPI Danantara Dony Oskaria di Jakarta, Kamis (9/10/2025). Usulan ini disampaikan oleh Dony Oskaria kepada Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan.
Danantara menekankan bahwa dividen tahunan mereka sebesar Rp80 triliun seharusnya cukup untuk mendukung skema ini tanpa membebani APBN secara berlebihan.
“Di sisi lain, Danantara juga ingin agar operasional KCIC berjalan dengan baik karena memberikan dampak ekonomi yang cukup,” tambah Dony. Namun, usulan tersebut justru memicu gesekan dengan Kementerian Keuangan, di mana Menteri Purbaya menolaknya mentah-mentah.
Bukan Uang Rakyat
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tegas menolak penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menanggung utang Whoosh.

“Lucu kalau pakai APBN,” sergah Purbaya yang menegaskan bahwa tanggung jawab utang sepenuhnya ada pada Danantara sebagai holding BUMN. Alasannya sederhana: proyek KCJB adalah murni skema business-to-business (B2B) yang dikelola konsorsium badan usaha Indonesia-China, dipimpin KAI, tanpa jaminan utang dari pemerintah.
“Ini bukan uang rakyat,” tambahnya, menekankan bahwa Danantara, yang memeroleh dividen dari BUMN, memiliki sumber daya internal yang cukup. Ia juga menyebut bahwa Kementerian Keuangan belum menerima pembahasan resmi terkait penangguhan utang, sehingga APBN tidak boleh digunakan untuk menalangi kerugian bisnis swasta.
Penolakan ini didukung Istana, di mana Mensesneg Prasetyo Hadi menyatakan bahwa pemerintah sedang mencari skema alternatif non-APBN untuk menyelesaikan masalah. “Pemerintah sedang mencari skema jalan keluar supaya beban utang KCIC tak memakai dana APBN,” ujar Prasetyo, menambahkan bahwa perkembangan Whoosh harus didukung karena sangat membantu masyarakat.
Purbaya bahkan menyoroti bahwa Danantara memiliki sumber daya internal yang cukup, termasuk dividen raksasa, untuk menangani beban ini tanpa intervensi negara.
Polemik ini membuat Presiden Prabowo Subianto turun tangan, mendorong dialog lebih lanjut antara kementerian terkait. Presiden Prabowo meminta jajaran terkait mencari solusi pembayaran utang PT KCIC, dengan instruksi untuk mengevaluasi aturan DHE dan mencari skema demi stabilitas keuangan. Pengamat transportasi Djoko Setijowarno juga setuju dengan sikap Purbaya, menyebut langkah itu tepat untuk menghindari beban negara.
Rincian Kerugian
Sejak resmi beroperasi pada 17 Oktober 2023, Whoosh telah mencatat kerugian kumulatif yang mencengangkan. Berikut rinciannya berdasarkan laporan keuangan:

Kerugian ini disebabkan oleh rendahnya tingkat okupansi (rata-rata di bawah 50%), biaya pemeliharaan tinggi, dan tarif tiket yang belum kompetitif.. Secara keseluruhan, proyek ini telah “membuat KAI berdarah-darah” dengan defisit yang terus membengkak, memicu kritik dari DPR dan publik.(*)
BACA JUGA: Dilema Whoosh; Dari Simbol Modernisasi ke Beban Utang