Bos Dorayaki dan Chef Kesayangannya
Unsur dramatiknya tidak muncul dari keajaiban visual, tapi dari penuturan yang apik, mengalir, dan dalam. Sentaro (diperankan Masatoshi Nagase) baru kelihatan emosional setelah dia hampir menyerah karena jatuh kedua kali dalam hidupnya.
Oleh : Anwar Holid
JERNIH– Seorang lelaki paro baya yang baru mencicipi kesuksesan usaha dorayaki di pinggiran kota Tokyo harus menghadapi desas-desus bahwa resep andalannya ialah buatan seorang pengidap lepra.
Memang demikian faktanya. Ibu yang bekerja khusus membuat ramuan bubur kacang merah isi dorayaki itu penyintas lepra. Akibatnya pemilik warung minta agar dia memberhentikan pekerja yang baru saja membuatnya optimistis menjalani usaha, sementara warungnya langsung kehilangan banyak pelanggan. Dia jelas terpuruk dan frustrasi, karena awalnya dia jadi pengusaha karena terpaksa.
Apa yang dia lakukan untuk menghadapi gonjang-ganjing kehidupan dan usahanya? Sebagai pengusaha, dia tak bisa menghalau prasangka masyarakat dan tak berdaya melindungi karyawan terbaiknya. Dia kembali pelan-pelan belajar cara menemukan ramuan sesuai cita rasa dan kekhasan dirinya.
“Sweet Red Bean Paste” (2015, sutradara : Naomi Kawase) bukan cuma drama tentang cemilan khas Jepang dan hubungan bos-karyawan, melainkan mengangkat pula soal kehilangan, penerimaan, kesempatan, meraih lagi kepercayaan diri, beban hidup masa lalu, prasangka, merasakan makna dan menghargai alam, serta yang paling berat: terpaksa diasingkan dari masyarakat.
Tak ada orang yang suka direnggut kebebasan alamiahnya. Bisa jadi setiap orang punya trauma atau pengalaman berat yang ingin dipendam, namun justru dari sana barangkali muncul cerita mengharukan yang layak diceritakan.
Sebagaimana kebanyakan film drama jepang lain, Sweet Red Bean Paste berjalan sangat ‘biasa,’ seperti rutin terjadi sehari-hari. Unsur dramatiknya tidak muncul dari keajaiban visual, tapi dari penuturan yang apik, mengalir, dan dalam. Sentaro (diperankan Masatoshi Nagase) baru kelihatan emosional setelah dia hampir menyerah karena jatuh kedua kali dalam hidupnya. Tokue (diperankan Kirin Kiki) jadi magnet film ini dari awal hadir sebagai ibu-ibu penyintas yang sangat berkarakter dan belajar menemukan diri dari perjalanan hidupnya. Unsur visual yang cukup menonjol dari film ini ialah sinematografi yang menawan dan mekarnya sakura di seantero jalan. Ini membuat Tokue menyapa kehadirannya — menandakan bahwa drama mereka berlangsung cukup lama dan saling mempengaruhi jiwa dengan kuat.
Film sederhana ini sangat mungkin memantik penonton merenungkan banyak hal dan mengaitkannya dengan kehidupan sendiri. Sutradara Naomi Kawase dengan cakep menghadirkan drama agar orang berani menghadapi trauma dan beban masa lalu sekaligus menjalani fase baru kehidupan. Juara*. [ ]
*Seperti Jawa Barat, lah…
Anwar Holid, editor dan penulis, tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.