Selama empat hari itu BSI International Expo telah menjadi comblang bertemu dan berkolaborasinya 270 tenant dari 21 kategori, dengan potential buyers dari 20 negara, termasuk Mesir, Saudi Arabia, Jepang, Filipina, UAE, bahkan Lithuania. Besaran transaksi yang terjadi lebih dari Rp 2 triliun, melampaui target awal Rp 1 triliun.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH– Sebagai ‘murid murtad’ fakultas ekonomi sebuah PTN, saya sempat terhenyak ketika pekan lalu membaca tulisan Martin Rowinski, mantan anggota Forbes Business Councils. Meski bukan tulisan yang saya baca ‘fresh from oven’, aneka data yang diurai Rowinski masihlah sangat relevan untuk membaca wajah perekonomian Amerika Serikat saat ini.
Menurut Asosiasi Bisnis Kecil AS (Small Business Association/SBA) yang diangkat Rowinski dalam artikelnya, “How Small Businesses Drive The American Economy”, selama ini usaha kecil–dengan 500 karyawan atau kurang–merupakan 99,9 persen dari seluruh bisnis yang ada di AS. Peran mereka, dari lapangan kerja baru yang diciptakan antara tahun 1995 dan 2020, UMKM—kita sebut saja begitu agar sama dengan terma yang dipakai di Indonesia—AS menyumbang 62 persen atau sekitar 12,7 juta lapangan kerja. Mereka lebih digjaya dibanding 7,9 juta lapangan kerja yang bisa ditawarkan korporasi besar. Laporan SBA tahun 2019 menyatakan, usaha kecil AS menyumbang 44 persen dari aktivitas ekonomi AS. “Tanpa adanya usaha kecil, perekonomian dan ketenagakerjaan Amerika akan menjadi sangat liar dibayangkan,”tulis Rowinski.
Dengan latar belakang tulisan tersebut, wajar bila saya bangga dan besar hati saat membaca berita-berita yang marak di berbagai situs tentang perkembangan UMKM kita akhir-akhir ini. Pada BSI International Expo 2024, sebuah perhelatan besar bagi UMKM yang digelar Bank Syariah Indonesia di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, dan berakhir Ahad (23/6) pekan lalu, tidak hanya berjubelnya pengunjung, transaksi yang terjadi pun melampaui target. Selama empat hari, pameran ekosistem keuangan syariah dan halal lifestyle berskala internasional yang didaku sebagai pertama di Indonesia itu, sukses besar. Panitia mencatat, acara didatangi lebih dari 52 ribu, sementara BSI cukup rendah hati menargetkan ‘hanya’ 20 ribu pengunjung. Di sisi transaksi, sampai pukul 15.00 WIB di hari penutupan, pameran berhasil mencetak nilai transaksi lebih dari Rp2,4 triliun, dari Rp 1 triliun yang ditargetkan.
Namun sisi yang paling menggembirakan, BSI International Expo telah sukses menjadi ajang yang menghubungkan para pelaku ekosistem halal di Indonesia, dengan dunia. Istilah kerennya mungkin, “membuat UMKM Indonesia go global”. Bayangkan, dalam empat hari itu BSI International Expo telah menjadi comblang bertemu dan berkolaborasinya 270 tenant dari 21 kategori, dengan potential buyers dari 20 negara, termasuk Mesir, Saudi Arabia, Jepang, Filipina, UAE, bahkan Lithuania. Alhasil, di tengah trend “decoupling” (pemisahan), pameran kemarin juga menghasilkan banyak proses “coupling” (penggabungan), yang mungkin saja lebih dekat dengan konsep silaturahim yang dibawa Islam.
Pameran juga telah jadi arena isak tangis banyak tenant. Bagi Capli, salah satu UMKM binaan BSI yang memproduksi sambal hijau khas Aceh, misalnya. Perusahaan UMKM itu berhasil meraup order pembelian dari usahawan Malaysia sebanyak 29 ton! “Sampai-sampai pendiri dan direktur Capli, Bu Yuliana, mengaku tak bisa menahan tangis, saking haru,”kata Wisnu Sunandar, senior vice president BSI kepada penulis. Tapi memang, siapa sih yang bisa mengurus cabe rawit 29 ton tanpa keluar air mata?
Saya jadi ingat buku lama yang ngetop di dekade 1980-an hingga awal 1990-an, “Small Is Beautiful” yang ditulis ekonom Inggris kelahiran Jerman, E.F. Schumacher. Buku itu pada tahun 1995 ditempatkan The Times Literary Supplement sebagai salah satu dari 100 buku paling berpengaruh yang diterbitkan sejak Perang Dunia II. Buku tersebut diyakini membuat banyak orang tersadarkan betapa tak benar untuk memandang remeh hal-hal atau sesuatu yang mungkin (saat ini) dirasa kecil.
Tapi memang tak selayaknya meremehkan apa yang kini mungkin dianggap remah-remah. Siapa akan menyangka bahwa ketika seorang pelatih atletik dan mantan muridnya yang mendirikan Blue Ribbon Sports—perusahaan sepatu lari—pada 1978 mengubah nama perusahaan itu menjadi Nike, yang kini menjadi raksasa dunia? Kalau mau sadar, bukankah para korporasi raksasa semacam Microsoft, Apple, atau yang lebih ‘receh’, KFC, juga berawal dari UMKM?
Kearifan lokal banyak bangsa menegaskan harusnya kita menaruh hormat dan lebih jauh membina yang kecil. Jangan justru meremehkannya. “Little drops of water make the mighty ocean,” kata peribahasa Inggris. Urang Sunda juga punya kearifan sejenis. “Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok.” Keduanya hanya contoh kecil nasihat dari para leluhur kita untuk memuliakan yang kecil. Kalau dalam bahasa Rowinski, Amerika tak akan pernah mampu menjaga “American dream” tetap hidup, tanpa UMKM. [ ]