
Menurut CGR, “Kita lebih memilih menggelar acara hura-hura daripada mengadakan gerakan yang menimbulkan huru-hara di kepala, menggerakkan dan memacu kepala untuk berpikir.” Dia kemudian mengutip kalimat gurunya, Mona Lohanda Ph.D, sejarawan: “Orang kita pemikirannya memang baru sampai pada urusan perut ke bawah, bukan dada ke kepala.”
Oleh : Arif Firdaus Arif
JERNIH– “Scripta manent, Verba vollant.” (Apa yang ditulis akan abadi, apa yang diucapkan akan hilang).
1-Pada 2012, Penerbit Padasan yang didirikan oleh sastrawan dan budayawan Betawi, Chairil Gibran Ramadhan alias CGR, menerbitkan novel dari genre Sastra Indisch yang paling tersohor, “Max Havelaar”, karya Multatuli, berdasarkan terjemahan karya Paus Sastra Indonesia, HB Jassin (1917-2000). Sastra Indisch adalah genre sastra yang mengambil latar penceritaan Hindia-Belanda, ditulis dalam bahasa Belanda oleh orang Belanda totok atau Indo-Belanda, dan diterbitkan di Negeri Belanda.
Novel “Max Havelaar” ini kemudian diluncurkan di Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, yang berada di Kompleks Kedutaan Besar Belanda, Kuningan, Jakarta Selatan. Dari biaya pencetakan hingga acara peluncuran, seluruhnya atas dukungan dana dari Pemerintah Kerajaan Belanda. Buku pun menjadi milik Penerbit Padasan. Eramus Huis dan Pemerintah Kerajaan Belanda sama sekali tidak meminta hak kepemilikan, kecuali nomor bukti.
Prestasi ini tentu hal yang sangat membanggakan bagi Penerbit Padasan dan bagi bangsa Indonesia. Bayangkan bagaimana satu penerbit kecil yang berdiri belum dua tahun, berhasil mendapat kepercayaan yang sangat besar dari pemerintah negara lain, dalam hal ini Pemerintah Kerajaan Belanda untuk menerbitkan karya sastra dunia.
Langkah Penerbit Padasan menerbitkan karya sastra Indisch ini, kemudian diekori oleh dua penerbit lain di Jakarta dan Yogyakarta dengan menggunakan hasil terjemahan berbeda. Namun, hasil dari keduanya tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah Kerajaan Belanda. “Max Havelaar” versi Penerbit Padasan bahkan dikatakan oleh kalangan di Belanda, sebagai versi paling bagus dari yang pernah ada, dari sisi sampul dan kemasan.
Kala itu, Penerbit Padasan sesungguhnya mendapat kepercayaan dari beberapa penerbit di Negeri Belanda, setelah mengetahui bahwa di Indonesia ada penerbit yang menerbitkan kembali “Max Havelaar” yang sudah dilupakan di Indonesia. Para pimpinan penerbit tersebut kemudian mengirimkan novel Indisch terbitan mereka untuk diterbitkan di Indonesia dalam bahasa Indonesia. Namun hal tersebut tidak pernah terlaksana karena memasuki tahun 2015, pemerintah kerajaan Belanda memutus semua bantuan dalam bidang apa pun ke negara-negara yang meiliki hubungan diplomatik, termasuk di bidang budaya, sehingga tidak ada dana untuk pencetakannya.
Selaku pendiri dan pemilik, CGR mengaku, sesungguhnya merasa kecil hati atas hibah dana dari pemerintah Kerajaan Belanda yang diterimanya untuk pencetakan “Max Havelaar” (Multatuli, 2012) dan “Oeroeg” (Hella S. Haasse, 2014). Adapun untuk “Fientje de Feniks” (Pieter Van Zonneveld, 2015) tidak lagi mendapat dukungan dana karena kendala yang ada, namun pencantuman logo milik Kerajaan Belanda tetap dilakukan sebagai itikad baik dari Penerbit Padasan. Apa pasal?
“Bayangkan saja: Sebuah penerbit dari negara besar dan negara merdeka, mencetak buku atas biaya pemberian dari negara yang pernah menjajah negaranya. Apa itu tidak ironis? Tapi mau bagaimana lagi? Sementara di negara kita uangnya banyak, malingnya juga banyak.”
2–Ucapan lirih akhir CGR di atas bukan tanpa alasan. Menurutnya, perlakuan (baca: penghargaan) pemerintah Indonesia terhadap kebe-radaan hasil kerja intelektual dalam bentuk buku dan jurnal memang sangat jauh berbeda dengan perlakuan terhadap karya seni seperti lagu, lukisan, tarian, teater tradisional. “Pihak pemerintah yang diharapkan memiliki kepedulian dan kecerdasan, sedikit pun tidak memiliki ketertarikan pada hasil karya intelektual namun sangat mendukung acara panggung hiburan yang menghabiskan dana sangat besar meski tidak meninggalkan jejak apapun kecuali suara bising dan sampah acara.”
Kegemaran pemerintah Indonesia pada menggelar acara tontonan ini, ternyata sudah diperhatikan dan akhirnya menjadi trade-mark yang diberikan satu negara yang memiliki kedutaan besar di Jakarta dan sangat memiliki perhatian pada dunia buku. Betapa memalukan!
Terkait tema Betawi, Batavia, dan Jakarta yang digelutinya, menurut CGR sebagai “Anak Jaksel”, di Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Selatan misalnya, tidak mengherankan jika tidak ada alokasi dana untuk pencetakan buku dan pembelian buku dari penullis dan penerbit, karena dana yang ada sudah ditetapkan untuk acara-acara panggung hiburan yang melibatkan banyak seniman dan penonton. Suku Dinas Kebudayaan di empat wilayah lain, boleh jadi memiliki kebijakan serupa, karena Dinas Kebudayaan DKI Jakarta pun demikian juga. Kita maklum, pada akhir 2024, lembaga ini terjirat kasus korupsi Rp 150 miliar.
Menurut CGR, “Kita lebih memilih menggelar acara hura-hura daripada mengadakan gerakan yang menimbulkan huru-hara di kepala, menggerakkan dan memacu kepala untuk berpikir.” Dia kemudian mengutip kalimat gurunya, Mona Lohanda Ph.D, sejarawan: “Orang kita pemikirannya memang baru sampai pada urusan perut ke bawah, bukan dada ke kepala.”
Diakui CGR, terkait Tanah Betawi, ia mendukung digelarnya acara panggung hiburan terkait seni-budaya Betawi. “Karena dari sanalah masyarakat menjadi tahu seni-budaya yang ada, dan dari sana pula seniman dan sanggar-sanggar hidup. Namun jangan lupakan juga gerakan pendokumentasian dalam bentuk buku. Jangan di-nol-kan. Penulis dan penerbit juga diperlakukan sama dengan seniman panggung dan sanggar seni-budaya. Pemerintah kita harus sedikit pintar.”
Menurutnya, pagelaran seni secara gratis, bisa dilakukan dengan pemberian buku secara gratis ke perpustakaan sekolah-kampus, dan acara-acara intelektual yang digelar oleh pemerintah.
Kesulitan mendapat hibah dana dari lembaga pemerintah dan swasta di Indonesia, sangat dirasakan oleh CGR. Beberapa rancangan buku di Penerbit Padasan miliknya, selama lebih dari 10 tahun, hanya mengendap sebagai “buku contoh”, karena ketiadaan dana untuk pencetakan. Buku-buku tersebut bertema sejarah, budaya, dan sastra. Buku tentang Tionghoa di Nusantara, Cina Betawi, Betawi, dan Indonesia, yang diharapkannya diapresiasi oleh orang-orang di lingkungan birokrat Pemprov DKI Jakarta atau pribadi dari kalangan mapan yang (diharapkannya) memiliki kecerdasan dan kepedulian budaya-sejarah atas dasar kedekatan psikologis terkait bahasan di dalam buku, tidak ada yang memberi tanggapan saat digugah untuk menjadi pemberi hibah dana pencetakan atau melakukan apresiasi dalam bentuk pembelian.
Hal ini terjadi diantaranya pada buku “Kembang Goyang: Orang Betawi Menulis Kampungnya ~ Sketsa, Puisi & Prosa ~ 1900-2000” (Kwee Kek Beng dkk, 2011) dan semua buku terkait seni-budaya-sejarah Betawi seperti “Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies” yang sejak terbit per tiga bulan sejak 2021; “Sejarah Jawa Barat: Penelusuran Masa Silam” karya tiga punggawa budaya-sejarah Sunda: Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, dan Enoch Atmadibrata (terbit pada Februari 2018, dari rencana semula pada Oktober 2014), setelah melanglang di hadapan kalangan politik yang sedang berkuasa di Bekasi, Depok, Bogor, hingga Purwakarta dan Bandung Kota dalam kedudukan sebagai bupati dan gubernur; “Pusaka Tionghoa “ karya Liem Thian Joe (terbit 10 eksemplar pada Januari 2020, dari rencana pada Mei 2013), setelah melanglang di hadapan kalangan Tionghoa-Indonesia dari bidang seni, budaya, sejarah, politik, lembaga pendidikan besar ternama, raksasa bisnis perumahan, hingga bisnis jalan umum berbayar.
Pepatah Yunani kuno yang dikutip di atas, sangat pasti tidak pernah didengar oleh orang-orang di lingkungan birokrat Pemprov DKI Jakarta, atau kalangan mapan Betawi, Cina, dan lainnya. Kita berharap buku terus diterbitkan oleh Penerbit Padasan dan penerbit-penerbit lain. Monumen-monumen harus didirikan. Buku-buku adalah monumen. Hidup bukan hanya urusan mengisi perut, namun juga mengisi hati dan kepala. Salam! *
.