SolilokuiVeritas

Catatan Kecil dari Jogjakarta

Dalam perjalanan pulang, tanpa direncanakan mulut ini kembali menyanyikan “Mars Sang Surya”, lagu pertama yang kuhafal tanpa jeda, tanpa lupa.  Ternyata lagu itu bukan sekadar hafalan sekolah. Ia adalah simpul memori: optimisme, keberanian, dan keyakinan bahwa kebenaran tidak perlu berteriak,  cukup tetap ada. Tetap jujur. Tetap berdiri.

Oleh     :  Tifauzia Tyassuma

JERNIH– Dua hari lalu,  dalam perjalanan singkat ke Yogyakarta untuk kunjungan keluarga, langkahku terhenti di depan sebuah tempat yang dulu begitu besar dalam dunia kecilku,SD Muhammadiyah 1 Bausasran.

Sekolah ini berdiri tahun 1917, beberapa tahun setelah persyarikatan Muhammadiyah berdiri.  Saat kecil, aku belum memahami makna sejarah itu. Tapi hari ini, ketika berdiri lagi di depannya, rasanya seperti berdiri di depan pintu sebuah peradaban pendidikan yang lebih tua dari usiaku, lebih tua dari zaman yang kuhuni.

Ketika bersekolah di sana selama enam tahun masa kecilku, bangunannya masih gedung tua peninggalan pemerintah Hindia Belanda, dibangun untuk anak-anak pribumi. Megah dalam kesunyian, kuno, sakral, dan penuh energi masa silam.

Di situlah anak-anak didikan Muhammadiyah ditempa, sebelum kelak beberapa di antara mereka  menjadi tokoh-tokoh besar bangsa.

Dan salah satu alumni paling mulianya adalah KH. AR Fachruddin (Pak AR), ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang disegani, dihormati, dan dikenang sebagai sosok bersahaja penuh hikmah. Menyadari bahwa aku pernah duduk dan dididik di sekolah yang sama dengannya,  menghadirkan rasa haru yang tidak bisa diterjemahkan dengan kata. Bukan soal sejajar dan setara, karena tentu aku tak sehebat beliau,  tetapi soal garis sejarah yang diam-diam ternyata menghubungkan murid kecil ini  dengan sosok  teladan besar.

Aku masih ingat kebiasaan lamaku: menengadah ke langit-langit kelas, memandangi kasau-kasau kayu jati kuno yang beberapa di antaranya  ditulisi angka  1917. Ada rasa kagum sekaligus kecil: “Ternyata tempat ini lebih dulu hidup, jauh sebelum aku datang mempelajari huruf pertama.”

Namun, perjalanan waktu tak selalu lembut. Gempa besar yang melanda Yogyakarta tahun 2006 meluluhlantakkan bangunan bersejarah itu   runtuh menjadi puing, tanpa bisa diselamatkan.

Dan yang kutemui tahun 2025 adalah bangunan baru, struktur baru, cat baru, ruang baru. Tetapi getaran itu tetap sama. Kesuciannya tidak hilang. Kenangannya tidak rubuh bersama tembok-tembok tua itu. Justru ia berdiri lebih utuh: di hati.

Di halaman sekolah, aku berbincang sejenak dengan Ibu Supartiningsih, kepala sekolah hari ini. Sementara dari kejauhan terdengar latihan marching band.

Sekilas, seperti melihat bayangan diri sendiri tahun 1980: seragam gagah berumbai melekat di tubuh kecilku, tongkat komando bergemerincing  di tangan, dan langkah maju yang sedikit gugup, namun tetap maju.  Aku pernah jadi  majorette marching band  SD Muhammadiyah ketika itu.

Dalam perjalanan pulang, tanpa direncanakan mulut ini kembali menyanyikan “Mars Sang Surya”, lagu pertama yang kuhafal tanpa jeda, tanpa lupa.

Ternyata lagu itu bukan sekadar hafalan sekolah. Ia adalah simpul memori: optimisme, keberanian, dan keyakinan bahwa kebenaran tidak perlu berteriak,  cukup tetap ada. Tetap jujur. Tetap berdiri.

Anda bisa mendengar suara saya yang bergetar menyanyikannya, haru dan bangga, menjadi bagian dari sebuah entitas besar, Muhammadiyah.

Kunjungan singkat ini bukan nostalgia kosong. Ini pengingat sunyi bahwa nilai, keyakinan, dan keberanian yang ditanam sejak kecil tidak pernah hilang, bahkan ketika gedungnya runtuh atau zaman berubah.

Salam Takzim. [ ]

*dr Tifa (dr.Tifauzia Tyassuma, M.Sc) [ ]

Back to top button