Cerita Harun ar Rasyid dan Bahlul
Para pengawal Sultan membisik :“Sudahlah paduka jangan menemui dan meminta nasihat dari Bahlul lagi. Toh banyak ulama lain yang suka datang ke istana, memberi nasihat-nasihat yang menggembirakan paduka.”
Oleh : H.Usep Romli H.M.
Harun al Rasyid, salah seorang penguasa dinasti Bani Abbasiyah (749-1258), yang bertahta th.786-809. Ia mampu menjadikan ibukota Bagdad sebagai metropolitan kelas dunia. Banyak dikunjungi orang dari mana-mana, untuk berniaga, menuntut ilmu, dan berkiprah di berbagai bidang kehidupan. Karena kemashurannya itu, Sultan Harun al Rasyid sering mendapat puji-pujian dari berbagai kelompok. Termasuk para ulama yang suka berbondong-bondong dating ke istana.
Kecuali Bahlul, orang yang dianggap tak waras, yang sering mengkritik Harun. Namun Harun tak pernah marah. Malah ia sengaja suka mendatangi Bahlul di gubuknya yang kumuh di tepi sungai Tigris.
“Hai Bahlul, “kata Harun suatu hari.”Kau mengenal aku, siapa?”
“Kenal sekali,”jawab Bahlul. “Engkau adalah orang yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah pada hari kiamat, jika seseorang di belahan timur didzalimi, walaupun engkau sedang berada di belahan barat.”
“Engkau tahu, aku masih kerabat Rasulullah ?”tanya Harun lagi.
Bahlul menjawab dengan membaca ayat 101, Quran, S.Al Mu’minun: “Apabila sangkakala telah ditiup, maka tak ada lagi hubungan nasab di antara mereka.”
“Bagaimana dengan syafa’at Rasulullah terhadapku?”
“Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali syafa’at orang yang telah mendapat izin Allah dan diridlai perkataannya.”
“Jadi, bagaimana menurut Engkau keadaanku?”
“Becerminlah kepada kitab Allah, yang menegaskan, sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan, benar-benar berada di dalam surga na’im, sedangkan orang-orang yang berbuat jahat benar-benar berada di dalam neraka jahim.” Bahlul membaca ayat 13-14, Quran,S.Al Infithar.
“Bagaimana dengan amal-amalanku?”
Bahlul menjawab dengan ayat 27 S.Al Maidah : “Sesungguhnya Allah hanya menerima amal dari orang-orang yang bertakwa.”
Mendengar semua itu, Sultan Harun Al Rasyid, menangis tersedu-sedu di depan pintu gubuk Bahlul. Sedangkan Bahlul telah pergi entah ke mana.
Para pengawal Sultan membisik :“Sudahlah paduka jangan menemui dan meminta nasihat dari Bahlul lagi. Toh banyak ulama-ulama lain yang suka datang ke istana, memberi nasihat-nasihat yang menggembirakan paduka.”
“Tidak.“ Harun menggelengkan kepala berkali-kali, sambil membiarkan air matanya sibak membasahi pipi. “Nasihat-nasihat mereka hanya formal dan verbal saja. Sedangkan nasihat Bahlul sangat bermakna. Menghunjam ke dasar jiwa. Dan itu sangat kubutuhkan.” [ ]