Solilokui

Cerpen: Sandyakalaning Belekok dan Gedebage

Pesawahan Gedebage juga menjadi “surga” bagi bermacam jenis burung. Dari burung penetap pemakan padi, seperti piit, galatik, manyar, bondol, dkk, hingga burung-burung pemangsa ikan dan reptil kecil seperti kuntul, bango, belekok, tilil, hahayaman, balater, dll. Juga burung migran yang dalam perjalanan peralihan musim dari benua utara ke benua selatan, seperti pelikan.

Oleh  : Usep Romli H.M.  

Bentangan spanduk berisi tulisan “Selamat Jalan, Burung Belekok”, terpasang mencolok di pintu kampung  Ranca Bayawak. Sebuah kampung kecil di kelurahan Cisaranten Kidul, Kecamatan  Gede Bage, Kota Bandung, yang tak tercatat dalam gugel-map.

Dan yang dituju oleh ucapan “Selamat Jalan” pada spanduk berbahan dasar kain murahan itu, tak penting-penting amat. Cuma burung belekok.

Usep Romli HM

“Ya cuma burung belekok, yang akan segera musnah,“ujar Badri, aktivis lingkung-an tingkat lokal. ”Tergerus oleh pembangunan kota teknopolis yang sedang terus digarap. Tanah-tanah sudah diuruk dan diratakan. Tak mempedulikan rumpun-rumpun bambu aur kediaman belekok. Burung pemakan ikan dan serangga air itu, bersama jenis-jenis burung sawah lainnya, seperti kuntul, dan buka upih, sejak lama bertempat tinggal di sini.”

Sambil menelan ludah dan mengeluarkan suara serak, Badri melanjutkan : “Tapi sajak pertengahan tahun 1990, tinggal belekok saja yang bertahan. Diperkirakan berjumlah 800-an ekor.  Keberadaan sarang-sarang burung di atas rumpun bambu yang terletak berdekatan dengan pemukiman, kolam ikan, kandang ternak dan masjid, tidak terganggu oleh aktivitas manusia di Kampung Ranca Bayawak, selama rumpun-rumpun bambu utuh, tidak terusik. Dan kami, penduduk setempat, diuntungkan sekali. Kehadiran burung belekok, menarik minat banyak orang untuk berkunjung  ke lokasi. Semacam wisata lokal. Terutama pada sore hari menjelang matahari terbenam, saat rombongan belekok pulang ke sarang.”

Kedatangan para pengunjung, membawa berkah tersendiri bagi warga Kampung Ranca Bayawak. Mereka sigap menyediakan aneka macam jajanan. Baik makanan ringan, maupun  kuliner khas setempat, yang sudah terbilang langka di perkotaan. Seperti telur asin, cobek cau manggala, opor jantung cau, dan pais ikan mas kurusuk. Jika hal itu dapat dikelola dengan baik, pasti akan memberi pengaruh positif bagi masyarakat Ranca Bayawak dan Kota Bandung umumnya.

“Namun itu cuma persepsi kami-kami saja,“ Badri menatap jauh dengan mata kosong. “Karena sekarang, keberadaan habitat burung belekok di  Ranca Baya-wak, semakin terdesak oleh pembangunan kawasan properti kota teknopolis kebanggaan kota Bandung abad milenium. Entah beberapa puluh rumpun bambu musnah. Juga kolam  ikan,tempat belekok mencari makan. Kawasan Gedebage akan berubah menjadi kota metropolitan, yang gemerlap penuh glamour keme-wahan. Dari sebuah hamparan sawah, akan menjadi hamparan gedung-gedung megah serba menarik. Perumahan, pertokoan, perkantoran dan segala macam sarana kehidupan zaman milenial. Setiap jengkal lahan Gedebage akan berubah menjadi ikon ekonomi serba komersial dalam deretan nominal yang tak terbayangkan sebelumnya.”

Badri mengenang kisah-kisah yang pernah didengar dari ayah dan kakeknya dulu, tentang, Gedebage. “Dulu merupakan sumber nafkah dan penghidupan masya-rakat serba sederhana. Para petani pemilik sawah, para petani penggarap “nengah-mertelu” dan para petani “kuli ari”. Pemilik sawah adalah orang-orang kaya yang menguasai satu hektare atau lebih sawah di Gedebage. Para petani penggarap “nengah-mertelu” yaitu yang mendapat izin menggarap dari pemilik sawah. Hasilnya dibagi dua atau tiga, tergantung kesepakatan. Para petani penggarap ini disebut juga “panyawah”. Ayah dan kakekku, juga buyutku, adalah para penggarap turun-temurun. Mereka kaum “bulu taneuh”, yang mengandalkan sumber kehidupan dari mengolah tanah, biar pun bukan tanah milik sendiri.”

Kepulan debu membumbung dari arah lahan-lahan yang sedang diuruk. Diiringi derum mesin bekhu yang hidulr mudik tanpa lelah. Juga truk-truk tronton pengangkut tanah yang datang dan pergi. Langit menumpahkan seluruh cahaya terik matatahari le atas lahan gersang. Teramat gersang.

“Masih tuturan kisah ayahku dan kakekku,“ Badri kembali menelan ludah, dan mata kuyu, melanjutkan kenangannya. “Banyak juga “petani kuli ari”. Yaitu para petani yang menjual tenaga harian untuk mencangkul, membajak, menanam, memanen dan sebagainya. Mereka menjadi anak buah “panyawah” seperti ayah dan kakekku. Ada yang menjadi kuli tetap. Ada juga yang musiman. Datang dari berbagai tempat , sekedar menjual tenaga selama ada garapan pekerjaan. Mereka kadang-kadang tinggal satu dua minggu, hingga sebulan dua bulan.

Disebut “mangkalan”. Para “kuli gacong” atau “derep”, tukang memetik padi pada musim panen, yang kebanyakan wanita, suka mangkalan juga. Tak aneh jika  di antara para kuli mangkalan itu, terjadi hubungan percintaan, baik yang gelap dan kotor menghasilkan bayi di luar nikah, maupun yang suci bersih hingga terjalin ke mahligai rumah tangga. Ayah dan kakek,  tertawa, melukiskan suasana pesawahan Gedebage malam hari yang romantis, sehingga sering merangsang berahi lawan jenis.“

Banyak juga para penggembala bebek, yang hidup “nomaden”. Berpindah dari tempat panen ke tempat panen lain.  Karena sangat luas, pesawahan Gedebage dan sekitarnya, menjadi tempat ”mangkalan” menggembala bebek paling lama.  Musim panen di Gedebage dan sekitarnya, rata-rata berlangsung 2-3 bulan. Membuat bebek gemuk-gemuk dan bertelur subur.

“Pada masa jayanya, Gedebage menjadi pusat perputaran kerja sama yang harmonis di kalangan masyarakat “kasta” petani.“ Badri semakin bersemangat berkisah. “Pemilik sawah, panyawah, petani “kuli ari” dan petani “mangkalan” saling memberi dan menerima, sehingga mampu menghasilkan komiditas andalan di bidang pertanian. Khususnya padi. Gedebage dan sekitarnya, waktu itu merupakan gudang padi terbesar di  Jawa Barat. Setara dengan Kabupaten Karawang.  Bahkan  selain padi, Gedebage menghasilkan komoditas lain seperti palawija–jagung, labu, mentimun, dan sayur-sayuran. Serta ikan air  tawar dari sawah-sawah yang dijadikan kolam, sebelum atau sesudah ditanami padi.”

Pantaslah Gedebage dianggap gudang aneka ragam pangan bernilai gizi dan nutrisi tinggi, serta mendatangkan keuntungan ekonomi  sangat besar bagi penduduk sekitar. Terutama para pemilik sawah dan orang-orang yang terlibat mengurusnya.  Hasil sawah tersebut, dapat diperoleh sepanjang musim. Tanpa henti. Karena pesawahan Gedebage memiliki kekayaan aneka macam flora dan fauna, baik yang liar maupun sengaja ditanam dan dipelihara. Aneka sayuran liar yang tumbuh di pematang-pematang sawah, seperti antanan, jotang, jonge, solodsoya, sintrong, pohpohan, saladah, eceng, genjer, dan sebagainya, menjadi sumber potein nabati sehari-hari para penduduk setempat. Disayur atau dijadikan lalab untuk kawan nasi.

Sedangkan kebutuhan protein hewani tercukupi oleh ikan-ikan liar yang hidup di parit-parit atau curugan kolam. Seperti lele, cingok, udang, beunteur, paray, ditambah ikan mas atau mujair yang kabur dari kolam-kolam peliharaan. Semua mudah ditangkap menggunakan sair, pancing, bahkan “digogo”. Ditangkap  dengan tangan kosong . 

Pesawahan Gedebage juga menjadi “surga” bagi bermacam jenis burung. Dari burung penetap pemakan padi, seperti piit, galatik, manyar, bondol, dkk, hingga burung-burung pemangsa ikan dan reptil kecil seperti kuntul, bango, belekok, tilil, hahayaman, balater, dll. Juga burung migran yang dalam perjalanan peralihan musim dari benua utara ke benua selatan, seperti pelikan.

“Waktu aku kecil, sekitar tahun 1980-an sekawanan pelikan, turun di Gedebage. Menyerbu kolam-kolam ikan. Mengakibatkan para petani menderita kerugian jutaan rupiah. Aku bersama kawan-kawan sebaya, selalu ikut orang tua sekampung, mengusir burung-burung pelikan yang berparuh panjang dan pada lehernya bergelayut gelambir semacam karung. Pantas mereka rakus sekali melahap ikan.”

“Lalu bagaimana sekarang?“tanyaku, mengusik lamunan Badri yang melemparkan pandangan jauh entah ke mana.

“Ya, beginilah kenyataannya.“ Badri nampak agak terkejut. Tatapan matanya makin kuyu. “Kawasan kami segara punah. Mengikuti kepunahan penginapan burung belekok Rancabayawak. Jika metropolitan Gedebage sudah menjelma, entah ke mana burung belekok itu akan mencari tempat kediaman baru.”

Sebagai aktivis lingkungan, walaupun kelas lokal tingkat kampung, pengetahuan Badri tentang ekologi, lumayan juga. Terlihat dari isi pemaparannya yang tak kalah oleh isi makalah seminar. Dengan lancar dan penuh keyakinan, ia memaparkan :

“Kekayaan Gedebage secara material finansial, mungkin akan meningkat berjuta kali lipat. Namun secara immaterial, terutama secara budaya dan kearifan lokal, entahlah. Tradisi pertanian, berikut segala turunannya dalam bentuk seni dan keberagaman kreasi lainnya, sangat kaya raya. Hanya saja, tak punya pelindung  dan perlindungan memadai di tengah percaturan global yang serba terstruktur dan padat modal (kapitalistik).  Belum lagi kekayaan flora dan fauna yang terlindas oleh perubahan lingkungan. Keangkuhan beton bangunan tak akan memberi kesempatan hidup bagi flora dan fauna asal. Termasuk flora dan fauna yang belum terinventarisasi spesies dan kegunaannya. Seperti dikatakan Vandana Siva, penulis buku “Biodiversity, a Third World Persfective ” (1972), pembangun-an-pembangunan infrastruktur-kota, bendungan, jalan tol, dan sebagainya– rata-rata menelan korban lebih besar daripada  manfaat yang diperoleh. Kehancuran lingkungan beserta  segala flora fauna dan lainnya, kadang dianggap angin lalu. Tak pernah dianggap sebagai kerugian amat besar. Gedebage sebagai asset hidup dan kehidupan manusia di lokasinya, dalam menghadapi perubahan dahsyat itu, memang telah memetik kerugian terlebih dahulu daripada keuntungan yang masih dalam hitung-hitungan.”

Bendera hitam patut dikibarkan untuk mengenang Gedebage, yang esok lusa nama dan letak geografisnya akan tercantum besar-besaran dalam peta. Sebagai kawasan eknomis strategis, bukan kawasan agraris seperti dulu.  Ucapan selamat jalan- atau selamat tinggal – patut disampaikan kepada burung belekok. Mewakili ucapan selamat jalan dan selamat tinggal kepada manusia yang tak berdaya menghadapi lindasan zaman serba materialistik-hedonistik yang amat cepat menghunjam.”

“Tapi ke mana burung-burung belekok malang itu akan pergi, Bung Badri?”

“Entahlah,”Badri menampakkan wajah putus asa. “Namun, semoga saja langsung menuju sorga.” [  ]

Back to top button