POTPOURRI

Cerita Pendek : Penjaga Mayat

Tiba-tiba, gelap mencengkeram. Mata Mang Ibra, tak bisa melihat  ke arah mayat Apih Masyhur. Ia amat terkejut. Bulu kuduknya berdiri. Semakin terkejut, tatkala ada  mahluk yang muncul di hadapannya.

Oleh  : Usep Romli HM

Siapa nama aslinya, entahlah. Sebab lebih terkenal oleh sebutannya sekarang, Apih Masyhur. Masyhur kekayaannya. Masyhur kedudukannya. Masyhur pula  kekikirannya.

Memang, sawah ladang dan tanah lainnya luas-luas, rumah mentereng di sana sini, mobil mewah selalu baru, berganti-ganti. Tapi susah mintai tolong. Alasannya, karena sudah sering mengeluarkan zakat dan sedekah.

“Tonton tivi. Di situ sering ditayangkan kegiatanku pada setiap bakti sosial, “kata Pak Masyhur kepada orang-orang yang  datang meminta bantuan.

Baru setelah menderita sakit parah, ia sangat bermurah hati. Tiap pagi menugaskan pembantunya membeli seratus dua ratus bungkus nasi rames. Untuk dibagikan kepada fakir-miskin.

Kepada istri dan anak-anaknya berwasiat:“Jika Apih meninggal, di samping kuburan tempat mayat Apih, buatlah  lubang lain. Untuk penunggu. Kalau ada penunggu, semoga saja malaikat pemeriksa di kubur, tak terlalu ganas,“ katanya putus-putus. Kemudian lama tercenung. Mengingat-inag asal mula penyakit yang menggerogoti kesehatannya. Tensi naik, sejak ikut kongkalikong pembebasan tanah sawah belasan héktare untuk jalan tol.  Kadar gula tak normal sejak sering pesta pora makan-makan, merayakan kesuksesan sebuah proyek yang diperoleh dengan susah payah. Jantung sering bergemuruh, sejak ada lembaga antikorupsi, akan melaporkan ke KPK. Untung masih bisa ditutupi, setelah  keluar pelicin lima miliar. Amat kecil dibanding 200 miliar dana yang berhasil dikeruk.

“Nanti ada yang protes, Pih. Kan tidak lumrah!” salah seorang anaknya menyela.

“Lumrahkan saja,” Apih Mashur  menimpali. Suaranya tersedak di tenggorokan.  “Catat saja, siapa kira-kira yang akan protes. Berapa orang. Sediakan masing-masing satu juta. Untuk tokohnya, lima juta.”

Dihitung cermat, harus ada  dua miliar. Untuk orang sekampung. Masing-masing  lima ratus ribu per keluarga. Sekitar lima ratus jutaan. Kyai, santri, ketua  RT, ketua RW, kepala desa dan aparatnya, diperkirakan satu setengah miliar.

No problem.” Suara Apih Masyhur timbul tenggelam. “Jangan lupa, honor untuk penunggu. Sehari lima juta. Empat puluh hari………”

“Dua ratus juta!” kata anak-anaknya serempak.

No problém.”Apih Mashur batuk-batuk. ”Tak akan mengurangi jatah warisan kalian yang sudah Apih siapkan di berbagai bank nasional dan bank mancanega-ra.”

Sulit menemukan orang yang mau menjaga mayat di kuburan selama 40 hari. Apalagi berdampingan di dalam kubur. Walaupun akan dibuatkan tempat tinggal. Memakai kasur, kelambu, selimut tebal, dan dijamin kebutuhan makan minum selengkapnya. Diberitakan kepada orang sekampung melalui kabar dari mulut ke mulut.

Persis Apih Masyhur meninggal, ada yang bersedia. Mang Ibra, tukang menebang kayu. Saban waktu menjelajah hutan. Orang pemberani dan nekad. Konon, pernah berkelahi dengan babi hutan bayangan*. Taringnya sebesar sabit. Paha Mang Ibra memang terluka. Namun akhirnya babi hutan itu yang tumbang. Lehernya hampir putus ditebas kampak.

 “Malaikat itu mahluk suci. Tak akan edan seperti babi hutan bayangan,“ pikir Mang Ibra ketika menawarkan diri ke keluarga Apih Masyhur.

“Dipanjar seratus juta, Mang. Nanti seratus juta lagi setelah tugas beres,”kata anak sulung Apih Masyhur, sambil memberikan uang sepuluh ikatan.

“Tahu beres saja,”kata  Mang Ibra, setelah memasukkan uang ke ransel kumalnya. Gembira luar biasa. Gairah, semangat. Senyum-senyum terus. Bersiul sepanjang langkah menuju rumah. Ia bergumam,”Kapan lagi aku punya uang beratus juta? Sekalipun membabat semua kayu di hutan tutupan Gunung Gambrong, tidak akan. Paling cuma ratusan  ribu.  Belum lagi di kejar-kejar petugas keamanan minta bagian.”

Mayat Apih Masyhur selesai dimakamkan. Di sisi kuburannya, dibuat lubang kecil untuk  tempat Mang Ibra tunggu. Dari situ, mayat yang terbaring dapat terlihat.

“Jadi aku harus menyaksikan mayat Apih Mashur diperiksa  malaikat. Terus melaporkan proses pemeriksaan itu ke keluarganya, setiap hari. Hingga empat puluh hari kemudian.”

Mang Ibra geleng-geleng kepala. Bukan takut. Cuma belum tahu cara melaporkan keadaan sesungguhnya. Jika mayat Apih Masyhur disiksa, umpamanya.

“Ah, bagaimana nanti saja. Soal mereka-reka cerita, perkara sepele bagi seorang pencuri kayu.” Mang Ibra mengekeh pelan.

Setelah semua pengantar pulang, masuklah  Mang Ibra ke tempatnya. Menanti  Malaikat Mungkar dan Nakir, yang konon akan datang jika langkah para pengantar jenazah sudah tak terdengar.

Waktu itu tengah hari. Matahari di langit terang benderang. Namun tak mampu menembus keteduhan pepohonan di sekitar pemakaman.   Mang Ibra sudah berdiam di tempatnya.

Tiba-tiba, gelap mencengkeram. Mata Mang Ibra, tak bisa melihat  ke arah mayat Apih Masyhur. Ia amat terkejut. Bulu kuduknya berdiri. Semakin terkejut, tatkala ada  mahluk yang muncul di hadapannya.

“Sedang apa kau di sini ?” Suara mahluk  itu bagai ledakan petir.

“Me..men…menemani mayat,” Mang Ibra tergagap-gagap.

“Untuk apa?” suara petir kembali menyambar. Memekakkan telinga Mang Ibra.

“Men..men..mendapat upah.“

“Berapa?”

“Seratus juta panjar….Nanti, empat puluh hari lagi, tambah seratus juta.” Mang Ibra mulai agak tenang

“Yakin kau akan hidup empat puluh hari lagi?” suara petir kembali menghentak.

Mang Ibra tak dapat menjawab. Tangannya gemetar. Memegang gagang kampak.

“Apa itu yang kau pegang?”

“Kampak ….”tubuh Mang Ibra basah kuyup keringat dingin.

“Punya siapa?”

“Punyaku.”

“Dari mana?”

“Kampaknya beli, gagangnya bikin sendiri.”

“Dari mana uang pembelinya?”

“Menjual domba dua ekor….”

“Gagangnya dari kayu, membeli juga ?”

“Tidak. Menebang pohon waru di pinggir sungai.”

“Pohon waru milik siapa ?”

“Bukan punya siapa-siapa. Tumbuh sendiri  ….”

“Nah, kampakmu dipakai menebangi pohon kayu, ya ?”

“Ya…….!”

“Pohon kayu siapa? Tanam sendiri?”

Mang Ibra membisu.

“Hasil menebang kayu untuk makan anak istrimu?”

“Ya………..”

“Itu halal atau haram?”

Mang Ibra membisu lagi. Kepalanya tepekur. Rasa takut mulai menyergap dirinya.

“Besok pertanyaan soal kampak dan kayu yang suka kautebangi, akan dilanjutkan lagi.”

Makhluk itu lenyap. Mang Ibra buru-buru naik. Keadaan gelap gulita. Malam sudah amat larut. Suara aneka macam serangga terdengar mendengung  keras. Bersahutan, di tengah sepi kuburan.  Bulu kuduk Mang Ibra meremang. Otaknya buntu. Beku. Tubuh menggigil.

“Jangankan menyimak pemeriksaan Apih Masyhur. Menghadapi pemeriksaan sendiri juga begitu ruwet. Itu baru soal kampak. Nanti soal kayu. Terus merembet ke soal-soal lain. Termasuk soal uang seratus juta, dua ratus juta. Ah, bagaimana menjawabnya?”

Segera Mang Ibra angkat kaki. Lari meninggalkan areal kuburan. Terbanting-banting. Tertarung-tarung. Tak peduli. Ketika berkelahi dengan babi hutan edan, tak setakut sekarang. Tak segentar ditanya soal kampak.

Tiba ke pintu rumah, pintu digedor. Begitu terbuka, langsung masuk kamar. Menarik peti dari kolong ranjang. Mengambil gepokan  uang seratus juta. Dimasukkan ke kantong keresek.

Lalu berlari ke rumah keluarga Apih Masyhur. Mang Ibra menggoyang-goyang pintu pagar besi. Pribumi datang tertatih-tatih ngantuk.

“Nih, aku kembalikan uang seratus juta. Pekerjaan batal!“ Mang Ibra melem-parkan kantong keresek ke tangan   pribumi.

“Mengapa?” Pribumi kaget.

“Tak apa-apa,”jawab Mang Ibra. [  ]   

Back to top button