Covid-19: Ujian Kepemimpinan Nasional
Respons awal yang tidak tepat itu menjadi kian buruk manakala mereka pun gagal menerjemahkan kondisi darurat itu lewat kebijakan yang diambil. Atmosfer media kita tak hanya riuh rendah oleh perdebatan berlarut-larut di antara para pengambil kebijakan sendiri.
Oleh : Widdi Aswindi*
Judul tulisan ini sepertinya tidak berhubungan. Covid 19 adalah nama penyakit yang sedang populer, sementara kepemimpinan bukanlah terminologi dalam mengatasi penyakit yang disebutkan. Oleh karenanya kata “ujian” yang menghubungkan keduanya menjadi sangat berarti. Sifat dari penyakit covid 19 yang gampang menular dari manusia ke manusia, memerlukan pengaturan manusia dalam jumlah yang besar. Seperti kita ketahui covid 19 ini telah hampir menyerang ratusan bangsa dan negara di seluruh duniia. Covid 19 telah menjadi ujian bagi para pemimpin di seluruh dunia.
Bagi Indonesia, jelas bahwa wabah ini bukanlah ujian bagi para pemimpin-pemimpin lokal. Kepemimpinan yang diuji adalah kepemimpinan nasional. Alasannya, pertama, karena covid-19 yang merebak di Indonesia adalah sebuah rangkaian pandemi global, yang masuk melewati batas-batas negara, yang batas-batasnya dikendalikan oleh kepemimpinan nasional.
Alasan kedua, tidak mungkin menggunakan seluruh sumber daya yang ada tanpa tergantung pada kepemimpinan nasional yang responsif, dalam sebuah negara republik yang menganut sistem presidensial. Oleh karenanya dalam melihat penanganan dan ikhtiar untuk menanggulanginya, kecermatan pemimpin (presiden) dan birokrasinya menjadi penting.
Jika kita cermati berbagai pernyataan para pembantu Presiden –yang berseliweran di media (media massa dan media sosial) — seiring datang dan merebaknya pandemi Covid-19, sulit untuk menolak datangnya asumsi kuat akan lemahnya pengetahuan dan wawasan para pembantu Presiden dalam masalah ini. Walaupun kita dapat memaklumi bahwa ujian seperti ini tidak datang pada setiap generasi. Sehingga tak semua pejabat dan apparat birokrasi punya pengalaman atau setidaknya pengetahuan membaca peristiwa sejenis dalam hidup mereka. Hampir semua orang yang hidup belum pernah mengalami kejadian langka pandemi seperti ini.
Namun yang membuat kecewa, adalah cara para pembantu Presiden merespons persoalan ini. Alih-alih bersegera untuk serius menghadapi, dalam kedangkalan pengetahuan dan langkanya pengalaman seputar pandemi itu, mereka bahkan menjadikannya bahan guyonan dan olok-olok. Tak perlu kita mengulang satu persatu olok-olok dan guyon tak lucu itu, toh jejak digital pun dengan gampang datang kepada kita via grup-grup WA.
Respons awal yang tidak tepat itu menjadi kian buruk manakala mereka pun gagal menerjemahkan kondisi darurat itu lewat kebijakan yang diambil. Atmosfer media kita tak hanya riuh rendah oleh perdebatan berlarut-larut di antara para pengambil kebijakan sendiri. Satu hal yang karena terlalu lambannya, membuat sementara warga masyarakat sudah mulai menyatakan bahwa dalam situasi pandemi, justru negara seolah dalam kondisi auto-pilot. Berjalan sempoyongan, tak jelas menuju kemana karena sang pengambil arah tujuan seperti tengah tidak berada di tempatnya.
Lebih parah lagi, tak jarang antarpengambil kebijakan berbeda ‘lahan’ dan otoritas itu saling meniadakan dan membantah aturan yang telah diambil oleh pengambil kebijakan lain. Contoh gampangnya, manakala Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melarang pengemudi ojek online mengambil penumpang untuk memastikan adanya physical distancing (seperti yang tertuang dalam aturan yang dibuat menkes), Pelaksana tugas Menteri Perhubungan segera menganulasi kebijakan tersebut dengan menyatakan memberikan izin ‘ojol’ mengambil penumpang. Meski belakangan hal tersebut di’luruskan’ Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, toh sisi buruknya telah publik catat, yakni tak adanya keserasian dan harmonisasi di antara para pengambil kebijakan untuk urusan pandemi Covid-19 ini.
Barangkali benar ada perbedaan kepentingan di antara para elit pengambil kebijakan. Bagaimana pun kita tahu, mereka tidak datang dari partai dan kelompok kepentingan yang sama. Ada banyak perbedaan tujuan semula, tentu. Tetapi sungguh aneh bila para elit setinggi mereka melupakan standard moral paling dasar dari seorang pejabat tinggi, yang dengan tepat dinarasikan dalam kalimat dua orang besar di abad 20, John F Kennedy dan Manuel Quezon, yakni “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.”
Yang kasat mata di depan rakyat justru adalah terlalu kentalnya upaya kepentingan untuk menjaga kekuasaan. Hal itu yang tampak menjadi dasar pemikiran paling kuat sementara elit di tengah pandemi. Alhasil, paradigma berpikir seperti itu meniscayakan kecenderungan untuk melihat apa pun yang diupayakan rekan sesama elit dalam kekuasaan, namun berbeda asal kelompok atau partai, tak lain sebagai upaya menggergaji kekuasaan. Setidaknya selalu dimaknai sebagai upaya membangun kekuatan anti-kekuasaan. Naudzubillah!
Di sisi lain, dalam mengurusi pandemi Covid-19 sebagian elit pemerintah cenderung terlalu fokus kepada mereka yang selama ini menjadi pendukung, bahkan yang di masyarakat terkesan sebagai kelompok true believer, yang memiliki kepatuhan tanpa reserve.
Mungkin akibat terlalu terobsesi oleh kedua hal tersebut, kesan yang terbangun kuat di publik adalah pemerintah masih saja melawan pandemi ganas ini hanya dengan kerja-kerja pencitraan. Sebuah contoh gampang, di tengah pandemi, justru bermunculan pemberitaan dominan di banyak media yang selama ini terkesan sebagai alat birokrasi tentang hasil polling atau survey kepuasan publik terhadap pemerintah. Isinya, disebutkan bahwa mayoritas publik puas dengan apa yang dilakukan pemerintah dalam melawan pandemi. Barangkali saja pemerintah memang perlu rasa percaya diri hingga berita seperti itu muncul dengan cukup dominan. Tetapi rasanya lebih banyak warga masyarakat akan berterima kasih seandainya upaya-upaya yang ada lebih terarah, fokus dan massif melawan langsung pandemi covid-19 dan dampak ekonomi dan social yang dibawanya ke masyarakat.
Yang lebih fatal, semua upaya pemerintah dalam melawan covid-19 itu kemudian menjadi ambyarmanakala ada penumpang gelap dalam upaya besar melawan covid. Ada kesan kuat di masyarakat, bagi sementara kalangan di internal elit, upaya nasional melawan covid tersebut hanyalah semacam ‘proyek’ biasa, yang ujung-ujungnya dimaknai semata sebagai aliran dana.
Lihatlah kasus staf khusus Andi Taufan Garuda Putra, yang dianggap public menjadi penunggang gelap upaya melawan covid dengan mengirimi pada camat seluruh Indonesia. Pada surat berkop Sekretariat Kabinet dan dibuat pada 1 April 2020 itu
Taufan meminta para camat untuk mendukung edukasi dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri (APD) yang dilakukan oleh perusahaan pribadinya, PT Amartha Mikro Fintek (Amartha). Setelah skandal itu terbongkar pun, kita masih bisa melihat betapa kedewasaan sang stafsus laik dipertanyakan, manakala ia meminta maaf kepada para camat, alih-alih kepada seluruh rakyat Indonesia. Yang ganjil, pihak Istana justru meminta masyarakat memaafkan kelakuan staf khusus tersebut.
Kasus kedua juga melibatkan stafsus Istana, Adamas Belva Syah Devara, dari Ruangguru. Keterlibatannya dalam program Kartu Prakerja yang konon senilai Rp 5,6 triliun, wajar menimbulkan polemik. Pasalnya, Ruangguru merupakan start-up yang dimiliki Belva. Lumrah pula bila kalangan usahawan dalam negeri kesal. Sementara proyek pemerintah di atas Rp 200 juta diwajibkan untuk dilelang terbuka dengan segala macam keribetannya, eh, ini proyek triliunan terkesan dibagikan begitu saja dengan standard sesuai selera.
Belakangan muncul aplod berita di media social yang belum terkonfirmasi, bahwa Ruangguru telah dijual kepada perusahaan swasta luar negeri yang berbasis di Singapura. Bila hal itu benar, urusannya seharusnya bahkan lebih parah lagi.
Dua kasus itu sudah cukup untuk memunculkan sebuah delusi alias waham—fakta yang diyakini tapi sebenarnya salah, bahwa alih-alih berjuang mengatasi serangan virus corona, upaya memerangi petaka Covid-19 justru menjadi ajang bancakan sementara elit Istana. Alangkah sayangnya nama Presiden cedera dan terbawa-bawa kelakuan tak tahu diri sementara pembantu beliau!
Ancaman besar covid-19 membuat kita semua tak bisa terhenti hanya karena kedua kasus tersebut. Biarlah hal yang sudah dicatat media, sejarah dan warga di masing-masing hati mereka itu diurus pada saat yang lebih tepat.
Yang urgen untuk dilakukan adalah segera menangani serangan covid ini dengan jujur dan apa adanya. Singkirkankan sejauh-jauhnya ketakutan yang tidak perlu. Kita tahu, kekuasaan mungkin memabukkan dan seringkali membawa delusi bahwa pemegangnya tak pernah aman dari serangan dan penggergajian pihak lain.
Presiden mungkin harus kembali mengajak seluruh warga NKRI untuk bekerja keras tanpa pamrih. Sementara yang diinginkan warga, Presiden dan para elit pun mampu segera menentukan prioritas apa saja yang harus segera dikerjakan. Kejujuran elit, pada saatnya akan meniscayakan dukungan semua pihak untuk ikut berpartisipasi.
Barangkali tak ada salahnya kita melirik negara dan pemimpin lain dalam urusan ini. Ada tulisan menarik di majalah ‘Forbes’ edisi terbaru berjudul “What Do Countries With The Best Coronavirus Responses Have in Common? Women Leaders.” Artikel yang mengelaborasi respons para pemimpin perempuan dan cara mereka yang lebih efektif dalam menghadapi pandemic covid itu dihiasi deretan foto, mulai dari Angela Merkel, Tsang Ing-Wen, Jacinda Arden, Katrin Jakobsdottir, Sana Marin, hingga Erna Solberg. Forbes melihat mereka punya kesamaan pendekatan, terutama satu hal: truth. Mereka semua menyampai kebenaran berita, membuat langkah yang dianggap perlu dan menyebarkan empati.
Sebagai contoh, Angela Merkel tak ragu untuk mengabarkan berita buruk kepada warganya. “It’s serious,” kata beliau,” so take it seriously.” Pemerintah Jerman tidak melakukan denial, sehingga massa tidak menjadi resah atau bahkan marah. Jerman hari ini menjadi negara dengan korban terkecil dibandingkan dengan negara Eropa lainnya, padahal luas negaranya terbilang besar.
Sementara Tsang Ing-wen dan Jacinda Arden melakukan langkah decisive. Tsang Ing-wen memperkenalkan 124 macam cara penyelamatan sehingga Taiwan tidak perlu melakukan lockdown. Jacinda Arden langsung memerintahkan karantina sukarela kepada semua orang yang memasuki New Zealand ketika pasien dalam pengawasan (PDP) masih berjumlah enam orang. Kebijakan itu langsung diikuti dengan larangan orang luar masuk ke negaranya dan karantina 14 hari bagi yang mudik sebelum negara lain mencopy kebijakan tersebut. Dan sebagainya.
Sudah bukan waktunya Presiden terlalu bergantung kepada para pembantu yang tak jarang nir-kompeten. Perlu disadari sepenuhnya bahwa negara tidak dalam kondisi normal sehingga pamer kekuatan pribadi atau kelompok masih sesuatu yang berarti. Tidak. Yang harus diutamakan, diangkat sebagai kesadaran bersama justru adalah semangat rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Semua warga Indonesia harus bersatu untuk satu tujuan besar: membuat covid-19 segera enyah dengan segala dampak yang ditimbulkannya.
Kita semua perlu menyadari, di saat seperti ini jangan pernah ada kecurigaan berlebihan bahwa ada pihak-pihak yang mengharapkan pemerintah gagal. Di pihak pemerintah sendiri, tentu saja janganlah terlalu baper. Common sense kita mengatakan, kegagalan pemerintah (baca: kita semua) menanggulangi pandemi justru akan menimbulkan bencana yang lebih besar lagi bagi semuanya. Jika itu terjadi, tak akan ada pihak yang datang memanen untung. Tentu saja, buruknya kondisi saat ini tak membuat rasa putus asa menjadi wajar, bahkan boleh. Sebab, bagi orang-orang yang beriman tak ada sama sekali tempat tersisa untuk berputus asa.
Inilah saat dimana kepemimpinan nasional diuji. Menjadikan semua ikhtiar bersama dengan harmonisasi yang kompak dan merdu. Membuat ruang-ruang bersama untuk saling membahu mengerjakan apa yang harus dikerjakan. Kepemimpinan yang menggerakkan semua orang dari seluruh lapisan, karena percaya tidak mungkin ini bisa diselesaikan oleh kekuatan birokrasi dan pendukung pemerintah saja.
Ujian memang menghadirkan kesulitan dan kecemasan tapi bukankah dengan tegas Tuhan menjanjikan, bahkan diulangi-Nya sampai dua kali di surat yang sama dalam Alquran, surat Al Insyirah.
”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Selamat menempuh ujian. [ ]
*Widdi Aswindi
Alumnus Planologi ITB/pengusaha
Ketua DPP PAN – Jubir DPP PAN