Covid, Kekeluargaan, Komunitarian
Setiap nilai tidak ada yang sempurna. Individualisme lebih mendorong pada pencapaian pribadi, kemandirian, dan meritokrasi. Sementara kolektivisme mengedepankan kebersamaan, harmoni dan kohesi sosial.
Oleh : Agus Kurniawan
JERNIH– Sahabat saya –Om Steven, seorang engineer yang lama bermukim di Singapura dan kini tingal di Jerman, beropini menarik, “Jika pandemi berlarut-larut, orang Indonesia lebih bisa bertahan dibanding orang Singapura.” Dalam catatan WHO, angka bunuh diri Singapura memang jauh lebih tinggi dibanding kita. Pun kian meningkat.
Kalau yang bilang bukan Om Steve, saya anggap itu kata penghiburan. Tapi karena yang ngomong dia, yang lama hidup “di sono”, saya mempercayainya.
Orang Indonesia bakal lebih kuat bukan semata karena sumberdaya alamnya lebih baik. Tetapi ketahanan orang Indonesia disebabkan oleh sifat komunitarian atau kolektivitas. Memang kedua istilah itu sering dihindari oleh para cendekiawan Barat karena dianggap berbau sosialis. Mungkin istilah Bahasa Indonesia yang mendekati adalah kekeluargaan atau kebersamaan.
Komunitarian adalah semangat inklusif dan saling berbagi di dalam suatu komunitas. Dasarnya bisa karena kekerabatan dan kesamaan identitas (kampung, etnis, suku). Atau kesamaan nilai-nilai yang dianut, baik kearifan tradisional atau nilai-nilai agama.
Sudah lazim di negeri kita, misalnya, saudara (dekat atau jauh) menumpang hidup. Sudah biasa keluarga besar dihidupi oleh satu patron yang dianggap lebih mampu: anak –sekalipun sudah dewasa– tetap menumpang pada orang tua atau kakek-neneknya; keponakan ngenger pada paman atau bibi; anak yang lebih sukses akan menghidupi saudara-saudara lain yang hidupnya kekurangan. Bahkan di perantauan pun lazim seseorang menampung sesama perantau dari kampung halaman. Ini agak sulit ditemukan di Singapura atau pun negara-negara Barat.
Abad ke-19, seorang peneliti berkebangsaan Amerika menemukan keunikan suku Ainu yang tinggal di Hokkaido, pulau di utara Jepang. Komunitas yang hidup sebagai pemburu dan nelayan ini dianggap memiliki cara hidup yang berbeda dibanding Yamato (etnis mayoritas Jepang) yang tinggal di Honshu, pulau utama negeri sakura itu. Ainu hidup mirip orang Badui di Banten, Kampung Naga di Tasikmalaya, atau berbagai masyarakat adat yang tersebar di Nusantara. Mereka mengurangi kepemilikan dan hak-hak pribadi. Pada saat bersamaan mengedepankan semangat kolektif dan kekeluargaan.
Berseberangan dengan itu, etnis Yamato lebih mengedepankan pencapaian pribadi dan hak-hak individu. Sama seperti yang dianut oleh sebagian besar bangsa Barat, termasuk orang-orang Singapura, tempat Om Steven lama bermukim.
Sejak “penemuan” di Hokkaido itu, para sosiolog makin gencar melakukan penelitian tentang perbedaan cara hidup komunitarian atau kolektif yang secara simplisistik sering dilabeli sebagai nilai-nilai Asia — padahal nilai-nilai serupa juga dijalani oleh berbagai kebudayaan lain non-Asia. Komunitarian dihadapkan dengan karakter individualistik masyarakat Barat secara umum, juga nilai-nilai meritokrasi modern.
Tentu setiap nilai tidak ada yang sempurna. Individualisme lebih mendorong pada pencapaian pribadi, kemandirian, dan meritokrasi. Sementara kolektivisme mengedepankan kebersamaan, harmoni dan kohesi sosial.
Sisi buruk individualisme tentu saja kurang menghargai kekeluargaan. Istilah bahasa gaul, “tegaan”. Di sini saya ingat celetukan sahabat lain yang lama tinggal di Amrik, “Kalau kamu kaya, enak tinggal di Amerika. Tapi kalau kamu miskin, lebih mudah hidup di Indonesia.” [ ]
Penulis bisa diajak ngobrol pada email goeska@gmail.com