Solilokui

Kenangan Kemerdekaan

Kedua buku itu disimpan bersama beberapa keris dan golok kecil dari kuningan, semacam pusaka keluarga. Saya agak yakin Bapak memperlakukan buku itu lebih seperti pusaka juga.

Oleh  : Agus Kurniawan

JERNIH– Tentang kemerdekaan, tidak ada yang bisa menggeser kenangan ini, walaupun sudah bertengger hampir 40 tahun di kepala saya: sejarah sidang BPUPKI yang saya baca waktu kelas tiga atau empat SD.

Agus Kurniawan

Waktu itu saya baru lancar membaca. Dulu, lazimnya anak bisa lancar membaca memang umur segitu. Kelas satu dan dua baru belajar mengenal pola, huruf, dan kalimat sederhana — berbeda dengan sekarang.

Saya menemukan buku itu di lemari baju Bapak, bersama satu buku lain, “Sarinah“, karya Bung Karno. Bapak mendapat dua buku itu karena menjadi kader PNI, dan pernah mengikuti pembekalan di Bandung — kota yang zaman itu terasa sangat jauh dari rumah kami di Magelang.

Kedua buku itu disimpan bersama beberapa keris dan golok kecil dari kuningan, semacam pusaka keluarga. Saya agak yakin Bapak memperlakukan buku itu lebih seperti pusaka juga. Disimpan khidmat di tempat khusus, tetapi tidak pernah membaca isinya. Saat buku itu saya “curi”, dan menjadi lusuh karena keseringan dibaca, Bapak pun ternyata tidak pernah menyadarinya.

Buku itu — lupa persis judulnya — berisi ringkasan notulensi sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Kadang disebut BPUPK saja, tanpa hurif “i”. Karena badan ini bentukan kolonial Jepang, dia memiliki istilah Jepang juga, “Dokuritsu Junbi Chōsa-kai”.

Jepang membentuk badan ini karena lobi dari para bapak bangsa kita. Selain itu juga didesak oleh situasi dimana Jepang membutuhkan dukungan dari sekutunya (baca: jajahannya) karena mengalami tekanan berat di medan perang Pasifik dan Asia Timur.

Sidang BPUPK merumuskan tiga pilar penting bagi terbentuknya NKRI. Yakni dasar negara, bentuk negara, dan rumusan undang-undang dasar. Tiga tokoh monumental yang pidatonya dicatat dalam tinta emas sejarah kita adalah Prof. Mohammad Yamin, Prof. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Ramuan konsep dari ketiga tokoh inilah yang kemudian kini kita kenal sebagai dasar negara Pancasila.

Setiap peringatan kemerdekaan seperti hari ini, saya selalu terbayang imajinasi para bapak bangsa itu naik ke atas mimbar, berpidato dengan semangat menyala-nyala. Terbayang bagaimana dada mereka dipenuhi oleh harapan terbangunnya negeri baru yang makmur, aman, dan sentosa.

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa” (al-Baqarah, 126) [ ]

*goeska@gmail.com

Back to top button