Solilokui

Dan Kita Pun Mengunyah Rafah…

Penyair sufi Sa’di Asy-Syirazi dari Ghulistan, Persia lama, mengatakan, “Jika kamu tidak merasakan apa yang orang lain derita, tak pantas kamu menyebut diri manusia.” Manusia agung, Muhammad SAW, juga bersabda agar kita saling mencintai, menyayangi dan membuktikannya dengan bersedia saling membantu.”Man la yarham, ” sabda Nabi, ”La yurham. Siapa yang tak bisa mencintai, tak akan mungkin dicintai.” Terutama oleh Sang Maha Cinta, Allah SWT.  

Oleh     :  Darmawan Sepriyossa

JERNIH–Kisah pilu seperti apa yang masih tersisa untuk kita ceritakan tentang Gaza, dan kini Rafah? Dunia sudah menyaksikan bayi-bayi yang terputus leher kehilangan kepala. Wajah-wajah muda yang bergeletakan tertutup hamburan otak. Jasad-jasad kaum ibu tanpa nyawa, bertahan mendekap anak terkasih, demi sayang yang kekal meski nyawa harus berputus lampus. Sementara dunia memilih sikap seorang paria menghadapi hidup: diam, melupakan. Seperti potret warga Jakarta menyikapi hayat yang pedih papa dalam selarik sajak penyair besar alm Hamid Jabbar,”Jakarta 3”:

“Hidup di Jakarta/

rumusnya barangkali sederhana saja/

Lupa.”  

Bacalah surat terbuka  Dr. Hasan Al-Qanu dari Gaza utara untuk dunia, dua hari lalu, 29 Mei 2024. Untuk kita kaum Muslim terutama. “Situasinya sangat menyedihkan,.. ketakutan telah tiba di puncak. Puluhan orang dibakar sampai mati di wilayah utara tanpa pemberitaan media, karena tidak seorang pun bisa mencapai tempat pembantaian. Ratusan syahid dan terluka tergeletak di jalanan, beberapa korban dagingnya dimangsa anjing…. Seorang tetangga memberitahu-kan, dia mencapai tempat ayahnya dibakar dengan nyaris kehilangan nyawa. Ayahnya sudah jadi daging hangus. Dia mengemasnya ke dalam kantong plastik, menggali lubang, dan menguburnya…

Darmawan Sepriyossa

Bagaimana petaka yang terjadi tidak mengerikan dan dahsyat, kalau yang dilakukan Israel adalah pembantaian manusia “sebersih-bersihnya” tanpa setetes pun iba kemanusiaan? Catatlah data berikut ini dalam hati. Sejak 7 Oktober 2023 aampai pertengahan April lalu, Euro-Med Human Rights Monitor menyatakan lebih dari 25 ribu ton amunisi telah diledakkan Israel di Jalur Gaza. Itu setara dengan dua bom atom. Bom atom Little Boy yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima, Jepang, dalam Perang Dunia II menghasilkan 15 ribu ton peledak berkekuatan tinggi dan menghancurkan segala dalam radius satu mil. Bayangkan dua kali lipatnya!

Di Gaza, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), memperkira-kan berat total puing bangunan akibat serangan Israel itu mencapai 22,9 juta ton. Bukan hanya itu, karena Israel pun menggunakan bom haram menurut hukum internasional, yakni bom fosfor putih. Bom yang tak hanya bisa membakar bangunan, juga melelehkan daging manusia itu, seperti dilaporkan Human Rights Watch, digunakan di daerah padat di Gaza.

“Saya khawatir kita menghadapi kehilangan satu generasi anak-anak,”kata Komisioner Umum UNRWA, Badan PBB yang Mengurusi Pengungsi Palestina, Phillippe Lazzarini, kepada BBC.

Dan semua itu bukan nestapa yang baru terjadi kemarin sore di Gaza. Cendikiawan dunia terkemuka dari Palestina, Edward Said, sejak lama punya pandangan ngungun tentang orang-orang Palestina, khususnya Gaza. “…Merekalah orang-orang paling sedih dan tidak berdaya. Makhluk yang dibantah kebera-daannya. Makhluk asing yang tidak diterima…”

Bagi warga Gaza, hal kekejian tersebut barangkali tidak lebih daripada momen-momen lonjakan kebengisan. Toh, kekejian Israel adalah realitas harian dalam kehidupan mereka. Dalam sambutan pembukaan setelah Dewan Keamanan PBB gagal membuat gencatan senjata selama konflik 2021 karena diveto AS, Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, berkata,”Jika ada neraka di bumi ini, itu adalah kehidupan anak-anak di Gaza.”

Lihatlah, bagaimana orang-orang Palestina begitu sabar ketika dunia, bahkan saudara-saudara Muslim mereka memalingkan wajah di saat darah warga Gaza dan Rafah tumpah. Cerita penyair Palestina, Mosab Abu Toha, tentang koleganya sesama penyair, Profesor Refaat Al Areer, menghadapi hari-hari kehancuran Gaza. “Tidak akan ada stroberi tahun ini di Gaza. Tolong, Mosab! Kalau aku mati, taruh stroberi di kuburanku,” kata Prof. Refaat melalui pesan singkat. Pada 7 Desember 2023, dalam serangan pengecut Israel ke Gaza, ia meninggal bersama seluruh anggota keluarga.

Bagaimana dengan Rafah, titik yang saat ini menjadi fokus perhatian warga dunia setelah hancurnya kemanusiaan di Gaza?  Bagi Israel—dan Amerika—tak ada bedanya apakah kekejian nir-manusiawi yang mereka lakukan itu disaksikan dan diamati mata dunia atau tidak.  

Beberapa waktu sebelum para pengungsi Palestina di Rafah dibunuhi Israel dengan kejam melalui bom dan peledak api, Ahad (26/5) dan Selasa (28/5), The Washington Post melaporkan bahwa AS telah mengirim bom dan pesawat tempur mereka ke Israel. Senjata yang dikirim AS itu adalah 1.800 bom MK84 seberat 2.000 pon, dan 500 bom MK82 seberat 500 pon. MK84 adalah penghancur bunker yang digunakan Israel saat menyerang Kamp Jabalia, di Gaza. Senjata itu terbukti selalu efektif untuk melakukan pembantaian manusia. Untuk membunuh seketika 100 warga Palestina di Jabaliya, Israel telah menggunakan MK84 penghancur bunker dan peleleh daging. PBB menyebut serangan itu tidak proporsional dan lebih cenderung sebuah kejahatan perang. Israel juga menggunakan meledakkan bom GBU-39 untuk membakar tenda  dan membunuhi warga sipil yang mengungsi di Rafah. Tercatat 45 orang tewas mengenaskan karena serangan Israel itu. Apa jawaban AS, cukong penyedia alat pembunuh warga Palestina itu?  Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, hanya berkilah,”Kami belum menemukan adanya pelanggaran.”

Mengapa Rafah?

Sering Israel menggambarkan Rafah sebagai benteng terakhir Hamas, dan karena itu ngotot untuk menyerang kota itu, tak peduli wilayah tersebut ini didominasi warga sipil dan pengungsi. Karena itu, berkali-kali Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, selalu mengatakan bahwa negaranya tidak punya pilihan selain menghancuran Rafah. Jelas, bagi mereka jumlah korban yang hingga 28 Mei 2024 telah tercatat 36 ribu orang terbunuh, dengan sekitar 15 ribu diantaranya anak-anak, tak ada artinya. “Hanya angka-angka statistika,”kata mendiang diktator Uni Soviet di masa lampau, Joseph Stalin.

Tetapi sejak lama Israel memang meyakini posisi strategis Rafah. Jenderal kenamaan Israel pada saat perampasan wilayah-wiayah Palestina awal 1950-an, Moshe Dayan, dalam memoir perangnya “Diary of the Sinai Campaign”, menulis sisi strategis Rafah. “Jika el-Arish dan Rafah dapat kita rebut,” tulis Dayan, “Jalur Gaza akan terisolasi, dan tak bisa bertahan sendirian.”

Dalam sejarah, kota terakhir yang terletak di ujung selatan Jalur Gaza dan berbatasan langsung dengan Mesir itu serigkali diperebutkan.  Para Firaun Mesir, Firaun, Kerajaan Asyura, polis-polis Yunani dan Romawi, bergantian menaklukkan kota itu sepanjang berlangsungnya peradaban. Ensiklopedia Britannica mencatat, Rafah menjadi tempat kemenangan dalam konflik keempat antara dinasti Ptolemeus (kerajaan Mesir) dan Seleukia (kerajaan kuno Eurasia) pada tahun 217 SM. Karena kemenangan itu, Rafah dikuasai Mesir.

Namun demikian, Israel juga membangun pos-pos yang membuat warga Palestina di Gaza tidak pernah bebas dari cengkeraman mereka. Segalanya mereka awasi dan batasi, termasuk urusan logistic yang menopang kehidupan sehari-hari warga Palestina. Tak heran, dengan kegigihan yang harus diakui dunia, warga Gaza-Rafah tak perah berhenti menggali terowongan hingga puluhan meter dalam tanah, tersambung ke rumah-rumah warga Mesir untuk menjamin pasokan kebutuhan pokok mereka.  

Setelah 7 Oktober 2023, masyarakat Palestina terus tergusur, mencari wilayah aman hingga ke Rafah. Kota itu pun seketika menjadi tempat perlindungan terakhir bagi 1,4 juta warga Palestina, seperti ditulis The  Independent, Kamis (30/5/2024) lalu. Dalam padatnya manusia tenda itulah, Israel dengan bengis membunuhi warga sipil, terutama Wanita dan anak-anak itu dengan cara membakar dan melolosi daging-daging mereka dengan panasnya api bom fosfor.

Kita ikut mengunyah daging warga Rafah

Ah, siapa pun tahu, warga Palestina tak punya tempat bergantung, kecuali kepada Allah yang Maha Agung. Kepada Amerika Serikat, mentor hak asasi yang kian lama makin kelihatan blegug dan munafik, jelas tak bisa.

Pada 18 Oktober 2023, AS memveto resolusi Dewan Keamanan yang menyerukan “jeda kemanusiaan” dan potensial menghentikan kekejian. Itu bukan veto pertama negara tersebut untuk memblokir resolusi apa pun yang mungkin kritis terhadap Israel atau menyerukan pembentukan negara Palestina. Sejak 1945, AS telah memveto resolusi terkait Israel sebanyak 46 kali, termasuk soal invasi Israel ke Lebanon selatan serta aneksasi Israel atas Dataran Tinggi Golan di Suriah, yang kini masih berada di bawah pendudukan Israel. Washington bahkan secara resmi mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan pada 2019.

Bukan hanya itu. Akhir Maret lalu, bekas calon presiden AS yang dipecundangi, Nikki Haley, menulisi peluru-peluru kendali Israel yang siap menggempur Gaza dengan tulisan tidak manusiawi dan norak. “Habisi mereka! America Love Israel. Always.” Peluru itu kemungkinan besar membunuh sekian banyak anak dan perempuan Palestina karena memang digunaka untuk menyerang warga sipil Gaza.

Dukungan AS untuk Israel pun mengalir deras dalam bentuk dana yang sangat memengaruhi politik negeri itu kepada Israel. AIPAC, organisasi lobi Israel terbesar, menyumbang US$ 5,1 juta lebih ke Demokrat dan US$ 3,4 juta lebih ke Republik. Di luar AIPAC, dari total US$ 11,4 juta sumbangan 20 kelompok lobi pro-Israel terbesar, US$ 6,7 juta mengalir ke Demokrat dan US$ 4 juta ke Republik. Masuk akal bila, misalnya, pada April 2024 Kongres menyetujui bantuan keamanan untuk Israel senilai US$ 14,3 miliar, alias dana terbesar AS bagi Israel sepanjang sejarah! Sumbangan itu termasuk US$ 4 miliar untuk Kubah Besi dan Katapel Daud, sistem pertahanan Israel guna men- cegat pesawat terbang, drone, dan rudal balistik.

Jangan lupakan pula dana dari kalangan swasta dan bisnis. Sudah jadi rahasia umum, begitu banyak korporasi multinasional yang menyumbang buat Israel, sebejat apa pun negara itu berbuat. Tanpa harus dibelejeti ulang, publik dunia telah sama-sama mafhum, berapa besar sumbangan korporasi warung kopi kelas dunia tertentu, waralaba hamburger tertentu, perusahaan minuman ringan tertentu, franchise ayam goreng tertentu, misalnya, yang mengalir untuk kepentingan Israel. Karena mereka juga beroperasi di Indonesia, tidak tertutup kemungkinan ada sebagian sumbangan itu datang dari Anda. Jadi, manakala Anda merasa nikmat meneguk minuman ringannya, menyesap kopinya, mengunyah renyah ayam gorengnya, sekian waktu kemudian bagian pembayaran Anda itu masuk kas negara Zionis. Kemungkinan besar, dana Anda bukan buat membangun sarana pengairan di Kibbutz—komunitas pertanian khas Israel–, melainkan untuk membayar butir-butir peluru dan bom-bom fosfor untuk membunuhi dan melolosi daging warga Palestina!

Tetaplah jadi manusia

Penyair sufi Sa’di Asy-Syirazi dari Ghulistan, Persia lama, mengatakan bahwa diamnya seseorang di saat sesamanya menderita, tidak hanya memalukan, melainkan juga menegaskan kualitas kemanusiannya. “Jika kamu tidak merasakan apa yang orang lain derita, tak pantas kamu menyebut diri manusia.”

Lebih jauh, manusia agung, Muhammad SAW, juga bersabda agar kita saling mencintai, menyayangi dan membuktikannya dengan bersedia ringan tangan membantu manakala orang lain mengalami susah dan derita. ”Man la yarham, ” sabda Nabi, ”La yurham. Siapa yang tak bisa mencintai, tak akan mungkin dicintai.” Terutama oleh Sang Maha Cinta, Allah SWT.  

Usai serangan biadab Israel ke Rafah, pertengahan pekan ini, laman Instagram Al-Jazeera memuatvideo seorang perempuan Palestina yang tengah menangis meluapkan kesedihan dan kemarahannya.Perempuan itu kehilangan anggota keluarga, terutama paman yang kini melindungi keluarganya sehari-hari. Seorang kakek di akhir 70-an tahun.  “Kapan perang ini akan berakhir? Di mana negara-negara Arab? Di mana para Muslim du negara-negara yang mengaku Muslim? Di mana Arab Saudi? Di mana semua negara?” teriaknya, terdengar pedih. “Wanita tua dan anak-anak Perempuan, apa yang mereka lakukan hingga pantas menerima ini?”

Di dalam negeri, saat lebih banyak kita terdiam, bahkan tak peduli, seorang penyair bertanya lirih. Itu pun terbatas dalam lingkup akun medsosnya. Penyair itu, terbaca bernama Oce Satria.

“di sini/ aku mencari-cari

gemeretak geram pemimpin kami/

gerangan apakah yang mulia/

ikut berduka.

setidak tidaknya isak apatah lagi/

berdiri di depan mikrofon di atas mimbar berlambang kemegahan ksatria/ mewakili tangis kami, geram kami/

dan doa doa kami.Tapi tidak. Tak ada.” 

Ia menulis dalam judul “Maafkan Aku, Al Quds”

Tapi bukankah telah sekian lama memang kita tak merasa punya rasa terikat pada negara, kecuali saat lembaga itu meminta dan meminta? Bukankah memang hajat dan urusan kita, telah sekian lama mereka membuta?

Maka, barangkali, gerakan-gerakan yang digerakkan masing-masing pribadi, seperti Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) terhadap segala tentakel kepentingan Israel, menjadi janji yang lebih pinasti. Biarkan mereka yang senang melihat manusia terpanggang menyatakan bahwa boikot tak punya banyak arti. Tak apa, itu jauh lebih baik dibanding diam percuma.

Benar, lembaga think-tank global, Rand Corporation, pada 2015 memperki-rakan bahwa produk domestik bruto (PDB) Israel hanya akan kehilangan sekitar 15 miliar dolar AS karena pelanggaran hak asasi manusia di Palestina, termasuk BDS. Angka remeh disbanding PDB Israel saat ini yang berjumlah lebih dari 500 miliar dolar AS. Al Jazeera dalam laporannya pada 2018 pun menyebut bahwa gerakan BDS hanya berpotensi merugikan Israel hingga 11,5 miliar dolar AS per tahun. Teruskan dan saling lihat saja.

Tapi bagaimanapun, ada dampak lebih baik disbanding taka da, atau bahkan putus asa, kehilangan rasa dengan tak melakukan apa-apa. Sa’di bilang, saat itu Anda sejatinya bukan lagi manusia.

Toh, di tingkat yang lebih kecil, korporasi, itu bukan tak ada apa-apanya. Satu waralaba goreng ayam tertentu, misalnya, mengungkapkan bahwa aksi boikot terhadap produk-produk yang diduga terafiliasi atau mendukung Israel membuat perseroan mengalami penurunan penjualan dan transaksi bisnis. Namun, manajemen tidak menyebut secara detail berapa besar nilai penurunan penjualan dan transaksi tersebut.

“Untuk mengatasi dampak ini, Perseroan merespons dengan merilis sejumlah produk baru dan promosi yang dirancang untuk menggantikan transaksi yang hilang,” ujar manajemen waralaba tersebut dalam laporan hasil public expose, di Bursa Efek Indonesia (BEI), November lalu, saat aksi boikot belum semasif sekarang. Perusahaan juga menegaskan masih membukukan rugi tahun berjalan sebesar Rp 152,42 miliar, membengkak hampir delapan kali lipat dibandingkan periode September 2022 yang rugi Rp 17,16 miliar.

Para periode yang sama, waralaba burger di Mesir mencatatkan penjualan pada Oktober dan November turun setidaknya 70 persen. “Kami berjuang untuk menutupi pengeluaran kami sendiri selama ini,” kata karyawan tersebut seperti dikutip dari Reuters pada Kamis (23/11).

Pelan-pelan saja. Toh bukan sedang dikejar perut untuk segera masuk peturasan. [  ]

Check Also
Close
Back to top button