Karena tiadanya patriotisme, maka “kita” tak pernah merasa ada yang salah di saat hampir semua kebutuhan sehari-hari, termasuk makanan pokok, datang dari hasil impor. Absennya patriotisme memungkinkan kita tak acuh dan membiarkan serbuan tenaga kerja kasar Cina datang mengisi peluang yang seharusnya diisi buruh lokal guna memberi arti lebih pada efek multiplier ekonomi dalam negeri. Matinya patriotisme pula yang membuat kita suka rela, bahkan seolah suka cita, manakala konon 90 persen tambang nikel Indonesia dikuasai Cina.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Dalam sepekan terakhir, kata-kata “perubahan”, “rakyat” ,”harapan”, menyelingi kata “oligarki”, terlihat begitu semarak di beragam posting media sosial dan situs-situs populis yang diunggah publik. Menariknya, kata-kata tersebut umumnya berada dalam pemberitaan-pemberitaan yang mengulas Anies Baswedan.
Posting-posting medsos dan situs-situs berita non komersial—untuk membedakannya dengan situs-situs berita industri media—tersebut mengiringi sambutan publik yang luar biasa di berbagai tempat yang disambangi Anies. Di Medan, Tasikmalaya dan Ciamis, tempat-tempat terakhir yang mendapatkan kunjungan Anies, calon presiden yang telah dideklarasikan Partai Nasdem itu memang mendapatkan sambutan spektakuler. Tanpa mobilisasi plus iming-iming, tercatat puluhan ribu warga setempat datang menyemut mengeluk-elukannya.
Dari sambutan publik yang istimewa itulah, tampaknya, secara alamiah terma-terma “perubahan”, “harapan rakyat”, “Anies presiden” pun muncul. Selain Anies sendiri pun tampaknya memang secara sadar menggunakan istilah yang penuh daya tarik dan penyemangat kuat tersebut. “Insya Allah, dari Ciamis kita kirim pesan perubahan ke seluruh Indonesia. Semangat warga Ciamis menggambarkan semangat untuk maju, sejahtera dan lebih berkeadilan bagi semuanya,”tulis Anies pada akun Instagram-nya, @aniesbaswedan.
“Alhamdulillah, mencengangkan sekali sambutan untuk kedatangan Anies Baswedan di daerah-daerah. Kehadiran beliau seperti magnit yang sangat luar biasa, disambut dengan sangat meriah. Rakyat antusias untuk bertemu, menyapa, berfoto, bahkan kalaupun sekadar menyaksikan kehadirannya,” kata tokoh agama DKI Jakarta, Habib Yahya bin Yahya, mengomentari fenomena tersebut.
Dalam ajang Kongres Umat Islam yang digelar di Pondok Pesantren Sukaraja, Garut, Jawa Barat, Sabtu (18/11) lalu, nama Anies sebagai tokoh yang diharapkan dapat memimpin Indonesia menuju perubahan juga menguar kuat. Hal itu terjadi manakala peserta Kongres menyoal tema perubahan sebagai keniscayaan yang didamba rakyat. Memang, yang mengemuka bukan hanya nama Anies, karena sedikitnya ada dua nama lagi yang disebut-sebut peserta Kongres. Mereka adalah Habib Rizieq Shihab dan mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Kongres itu sendiri cukup legitimated dengan hadirnya para tokoh nasional dan ulama. Di antara yang hadir tampak Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum; Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo; politisi veteran PPP, Bachtiar Chamsyah; tokoh ulama Gus Aam; Kyai Rochmat Wahab; mantan Sekretaris Kementerian BUMN M Said Didu; pengamat politik Ubaedilah Badrun; KH Deden Abdul Hanif; Abuya KH Muhammad Muhyiddin Abdul Qodir Al Manadi; KH Cecep Abdul Halim; aktivis Syahganda Nainggolan, KH Nonop Hanafi, dan lain-lain.
Suara-suara tersebut beriringan dan seperti saling menguatkan dengan sejumlah hasil jajak pendapat. Misalnya dua hasil survei, masing-masing dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Populi Center yang melaporkan tanggapan masyarakat atas kinerja Anies Baswedan di Jakarta, memberi hasil yang spektakuler. LSI mencatatkan tingkat kepuasan 80,9 persen, sementara Populi Center mencatatkan tingkat kepuasan publik 83,5 persen.
Hilangnya patriotisme
Sejatinya, apa inti perubahan yang diinginkan rakyat sehingga mereka berulang kali meneriakkan tuntutan tersebut, dengan aneka cara di berbagai forum dan kesempatan?
Meski dilontarkan dengan beragam kalimat, pada esensinya rakyat banyak merasa bahwa kehidupan kenegaraan kita sudah kehilangan elan yang sangat vital, yakni patriotisme. Karena alpanya patriotisme dari kehidupan bernegara itulah, maka serangkaian persoalan di berbagai bidang dan segi kehidupan pun timbul.
Karena tiadanya patriotisme, maka “kita” tak pernah merasa ada yang salah manakala hampir semua kebutuhan sehari-hari, termasuk makanan pokok, datang dari hasil impor. Absennya patriotisme memungkinkan kita tak acuh dan membiarkan serbuan tenaga kerja kasar Cina datang mengisi peluang yang seharusnya diisi buruh lokal guna memberi arti lebih pada efek multiplier ekonomi dalam negeri. Matinya patriotisme pula yang membuat kita suka rela, bahkan seolah suka cita, manakala konon 90 persen tambang nikel Indonesia dikuasai Cina. Silakan menambahkan daftar keganjilan yang kian lama terasa semakin ‘normal’ itu.
Penulis cenderung membedakan nasionalisme dengan patriotisme. Saya bersetuju dengan pandangan yang melihat nasionalisme sebagai paham yang menganggap bahwa kesetiaan tertinggi dari setiap pribadi warga harus diserahkan kepada negara. Hans Kohn dalam “Modul Wawasan Kebangsaan dan Nilai-nilai Dasar Bela Negara”, menyatakan bahwa nasionalisme merupakan paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara.
Eksesnya, kadang nasionalisme memunculkan sikap chauvinisme, yang menganggap bangsa sendiri sebagai yang paling unggul. Kasus Nazi Jerman di masa Adolf Hitler bisa memberi contoh gamblang tentang nasionalisme yang keluberan.
Sementara, meski patriotisme merupakan salah satu unsur pembentuk nasionalisme, ia lebih mengandung konotasi etika yang mengartikan Tanah Air sebagai satu nilai moral. Patriotismelah yang membuat orang bersedia mengorbankan harta benda maupun jiwa raga demi menjaga kemajuan dan kemakmuran Tanah Air. Blank dan Schmidt, dalam “National identity in a united Germany: Nationalism or patriotism?…” menyatakan, nasionalisme tidak sama dengan patriotisme. Nasionalisme lebih bernuansa dominasi, superioritas atas kelompok bangsa lain. Tingkat nasionalisme suatu bangsa atau kelompok ditekankan pada adanya perasaan ‘lebih’ atas bangsa lain. Sedangkan patriotisme lebih menekankan rasa ‘cinta’ terhadap bangsa sendiri.
Sikap patriotisme inilah yang dilihat Surya Paloh ada pada Anies, yang dikontemplasikan, dipikirkan ulang dan didiskusikan secara intens di Nasdem, sehingga ujung-ujungnya lahir sebagai sikap untuk mendukung dan menggadang-gadangnya sebagai calon presiden. Dengan patriotisme yang hidup subur dan bertumbuh dalam jiwa Anies, Surya pun percaya bahwa mantan gubernur DKI Jakarta itu adalah sosok yang tak hanya mampu meneruskan pembangunan di Indonesia, melainkan penuh dengan rasa keadilan.
“Inilah mengapa akhirnya Nasdem memilih sosok Anies Baswedan. Kami memikirkan masa depan bangsa ke depan. Insya Allah jika Anies terpilih jadi Presiden, pimpinlah bangsa ini jadi bangsa yang lebih bermartabat, yang mampu membentuk karakter daripada bangsa ini sejatinya,” ujar Surya pada saat deklarasi.
Kelebihan lain Anies, ia seorang yang senantiasa berusaha konsisten. Sikap konsisten itu yang membuat Anies bertahan pada janjinya kepada publik dan tidak mengambil kesempatan bertarung p-ada kontestasi Pilpres 2019, meski kesempatan tersebut terbuka saat itu. Ia mengambil sikap bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Jokowi pada 2014, sekali pun yang bersangkutan juga menjanjikan hal yang sama kepada warga Jakarta.
Tentu ada banyak sifat lain yang baik dari Anies. Tetapi tulisan ini dibuat bukan untuk maksud tersebut. [INILAH.COM]