Solilokui

Di Sunda, Orang Seperti Arteria tak Akan Dipandang Sebelah Mata

Dengan kasadaran itu, manusia Sunda terlatih untuk senantiasa sadar posisi dirinya yang luhur. Sekaligus, dengan itu pula ia menjaga untuk bersikap adil terhadap orang lain. Ia tidak akan reaktif manakala seseorang beraksi negatif. Ia akan melihat siapa orang itu, menimbang kapasitas, integritas dan kecerdasannya. Manakala hasilnya menunjukkan orang yang beraksi negatif tersebut berada pada maqam di bawahnya dalam banyak takaran kemanusiaan, kemungkinan besar ia akan berakhir dengan memaafkan.

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

JERNIH—Tampaknya karena saya ‘urang Sunda’ yang tak menyembunyikan ‘Kasundaan’ saya, seorang teman bertanya mengapa komunitas Sunda terkesan diam, tak banyak merespons pernyataan Arteria Dahlan dalam kasus terbarunya. Jika itu terjadi pada komunitas lain, kata dia, tak akan butuh 12 jam untuk menjadikan pernyataan itu awal sebuah polemik kasar, panas, dan pasti akan banyak menyoal urusan sensitif “SARA”.

Mungkin saya seharusnya tersinggung dengan pernyataan teman saya itu. Ada kesan bahwa ‘urang Sunda’ adalah komunitas ‘cemen’, yang ibarat Pak Dungu hanya akan tersenyum-senyum kosong tanpa daya, manakala dirundung (di-bully) bagaimana pun kasarnya. Namun sekilas kesadaran saya sendiri mendinginkan kepala yang sempat panas itu. Bagi saya, kesan terhadap orang lain datang dari modal awal yang dimiliki seseorang. Seseorang pada maqam kecendikiawanan yang tinggi akan banyak memaafkan persepsi seseorang yang semata didorong kedunguannya. Dan dungu adalah persoalan pribadi. Kita tak bisa memprotes mengapa seseorang begitu dungu, sehingga menyangka taraf intelektual kita setara dengan dirinya.

Tetapi karena intelektualitas pun memiliki kewajiban intrinsilknya sendiri, saya akhirnya bertutur panjang, ngaler-ngidul. Persoalan dia mengerti atau tidak, itu terpulang kepada modal intelektualitasnya sendiri. Biarlah.

Mengapa ‘urang’ Sunda terkesan mendiamkan (pernyataan) Arteria—meski sebenarnya banyak juga respons keras di banyak media–? Sejak bocah, apalagi di masa-masa  sebelum lahirnya para millennial, anak-anak Sunda biasanya selalu dibekali  ema-bapaknya petatah-petitih lama.

Manusia Sunda, menurut para karuhun (leluhur) seharusnya bisa surup kana tangtung, nimbang kana wanda.  Artinya, secara pribadi ia harus menghargai dirinya sendiri. Ia harus menyadari betapa Allah telah memberinya kesempurnaan, tak hanya bentuk, melainkan dengan pemberian akal yang hanya dimiliki Homo sapiens, kita semua, tidak hewan-hewan lainnya.

Pepatah karuhun itu jelas datang dari ajaran Islam. Firman Allah dalam Quran Surat At-Tin ayat 4, berbunyi “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

Namun, Al-Quran pun menegaskan bahwa manusia bisa terjerembab menjadi laiknya binatang yang tak berhati dan minus otak. Malah, dalam Surat Al-A’raf ayat 179 disebutkan potensi manusia untuk menjadi bal hum adhol, alias lebih sesat dan lebih hina daripada hewan.

Dengan kasadaran itu, manusia Sunda terlatih untuk senantiasa sadar posisi dirinya yang luhur. Sekaligus, dengan itu pula ia menjaga untuk bersikap adil terhadap orang lain. Ia tidak akan reaktif manakala seseorang beraksi negatif. Ia akan melihat siapa orang itu, menimbang kapasitas, integritas dan kecerdasannya. Manakala hasilnya menunjukkan orang yang beraksi negatif tersebut berada pada maqam di bawahnya dalam banyak takaran kemanusiaan, kemungkinan besar ia akan berakhir dengan memaafkan.

Keun bae (biar sajalah),” adalah kalimat yang sejatinya bukan merupakan tanda ketidakmampuan untuk membalas, melainkan justru pemaafan karena pemakluman akan harkat kemanusiaan seseorang yang masih berada pada level bawah.   

Manusia Sunda pun diminta masyarakatnya untuk “hade gogog hade tagog”. Kesempurnaan jasmani pemberian Allah itu harus dilengkapi dengan sempurnanya akhlak, terutama—yang paling gampang terbaca di kehidupan keseharian—omongan, pernyataan dalam komunikasi sehari-hari.    

Boleh saja seseorang memiliki tangtungan gagah dan sempurna laiknya manusia normal. Namun manakala “gogog”—arti harfiahnya gonggongan anjing—yang ia miliki sebagai kebiasaan diri tergolong buruk, siap-siaplah untuk menerima sanksi sosial masyarakat Sunda, berupa “teu diwaro” alias diabaikan.

Bila dirunut jauh ke masa silam, ‘urang Sunda’ bahkan diwanti-wanti Prabu Siliwangi untuk senantiasa ajeg dalam menghormati dirinya sendiri. Hal itu, mau tidak mau, dilakukan dengan menghormati sesama, masyarakat yang sehari-hari dihadapi dalam hidup.

Dalam banyak cerita Sunda, Siliwangi adalah ksatria yang “kewes pantes tandang gandang, handap asor pamakena, nyaritana titih rintih, ati-ati tur nastiti. Mun nyaur diukur-ukur, nyabda diunggang-unggang, bubuden teu ieu aing.”  Kira-kira artinya “gagah dan cakap, rendah hati menjadi ciri pribadi, berbicara tenang, hati-hati karena menghormati komunikan, bila berbicara ia akan mengukur orang di hadapan, sopan, jauh dari sikap songong penuh kesombongan.”

Dalam keharusan komunikasi yang ditegaskan Islam, sikap ini sesuai dengan terma “qaulan baligho (perkataan efektif), qaulan karima (perkataan mulia), qaulan sadida (perkataan yang benar), qaulan maisura (perkataan yang mudah dicerna), qaulan layyina (lemah lembut), serta qaulan ma’rufa (santun)”.  

Akan halnya Arteria dalam kasusnya yang terakhir, saya melihatnya sebuah sikap over-kill, berlebihan. Bahasa anak sekarang, lebay. Bagaimana mungkin seseorang yang telah mengalami pendidikan sekian lama tidak cukup maklum untuk menghukumi hal yang impulsive saja, seperti ketlingsut memakai bahasa daerah. Bahkan meski itu dalam sebuah forum resmi.

Dalam bahasa Sunda, persona yang terlampau rigid menghakimi sesuatu yang wajar itu disebut tidak memiliki “watek leunjeuran awi nu leuleus layeus”. Tidak lentur, kaku dan rigid menyikapi masalah, terutama bila hal itu berlaku untuk orang selain dirinya.

Dalam bahasa agama Islam, sikap itu bisa dibilang tidak adil. Tidak adil itu sinonim dengan sikap zalim. Watak seperti itu berbahaya bagi masyarakat, apalagi bila seseorang yang memiliki sifat tersebut memangku jabatan publik.

Lalu apa yang harus dilakukan komunitas Sunda? Sejauh ini menurut saya cukup fair. Para nonoman Sunda—di antaranya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil—meminta Arteria untuk segera minta maaf. Begitu pula beberapa organisasi, antara lain, Gerakan Pilihan Sunda (Gerpis) yang diketuai Andri Perkasa.

Selebihnya, manusia Sunda tampaknya akan berkata,”Keun wae..”. Mereka memaklumi, tak ada gunanya memaksa seseorang bangun dan sadar diri. Itu kewajiban dirinya pribadi yang akan ia pertanggungjawabkan di Pengadilan Ilahi. Sebab, kalau ia Muslim yang baik, ia wajib sadar bahwa menjadi “Insan Kamil” itu tugas kehidupannya di dunia ini. [dsy]

Back to top button