Diwarnai Kisruh Internal dan Kasus ‘Papua-Tukang Bakso’, Mungkinkah PDIP Meraih Hattrick Pada Pemilu 2024?
Soal ‘tukang bakso’ juga memberi kesan kepada publik bahwa PDIP kurang menaruh rasa hormat terhadap konstituennya sendiri. Pasalnya, kantong para ‘tukang bakso’ –Soloraya, Wonogiri—kongruen pula dengan kantong suara PDIP. Pada Pilkada 2020, wilayah para tukang bakso itu–Kota Surakarta, Sragen, Boyolali dan Wonogiri–mencatat kemenangan tertinggi, paling rendah 80,4 persen, paling tinggi di Boyolali, 95,5 persen.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Rasa haus orang kepada kekuasaan tampaknya juga mengikuti teori ekonom terkemuka James Duessenberry tentang kebutuhan manusia akan konsumsi. Jika Duessenberry dalam teori pendapatan relatifnya mengatakan bahwa konsumsi itu irreversible, alias bila sudah naik sukar untuk kembali ke posisi sebelumnya, tampaknya demikian pula dengan kebutuhan orang akan kekuasaan.
Paling tidak, hal itu yang secara tak sengaja dinyatakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Berkali-kali petinggi partai Banteng bermoncong putih itu menegaskan menargetkan kemenangan ketiga kalinya secara berturutan (hattrick), setelah pada Pemilu 2014 dan 2019 mereka menjadi partai pemenang.
Selama tiga bulan terakhir saja, paling tidak sudah tiga kali petinggi PDIP bicara soal hattrick di Pemilu tersebut. Pada saat memberikan pengarahan kepada para kader PDIP di Wonogiri, Jawa Tengah, seiring peletakan batu pertama pendirian gedung kantor dewan pimpinan cabang setempat, 27 April lalu, Puan Maharani mengatakan menyerukan agar seluruh kader PDIP sama-sama berjuang untuk memenangkan pemilu secara hattrick di Pemilu 2024.
“Apakah kita siap membawa PDI Perjuangan memenangkan pemilu hingga hattrick, tiga kali berturut-turut?”tanya Puan, retoris, yang disambut pekik kesiapan para kader.
Pertengahan Juni ini, saat memberikan sambutan pada acara “Bimbingan Teknis Anggota DPRD PDIP” di Hotel Grand Paragon, Selasa (14/6), Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto kembali menegaskan semangat yang sama. “Kita menargetkan akan mencetak hattrick kemenangan di Pilpres 2024, setelah kita menang dua kali,”kata Hasto. Hanya berselang tiga hari, Ketua DPP PDIP, Eriko Sotarduga, menggemakan keyakinan tersebut untuk menguatkan sipongang.
“Kita mau hattrick tiga kali di Pemilu 2024. Merdeka!” teriak Eriko penuh semangat, saat memimpin Senam Indonesia Cinta Tanah Air (Sicita) di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (17/6) lalu. Untuk menegaskan komitmennya, Eriko rela bermandi keringat dengan memimpin tiga putaran senam tersebut.
Tetapi buat mereka yang maju ke arena persaingan, keinginan itu tak hanya wajar, melainkan malah wajib. Alangkah ganjilnya seorang kontestan manakala ia justru tak punya target untuk menang.
Apalagi, meski beberapa lembaga survei menyatakan posisi PDIP cenderung stagnan, mandeknya PDIP itu berada di posisi atas pilihan publik. Pertengahan tahun lalu, Mei 2021, lembaga survey Indikator Politik Indonesia mengatakan PDIP memiliki peluang besar mencetak hattrick kemenangan. Tidak hanya berdasarkan hasil survey, Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan setidaknya ada dua faktor yang membuat potensi itu besar. Pertama, kata dia, PDIP memiliki kader yang juga seorang presiden dengan kinerja yang menurut dia diakui mayoritas masyarakat. Berdasarkan survei Indikator pada April 2021, di tengah situasi pandemi COVID-19, approval rating Jokowi mencapai 71 persen.
Kedua, tak hanya kadernya jadi presiden, PDIP pun menguasai banyak kementerian yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Itu yang menurut Burhanudin memengaruhi langsung pilihan public kepada PDIP.
Mei lalu, optimisme itu diperkuat hasil survey Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Menurut hasil survey yang digelar 10-17 Mei lalu itu, jika Pemilu digelar saat itu PDIP bakal mendapatkan 23,7 persen suara; disusul Gerindra 9,2 persen, Golkar 8,3 persen dan PKB 6,2 persen. Survei SMRC memprediksi PKS hanya mendapat suara 2,5 persen, sementara Nasdem lebih ambrol lagi, dua persen. Pendiri SMRC, Saiful Mujani, juga mengungkapkan bahwa dibandingkan hasil Pemilu 2019, dukungan kepada PDIP naik dari 19,3 persen menjadi 23,7 persen, di tengah turunnya suara partai-partai lain.
Dada petinggi dan kader PDIP layak membuncah manakala 21 Juni lalu survei Litbang Kompas mengeluarkan hasil survey yang kurang lebih sama: PDIP masih tetap parpol dengan elektabilitas teratas. Angka perolehan survey Litbang Kompas saat itu mencatatkan bahwa PDIP masih meraih elektabilitas tertinggi di angka 22,8 persen suara responden. Suara parpol kedua, Gerindra, bahkan hamper setengahnya, 12,5 persen suara responden; disusul Partai Golkar yang meraih elektabilitas 10,3 persen, naik dari sebelumnya 8,6 persen.
Persoalannya, angka-angka yang bikin dada buncah dan lubang hidung kembung itu terjadi sebelum sengkarut opini public seiring pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri saat Rakernas PDIP pekan lalu. Saat itu, gurauan Megawati soal ucapan kopi susu yang diduga merujuk pada warna kulit orang Papua sebagai hasil kawin campur, serta komentarnya tentang menantu tukang bakso, banyak menuai kecaman publik di dunia maya.
Hal yang membuat dua sisi ini signifikan tak lain karena dua factor itu justru berhubungan erat dengan kantong suara PDIP. Papua—dan Papua Barat setelah pemekaran, adalah kantong suara PDIP yang potensial.
Pada Pemilu 2014, PDIP meraih 491.591 dari 2.949. 189 suara sah di sana. Angka itu hanya di bawah Partai penguasa saat itu, Demokrat, yang meraih 700.150 suara.
Meski menjadi partai pemerintah, seiring berbagai persoalan yang muncul di Papua, pada Pemilu 2019 suara PDIP di Papua justru melorot ke urutan keempat. Nasdem unggul di tempat pertama dengan perolehan 787.753 suara, menyusul setelahnya PAN (443.393), PKB (399.011), baru PDIP dengan 368.618 suara pemilih.
Papua Barat, yang berpenduduk dengan etnis sama dengan Papua, juga merupakan kantong suara PDIP. Partai itu memperoleh suara tertinggi di provinsi tersebut.
Soal ‘tukang bakso’ juga memberi kesan kepada publik bahwa PDIP kurang menaruh rasa hormat terhadap konstituennya sendiri. Pasalnya, kantong para ‘tukang bakso’ –Soloraya, Wonogiri—kongruen pula dengan kantong suara PDIP.
Catatan terakhir dari Pilkada 2020, PDIP sangat dominan di wilayah para tukang bakso tersebut. PDIP bahkan tercatat menang secara mutlak, lebih dari 80 persen, di empat daerah, yakni Kota Surakarta, Sragen, Boyolali, dan Wonogiri.
Saat itu, di Surakarta atau Solo, anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, meraup suara sebanyak 86,5 persen; calon petahana PDIP di Sragen menang 80,4 persen, calon PDIP di Wonogiri memperoleh suara fantastis, hingga 83,2 persen. Sementara perolehan suara paling fantastis diperoleh partai banteng di kabupaten Boyolali, 95,5 persen. PDIP hanya mencatat kemenangan di bawah 60 persen di Sukoharjo dan Klaten.
Yang harus dicatat PDIP, di dunia maya, baik warga keturunan Papua maupun tukang bakso, sama-sama memperlihatkan ketidaksenangan atas sengkarut yang terpicu pernyataan Megawati tersebut.
Faktor Jokowi
Jangan lupa pula adanya faktor Jokowi yang terkait erat dengan elektabilitas PDIP. Tidak hanya Burhanuddin Muhtadi yang percaya akan hal tersebut, tapi setidaknya juga komunikolog Emrus Sihombing.
Namun berbeda dengan Burhanuddin yang hasil survey terakhir Indikator-nya mencatatkan perkembangan yang cenderung pesimistis, Emrus sebaliknya, sangat optimistis.
Akhir April lalu, Indikator Politik Indonesia merilis survei elektabilitas partai politik, yang menemukan elektabilitas PDIP melorot pada angka terendah dalam dua tahun terakhir, 23,7 persen. Menurut Burhanuddin, penurunan elektabilitas PDIP itu disebabkan menurunnya pula kepuasan public terhadap Presiden Jokowi. “Kami menemukan pola, ketika approval Presiden Jokowi turun, yang paling terdampak biasanya adalah PDIP,” kata Burhanuddin. Meski pada April itu PDIP masih unggul, angka 23,7 persen itu turun dibanding sebelumnya, 26,8 persen.”
Kecenderungan yang sama diperoleh survei New Indonesia Research & Consulting. Elektabilitas PDIP yang dicatat NIRC 31,4 persen pada survei Oktober 2020, pada Februari 2021 merosot hingga 23,1 persen.
Meski saat itu pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, menyatakan perlunya survei pembanding untuk membuktikan kebenran hasil survey, direktur eksekutif Indonesia Political Review (IPR) itu menilai kemerosotan itu bisa disebabkan, antara lain, kasus dugaan suap pengadaan Bansos COVID-19 yang menjerat eks Menteri Sosial, Juliari Batubara, yang tengah heboh, serta masih buronnya tersangka kasus suap kepada eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Harun Masiku.
Dihubungi kembali saat ini, Ujang mengatakan peluang untuk hattrick itu sukup besar, mengingat PDIP pun partai besar dan kuat. Namun ia juag sangat yakin, bila urusan korupsi dan buronnya Harun Masiku dibiarkan, hal itu akan angat berdampak pada penurunan elektabilitas PDIP.
Emrus Sihombing, di sisi lain, sepenuhnya memiliki pandangan berbeda dalam melihat factor-faktor tersebut. Dalam factor ‘Jokowi’, misalnya, alih-alih melihat Presiden tengah berada dalam masalah, justru melihatnya sebagai eksekutif yang sukses menjalankan tugas dengan amanah. “Kinerja pembangunan Presiden Jokowi itu bagus, mencapai setidaknya 90-95 persen,” kata Emrus. Belum lagi efektivitasnya menyatukan suara partai-partai politik, sehingga parpol yang berada di luar ikatan kerja sama politik dengan pemerintah relative hanya PKS dan Partai Demokrat.
Percaya bahwa factor Jokowi erat dengan persepsi public terhadap elektabilitas PDIP, pengajar di Universitas Pelita Harapan itu yakin, hattrick PDIP akan terwujud.
Akan halnya pernyataan Megawati, Emrus melihat banyak pihak melihat pernyataam tersebut layaknya kacamata kuda. Sementara, kata dia, semua pernyataan tokoh politik harus dimaknai secara konotatif dan sesuai semiotika. “Jangan hanya yang tersurat, karena sebagai tokoh nasional yang menjunjung keberagaman, Ibu Mega tak mungkin melakukan penghinaan terhadap rakyatnya sendiri,” kata dia. “Ayahnya, Bung Karno, itu tokoh yang memperjuangkan penyatuan dari Sabang sampai Merauke. Tak mungkin Ibu Mega merendahkan prestasi ayahnya yang menyatukan bangsa.” Emrus yakin, hanya mereka yang punya apa yang disebutnya ‘agenda politik tertentu’ yang melakukan interpretasi buruk terhadap pernyataan Megawati di Rakernas PDIP pekan lalu itu.
Demikian pula dengan urusan Harun Masiku. Selain mempertanyakan bahwa kader partai lain pun relative melakukan hal yang sama, Emrus juga meminta semua pihak jernih melihat persoalan. Alih-alih percaya bahwa Harun dilindungi kekuasaan, ia lebih melihat bahwa memang Harun belum tertangkap saja.
“Apakah tidak ada kader partai lain yang korupsi? Semua partai ada kadernya yang korupsi,” kata dia. Dengan begitu, Emrus menyimpulkan, perilaku koruptif itu relative tak akan memengaruhi pilihan public, karena semua partai pun melakukan hal itu.
Soal buronnya Harun hingga hari ini, Emrus meminta public, terutama pihak-pihak yang selalu mendesak KPK, untuk membantu lembaga anti-rasuah tersebut. “KPK sudah bilang, “Kasih kami data yang valid.” Jangan menuding tanpa fakta. Tudingan ada yang melindungi itu tuduhan tanpa data,” kata dia.
Emrus bahkan berjanji untuk mengantar siapa pun yang memiliki data valid soal keberadaan Harun Masiku ke KPK. “Kalau ada data valid, lengkap datanya, foto (yang menunjukkan keberadaannya), saya antar ke KPK untuk lapor,” kata Emrus.
Meski bisa jadi batin public teriris, terutama soal marak dan kian dianggap wajarnya korupsi di Indonesia—kejahatan yang di belahan dunia lain dianggap extraordinary–, pernyataan Emrus bukan tanpa hujjah dan data. Bukankah tatkala Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut Partai Golkar dan PDIP sebagai partai dengan kader terbanyak melakukan korupsi selama 2014-2019 pun, relative tak ada pengaruhnya buat public? [dsy]