
Pak Indria memperhatikan dari kejauhan. Ia mendekat dan berkata pelan, “Itu buku bagus.” Saya tersenyum dan menaruh buku itu kembali ke tumpukan. Entah beliau tahu isi kepala saya, atau sekadar membaca dari tatapan mata mahasiswa yang kehabisan uang saku. Beliau mengambil buku itu, membayar kepada penjaga stan, lalu menyerahkannya kepada saya.
Oleh : Geisz Chalifah
JERNIH– Saya menuruni Metro Mini yang sejak dari saya naik berjalan seperti kura-kura—pelan, tersendat, berhenti lama di setiap halte. Penumpangnya hanya segelintir. Ada semboyan di kalangan sopir angkutan umum: “Anda butuh waktu, kami butuh uang.”
Saya melompat turun dan berlari menembus halaman kampus, menaiki tiga lantai agar tak tertinggal mata kuliah. Begitu tiba, Pak Indria Samego baru saja memulai kuliah Ideologi-Ideologi Dunia.
Saya membuka buku catatan, lalu menyimak dengan saksama. Dua jam berlalu tanpa terasa.Ssetelah kelas usai, Pak Indria—dosen yang rendah hati dan jauh dari sikap feodal, menyapa kami dengan ramah, menanyakan kegiatan di luar kampus.
Saya menyampaikan bahwa minggu depan tidak bisa hadir, karena harus memberi materi di LDK HMI. Beliau tersenyum dan berkata,“Asal kamu tetap lulus ujian, tidak apa-apa.”
Saya lalu meminta izin meminjam makalah-makalah seminar HIIPIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) yang pernah beliau ikuti, untuk saya fotokopi.
Soalnya selalu berbentuk esai. Pertanyaan hanya dua atau tiga kalimat, tapi jawabannya bisa berlembar-lembar. Kuncinya: menggabungkan teori, menjawab dengan analisis, dan menutup dengan berbagai referensi dari beliau sendiri.
Saya tak pernah kesulitan menjawab soal-soal dari Pak Indria. Yang sulit justru saat ada pasar buku murah di kampus. Saya berdiri lama di depan tumpukan buku, menatap satu buku tebal yang harganya tak terjangkau uang jajan saya.
Pak Indria memperhatikan dari kejauhan. Ia mendekat dan berkata pelan, “Itu buku bagus.”
Saya tersenyum dan menaruh buku itu kembali ke tumpukan. Entah beliau tahu isi kepala saya, atau sekadar membaca dari tatapan mata mahasiswa yang kehabisan uang saku. Beliau mengambil buku itu, membayar kepada penjaga stan, lalu menyerahkannya kepada saya.
Saya tertegun. Mengucapkan terima kasih seadanya. Buku itu masih saya simpan sampai hari ini. Dan setiap kali saya membaca namanya di media. Ada rasa yang belum selesai saya bayar. Bukan dalam bentuk uang, melainkan dalam bentuk menjadi manusia yang tak lupa kebaikan. [ ]
