Solilokui

Duka Cita Buat Dua Pohon Kiara

Hanya karena iba melihat Si Pengepul sudah membawa kuli dan truk, saya persilakan saja. Itu pun setelah saya marahi Ketua RW dan Ketua RT habis-habisan. Sebagaimana watak pejabat, apalagi kelas RW dan RT, ya cuma mengelak. Memberi alasan itu-ini, ini-itu. Termasuk memcari kambing hitam untuk membenarkan tindakannya.  

Oleh  : Usep Romli H.M.

Kampung tempat tinggal saya, tak penting-penting amat. Kiaralawang, Desa Majasari, Kecamatan Cibiuk, hanya setitik noktah di muka bumi. Hanya karena di sekelilingnya masih pesawahan dialiri air irigasi, sinyal internet selalu bagus, saya betah di sana.

Mobil dapat masuk, walaupun jalannya tidak lebar. Hanya pas untuk satu kendaraan roda empat.Jika kebetulan mau berpapasan salah satu harus mengalah mundur dulu ke tempat yang agak luas.

Jika tidak tercatat oleh Tim Foklore Tahun Buku Internasional 1972 Indonesia, yang diselelenggarakan UNESCO, 48 tahun lalu, Kiaralawang tentu bernasib seperti kampung-kampung lain. Waktu itu, narasumber folklore, Mama Ajengan Sarbini Allohuyarham (wafat tahun 1974), mengisahkan, Kampung Kiaralawang merupakan tempat tinggal Sembah Dalem Anggadiparana. Seorang “waliyulloh” pengukuh ajaran Islam di kawasan utara Garut pada akhir abad 18. Memperkuat dasar-dasar Islam yang telah diletakkan oleh para “wali” sebelumnya, seperti Sunan Cipancar (Limbangan), Syekh Jafar Siddik (Cibiuk), dan lain-lain.

“Salah satu jasa Sembah Dalem Anggadiparana adalah merintis saluran irigasi Kepuh, mulai dari bendungan Cibedug di Cipancar, hingga dekat Masjid Agung Limbangan, kurang lebih delapan km. Saluran irigasi tersebut semula mengikuti jejak kerbau “bule” (putih kemerahan), yang mengeluarkan rembesan air. Kemudian jejak tersebut dicangkuli oleh warga atas ajakan Sembah Dalem, “kata Mama Sarbini yang merupakan salah satu keturunan Sembah Dalem.

Setelah irigasi terwujud, air dari bendungan Cibedug, Cipancar, dialirkan ke Kepuh yang masih daratan penuh belukar. Lahan seluas 300 hektare itu lambat laun berubah menjadi sawah subur. Kini sebagian sudah menjadi lahan berbagai bangunan: restoran, toko, perumahan, dan sebagainya. Bahkan konon akan ada pabrik. Terutama yang terletak di pinggir jalan raya Bandung-Malangbong-Tasikmalaya.   

Menurut Mama Ajengan Sarbini, nama Kiaralawang berasal dari dua pohon kiara yang ditanam Sembah Dalem di jalan pintu masuk kampung. Sehingga menyerupai “lawang” (gerbang). Selain untuk ciri kampung, dua pohon kiara itu dimaksudkan untuk resapan air. Hingga sekarang, mata air dari tebing-tebing padas di jalan menuju makam Sembah Wali, masih mengalir cukup besar, walaupun dua pohon kiara sudah roboh ditelan masa.    

Untuk mengenang jasa-jasa Sembah Dalem, sekaligus “ngalap berkah”, pada 1998,  bertepatan dengan kelahiran Si Bungsu, saya menanam dua pohon Kiara (Ficus benjamina L) di kiri-kanan jembatan halaman rumah. Dengan harapan menjadi “lawang” seperti yang ditanam Sembah Dalem 200 tahunan lampau.

Apalah nama Kiaralawang. Walaupun dari kampung tersebut muncul nama-nama terkenal, seperti Mayjen Gunawan Koswara, yang pernah menjabat Aster KSAD tahun 1995-an. Atau Irna Mutiara, pengusaha baju Muslimah yang sekarang sedang naik daun. Dan yang pernah mandi di selokan irigasi Kepuh, hampir semua anak-anak Desa Majasari yang selesai “sedekan” (main bola menggunakan buah jeruk). Pasti berenang, menyelam mendinginkan badan penuh daki dan keringat. Salah seorang  di antaranya Rukma Sujana (1937-2018), yang pernah lama menjadi pemain Persib dan PSSI tahun 1960-an.

Masalahnya, tiba-tiba hari Kamis 25 Juni kemarin, datang pengepul kayu. Mohon izin membongkar kedua pohon kiara di depan rumah. Katanya, sudah membeli kedua pohon itu kepada pengurus RW setempat seharga Rp 500 ribu. Tentu saja saya terkejut. Walaupun ditanam di atas tanah irigasi, pohon kiara itu milik saya. Enak saja diaku-aku pengurus RW yang konon akan mendapat proyek pelebaran jalan kampung.

Hanya karena iba melihat Si Pengepul sudah membawa kuli dan truk, saya persilakan saja. Itu pun setelah saya marahi Ketua RW dan Ketua RT habis-habisan. Sebagaimana watak pejabat, apalagi kelas RW dan RT, ya cuma mengelak. Memberi alasan itu-ini, ini-itu. Termasuk memcari kambing hitam untuk membenarkan tindakannya.  

Nah, masalah itu pun tidak penting-penting amat. Namun nasib dua pohon kiara usia 22 tahun itulah yang amat penting. Minimal bagi saya pribadi sebagai penanamnya, yang terus berurai air mata, bahkan pada saat menuliskan hal ini.

Pohon pelindung-penyerap air, berusia 22 tahun, hanya dua-tiga jam runtuh oleh gergaji mesin penjelmaan hawa nafsu manusia-manusia jahat terlaknat. Miniatur kecil dari perusakan lingkungan yang terjadi di mana-mana di seluruh persada Nusantara. [  ]                    

Back to top button