Contoh menarik adalah Tiongkok, yang dalam beberapa dekade terakhir berhasil memadukan nilai kerja sama dan persaingan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Di dalam negeri, pemerintah Tiongkok mendorong kerja sama melalui kebijakan ekonomi yang mengedepankan peran negara dan perusahaan milik negara dalam membangun infrastruktur dan mengamankan kebutuhan dasar masyarakat. Namun, di saat yang sama, Tiongkok juga membuka ruang bagi persaingan di sektor-sektor tertentu, seperti teknologi dan manufaktur, di mana inovasi sangat penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
Oleh : Radhar Tri Baskoro*
JERNIH– Sistem Ekonomi Kerakyatan (SEK) adalah sebuah pendekatan ekonomi yang menjadikan koperasi sebagai nilai dasar dan pondasi utama. Sistem ini berbeda dengan Sistem Ekonomi Pasar (SEP) yang mendahulukan persaingan sebagai nilai dasar dan percaya bahwa kompetisi adalah mekanisme terbaik untuk mencapai efisiensi dan inovasi. Kedua sistem ini memiliki akar filosofis yang sangat berbeda dan membawa implikasi yang besar dalam bagaimana masyarakat dan ekonomi disusun serta dikembangkan.
Akar filosofis SEK dan SEP
SEK didasarkan pada filosofi kerja sama dan solidaritas sosial. Prinsip ini berpijak pada keyakinan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain, dan kekuatan kolektif mampu menciptakan kesejahteraan yang lebih besar daripada kekuatan individu yang terpisah-pisah.
SEK melihat koperasi sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan bersama, bukan hanya mengejar keuntungan untuk individu semata. Pandangan ini berakar pada konsep ‘gotong-royong’ dan nilai komunitas yang telah lama menjadi bagian dari budaya di berbagai masyarakat tradisional di dunia, termasuk di Indonesia (Putnam, 1993).
Sebaliknya, SEP didasarkan pada filosofi liberalisme ekonomi yang meyakini bahwa setiap individu harus memiliki kebebasan untuk bersaing dan mengejar keuntungan. Kompetisi dianggap sebagai pendorong utama bagi kemajuan, inovasi, dan efisiensi. SEP berakar pada pemikiran Adam Smith (1776), yang percaya bahwa pasar bebas dan tangan tak terlihat (invisible hand) akan mengarahkan individu untuk bekerja demi kepentingan mereka sendiri, tetapi pada akhirnya membawa manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. SEP menekankan pentingnya insentif pribadi untuk memacu kreativitas dan inovasi, dengan asumsi bahwa kompetisi akan selalu mendorong yang terbaik keluar dari setiap individu.
Mengapa SEP lebih dominan daripada SEK?
SEP saat ini lebih dominan di banyak negara karena beberapa alasan. Pertama, SEP didukung oleh kekuatan globalisasi dan kapitalisme yang telah mengakar kuat sejak Revolusi Industri. SEP dianggap lebih mampu memberikan pertumbuhan ekonomi yang cepat melalui mekanisme pasar bebas yang efisien dan kompetitif. Pandangan ini diperkuat oleh lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF yang sering mendorong penerapan kebijakan ekonomi pasar bebas, terutama di negara-negara berkembang (Stiglitz, 2002).
Kedua, kompetisi sering dianggap sebagai bagian dari naluri dasar manusia yang lebih kuat dibandingkan kerja sama. Pandangan ini didukung oleh berbagai teori evolusi yang melihat kompetisi sebagai mekanisme untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Dalam konteks ekonomi, individu maupun perusahaan dianggap harus bersaing untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas (survival of the fittest). Hal ini menciptakan persepsi bahwa sistem ekonomi berbasis persaingan lebih sesuai dengan ‘fitrah’ manusia (Dawkins, 1976).
Namun, jika dilihat lebih dekat, dalam banyak aspek kehidupan sosial, kerja sama sebenarnya merupakan nilai fundamental yang memungkinkan masyarakat berkembang. Tanpa kerja sama, manusia tidak akan mampu bertahan dan berkembang menjadi masyarakat yang kompleks seperti sekarang ini. Kerja sama memungkinkan terciptanya institusi-institusi sosial seperti keluarga, komunitas, dan negara, yang semuanya memberikan dukungan dan struktur bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, pandangan bahwa kompetisi lebih mendasar daripada kerja sama tidak sepenuhnya benar, terutama jika dilihat dari perspektif keberlanjutan sosial.
Kerja sama vs kompetisi
Dalam konteks interaksi antarindividu di dalam komunitas, kerja sama jelas memperkuat komunitas tersebut. Nilai kerja sama memungkinkan terbentuknya solidaritas, rasa saling memiliki, dan kepercayaan antarindividu, yang semuanya sangat penting untuk kelangsungan komunitas. Misalnya, koperasi yang berbasis pada kerja sama telah terbukti mampu memperkuat ekonomi lokal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama di kalangan masyarakat kecil dan pedesaan (Schneider, 2010).
Di sisi lain, ketika berbicara tentang interaksi antara komunitas yang berbeda, kompetisi cenderung menjadi nilai yang lebih menonjol. Kompetisi antar-komunitas ini bisa berkaitan dengan sumber daya, pengaruh, atau penguasaan wilayah ekonomi. Misalnya, negara-negara bersaing untuk menarik investasi asing, atau perusahaan-perusahaan besar bersaing untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih luas. Kompetisi ini kadang diperlukan untuk memicu inovasi dan kemajuan, namun juga dapat menimbulkan ketegangan dan konflik jika tidak diatur dengan baik.
Contoh menarik adalah Tiongkok, yang dalam beberapa dekade terakhir berhasil memadukan nilai kerja sama dan persaingan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Di dalam negeri, pemerintah Tiongkok mendorong kerja sama melalui kebijakan ekonomi yang mengedepankan peran negara dan perusahaan milik negara dalam membangun infrastruktur dan mengamankan kebutuhan dasar masyarakat. Namun, di saat yang sama, Tiongkok juga membuka ruang bagi persaingan di sektor-sektor tertentu, seperti teknologi dan manufaktur, di mana inovasi sangat penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Huang (2008) mengatakan bahwa dengan cara ini, Tiongkok mampu menciptakan keseimbangan antara kerja sama yang menciptakan stabilitas dan kompetisi yang memacu inovasi.
Kompleksitas hubungan kerja sama dan kompetisi
Pandangan bahwa kerja sama memperkuat komunitas, sedangkan kompetisi menonjol dalam interaksi antar-komunitas, merupakan gambaran yang cukup akurat tentang dinamika sosial manusia. Kerja sama memungkinkan suatu kelompok atau komunitas mencapai stabilitas dan keberlanjutan. Namun, ketika kelompok-kelompok tersebut berinteraksi dengan kelompok lain, muncul kebutuhan untuk menunjukkan kekuatan dan mempertahankan posisi, yang memicu kompetisi.
Dalam konteks ekonomi, koperasi dan institusi berbasis kerja sama lainnya memungkinkan anggotanya memperoleh akses yang lebih adil terhadap sumber daya dan mendukung satu sama lain dalam mencapai kesejahteraan. Tetapi dalam interaksi ekonomi global, persaingan untuk mendapatkan akses pasar, teknologi, dan sumber daya alam sering kali lebih menonjol. Ini menunjukkan bahwa, menurut Axelrod (1984), baik kerja sama maupun kompetisi memiliki peran masing-masing yang sangat penting, tergantung pada skala dan konteks interaksinya.
Kesimpulan
Koperasi dan kompetisi adalah nilai-nilai dasar kehidupan manusia yang saling melengkapi, bukan saling mengeliminasi. Kerja sama memungkinkan pembangunan komunitas yang kuat dan berkelanjutan, sementara kompetisi dapat mendorong inovasi dan efisiensi yang diperlukan untuk kemajuan ekonomi. Tantangan bagi negara dan pembuat kebijakan adalah menemukan keseimbangan yang tepat antara keduanya, sehingga ekonomi dapat berkembang dengan inklusif dan berkelanjutan.
Mungkin benar bahwa dalam interaksi di antara individu dalam komunitas, koperasi atau kerja sama akan memperkuat komunitas tersebut. Namun, dalam interaksi antara komunitas atau negara, kompetisi menjadi faktor pendorong utama untuk mencapai posisi yang lebih baik. Oleh karena itu, memahami kapan dan di mana kerja sama lebih efektif dibandingkan kompetisi, dan sebaliknya, adalah kunci untuk membangun sistem ekonomi yang lebih adil dan seimbang bagi semua. []
*Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
Referensi :
Axelrod, R. (1984). The Evolution of Cooperation. Basic Books.
Dawkins, R. (1976). The Selfish Gene. Oxford University Press.
Huang, Y. (2008). Capitalism with Chinese Characteristics: Entrepreneurship and the State. Cambridge University Press.
Putnam, R. D. (1993). Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton University Press.
Schneider, F. (2010). The Economics of the Hidden Economy. Edward Elgar Publishing.
Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and Its Discontents. W.W. Norton & Company.