Solilokui

Koperasi, UMKM, dan Ekonomi Rakyat: Penjaga Api Ekonomi Pancasila di Era Global

Ketika ekonomi dunia bergoyang oleh resesi dan ketimpangan, Indonesia menemukan daya tahannya justru pada sektor yang kerap diremehkan: ekonomi rakyat. Lebih dari 65 juta UMKM kini menjadi benteng kehidupan ekonomi, menyumbang 61 persen PDB dan menyerap 97 persen tenaga kerja nasional.

JERNIH –  Pada arus sejarah ekonomi dunia, bangsa-bangsa sering kali terbelah dalam dua kutub ekstrem. Di satu sisi berdiri jalan pertama, yakni sistem kapitalisme pasar bebas yang mengagungkan kebebasan individu, kompetisi, dan efisiensi. Sistem ini menumbuhkan kemajuan pesat di banyak negara industri, tetapi juga melahirkan ketimpangan sosial yang tajam, di mana segelintir orang menguasai sebagian besar sumber daya ekonomi.

Di sisi lain ada jalan kedua, yaitu sosialisme negara, yang menempatkan kendali ekonomi sepenuhnya di tangan pemerintah dengan dalih pemerataan. Meski menjanjikan keadilan, sistem ini kerap mengorbankan kebebasan berusaha, menciptakan birokrasi yang kaku, dan melemahkan inisiatif individu.

Asas Kekeluargaan

Indonesia, sejak awal berdirinya, memilih untuk tidak terjebak dalam dua ekstrem itu. Para pendiri bangsa menyadari bahwa negeri yang lahir dari semangat gotong royong dan keberagaman tidak bisa dibangun dengan logika pasar yang dingin atau dengan kendali negara yang absolut.

Karena itu, mereka menulis dalam Pasal 33 UUD 1945 bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.” Dari sinilah lahir jalan ketiga — sebuah sistem ekonomi khas Indonesia yang berakar pada kemandirian rakyat, partisipasi bersama, dan keadilan sosial.

Jalan ketiga ini menjelma dalam wajah koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta seluruh ekonomi rakyat yang tumbuh dari bawah. Mereka bukan sekadar pelengkap kebijakan ekonomi, tetapi justru menjadi fondasi yang menopang daya hidup bangsa.

Di pasar tradisional, di bengkel kecil, di warung kopi desa, di usaha tani dan nelayan, di koperasi susu, hingga di platform digital yang dikelola wirausaha muda — di situlah denyut nadi ekonomi Indonesia berdegup.

Data terbaru menunjukkan besarnya peran ekonomi rakyat dalam menjaga keberlanjutan bangsa. Hingga tahun 2024, Indonesia memiliki lebih dari 65 juta unit UMKM yang tersebar di seluruh provinsi. Angka ini diproyeksikan meningkat menjadi 65,5 juta unit pada 2025, menurut OJK Institute. Sektor UMKM berkontribusi sekitar 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional — setara dengan Rp 9.500 triliun — dan menyerap lebih dari 119 juta tenaga kerja, atau sekitar 97 persen dari total pekerja di sektor usaha.

Transformasi digital juga melesat pesat. Hingga pertengahan 2024, 25,5 juta UMKM telah bergabung ke dalam ekosistem digital, menandai pergeseran besar ke arah ekonomi modern berbasis teknologi. Sementara itu, jumlah UMKM yang telah tercatat secara formal di basis data nasional mencapai 30,18 juta unit, menandakan semakin kuatnya formalitas sektor rakyat dalam sistem ekonomi nasional.

Koperasi, sebagai wujud paling nyata dari asas kekeluargaan, juga menunjukkan pertumbuhan menggembirakan. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM (sekarang Kementerian Koperasi), pada tahun 2024 kontribusi koperasi terhadap PDB mencapai sekitar Rp 1.373 triliun, atau 6,2 persen dari total PDB nasional, meningkat dari 5,7 persen satu dekade sebelumnya. Indonesia kini memiliki lebih dari 131 ribu koperasi aktif dengan keanggotaan mendekati 30 juta orang — artinya satu dari sepuluh warga Indonesia adalah anggota koperasi.

BACA JUGA: Kajian Great Institute tentang Ekonomi Kerakyatan Pasca Pandemi Covid-19

Kekuatan Sosial

Angka-angka tersebut bukan hanya statistik ekonomi; mereka adalah cermin dari kekuatan sosial yang mengakar di masyarakat. Sektor rakyat telah menjadi pilar ketahanan ekonomi nasional, yang terus berputar bahkan ketika krisis mengguncang.

Ketika badai moneter 1998 menghantam dan korporasi besar tumbang, UMKM tetap bertahan. Ketika pandemi COVID-19 melumpuhkan rantai pasok global, usaha mikro dan koperasi lokal justru menjaga denyut ekonomi di desa-desa.

Mereka adalah penyangga sosial-ekonomi yang memastikan konsumsi domestik tidak runtuh dan lapangan kerja tetap terbuka. Dalam konteks inilah pemerintah memperkuat peran mereka lewat program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), pendanaan ultra mikro, hingga insentif digitalisasi usaha.

Kekuatan ekonomi rakyat sesungguhnya terletak pada kelenturan dan solidaritas sosialnya. Tidak seperti kapitalisme yang berpusat pada akumulasi, atau sosialisme yang berpusat pada kontrol negara, ekonomi rakyat berpusat pada kebersamaan. Ia tumbuh dari interaksi sosial yang saling menopang — semangat yang sudah menjadi DNA bangsa Indonesia.

Secara filosofis, “jalan ketiga” ini tak bisa dinggap sebagai pilihan taktis, tetapi pilihan moral dan ideologis. Ia menolak paham ekonomi yang menempatkan manusia sebagai alat produksi semata, dan menegaskan bahwa tujuan akhir ekonomi adalah kesejahteraan bersama. Pemikir seperti Prof. Mubyarto dan Sri Edi Swasono telah lama menyuarakan konsep ini: ekonomi Pancasila yang berpihak pada rakyat, menggabungkan efisiensi pasar dengan keadilan sosial.

Peran GREAT Institute

Dalam konteks hari ini, lembaga pemikir seperti GREAT Institute menjadikan tema koperasi, UMKM, dan ekonomi rakyat sebagai bahan dialektika yang sangat relevan. GREAT Institute yang di dalamnya merupakan para pemikir dan praktisi melihat bahwa pembangunan Indonesia tidak bisa lagi sekadar diukur dengan pertumbuhan PDB, tetapi dengan seberapa luas rakyat berpartisipasi dan seberapa adil hasil pembangunan didistribusikan.

Kajian semacam ini tidak hanya penting bagi pembuat kebijakan, tetapi juga menjadi dasar bagi arah baru pembangunan nasional: bagaimana menciptakan ekonomi yang berdaulat, inklusif, dan tangguh menghadapi perubahan global.

Bayangkan sebuah desa di Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur, di mana koperasi susu menjadi pusat ekonomi lokal. Para peternak bergabung mengelola produksi dan pengolahan bersama, sementara kelompok ibu-ibu mengolah hasilnya menjadi yoghurt dan keju.

Lantas UMKM setempat mengelola limbah organik menjadi pupuk, dan generasi muda membantu pemasaran melalui platform digital. Dalam ekosistem ini, nilai tambah tidak lagi lari ke luar daerah; ia berputar di dalam komunitas. Petani sejahtera, desa hidup, dan ekonomi tumbuh dari bawah — inilah wajah konkret ekonomi Pancasila di abad ke-21.

Kekuatan jalan ketiga juga sejalan dengan amanat konstitusi. Pasal 33 dan 34 UUD 1945 tak cukup dimaknai sebagai pedoman hukum, tetapi juga fondasi moral pembangunan. Koperasi dan UMKM adalah perwujudan langsung dari demokrasi ekonomi, di mana rakyat menjadi subjek, bukan objek pembangunan.

Mereka menghidupkan cita-cita keadilan sosial, menumbuhkan kemandirian daerah, dan memastikan pembangunan berjalan bukan hanya di kota, tetapi juga di desa-desa.

Pemerataan ekonomi bukanlah akibat “trickle down” dari korporasi besar, melainkan hasil nyata dari pemberdayaan rakyat di tingkat lokal. Ketika ekonomi rakyat kuat, maka negara pun berdaulat.

Tata Kelola Transparan

Tantangan ke depan tentu tidak ringan. Globalisasi digital, tekanan pasar modal, dan integrasi ekonomi dunia menuntut koperasi dan UMKM bertransformasi tanpa kehilangan jati dirinya.

Koperasi mesti dikelola profesional dengan tata kelola yang transparan. UMKM perlu naik kelas dengan inovasi, teknologi, dan akses ke pasar global. Di sinilah peran riset dan kebijakan menjadi krusial: agar ekonomi rakyat tidak hanya bertahan, tetapi menjadi motor utama pembangunan nasional.

Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Mubyarto, “Ekonomi Indonesia harus berpihak pada rakyat, karena hanya rakyatlah yang mampu menjaga keberlanjutan bangsa.”

Dan itulah hakikat jalan ketiga ekonomi Indonesia: bukan melulu tentang uang, angka, atau pertumbuhan, tetapi tentang martabat, solidaritas, dan kedaulatan. Di tengah dunia yang semakin liberal, jalan ini adalah pengingat bahwa kekuatan sejati bangsa tidak datang dari luar, melainkan tumbuh dari tangan rakyatnya sendiri.(*)

BACA JUGA: Reforma Agraria Dibincangkan di Great Institute: Ironi Kesuburan Tanah, Ketimpangan, dan Tuntutan Keadilan

Back to top button