Ekonomi Madyan yang Basilat dan Penuh Tipu
Sebagai misal, mushaf Quran yang disucikan–di kampung-kampung membawanya juga “disuhun” (dijunjung di atas kepala). Di Kementerian Agama ternyata dapat saja menjadi sasaran korupsi.
Oleh : H.Usep Romli HM
Kabar tentang pemberian santunan sembako berisi sampah, masih terus diperbincangkan di media sosial. Seorang pemuda genre “frank” mengemas sampah berbentuk sembako. Diserahkan ke sekelompok waria di sebuah sudut kota Bandung. Persoalan “sembako tipu-tipu” itu, berlanjut ke ranah hukum. Sedang diusut oleh aparat Poltabes Bandung. Pelakunya telah diamankan. Mirip dengan kasus “nasi anjing” di Jakarta.
Perilaku “tipu-tipu” begitu tenyata tidak hanya dalam skala terbatas. Namun telah meluas ke berbagai sektor. Di sektor perdagangan online, pernah muncul kasus penjualan masker, namun ternyata berukuran mini. Pembeli merasa tertipu karena menyangka masker ukuran normal. Dan dalam perdagangan lebih luas sehari-hari, dikenal praktek pemalsuan, penggunaan zat berbahaya, oplosan dan lain sebagainya. Dengan harapan penjual meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan kerugian pihak pembeli. Istilah Sunda “dagang basilat”. Dagang penuh tipu daya.
Memang kondisi lingkungan masyarakat semakin memprihatinkan. Segala bidang benar-benar karut-kemarut. Segala sesuatu hanya menyentuh aspek lahiriah saja, berdasarkan hitungan-hitungan materi, institusi atau rumusan yang kasat mata saja, agar tampak wajar. Atau sekadar mengundang gelak-tawa dan popularitas tak lucu.
Semua itu menunjukkan kondisi batiniah, immaterial, spiritual yang sangat “acak adut”. Sebagai misal, mushaf Quran yang disucikan–di kampung-kampung membawanya juga “disuhun” (dijunjung di atas kepala). Di Kementerian Agama ternyata dapat saja menjadi sasaran korupsi. Beberapa oknum anggota DPR, pejabat tinggi, dll., yang seharusnya memberi contoh nyata perilaku moral terpuji, malah menjadi pelaku pencurian kelas kakap yang diberi label “terhormat” sebutan koruptor.
Kejahatan “tersembunyi” seperti itu, melebar ke semua elemen. Hingga ke tingkat terendah dan terkecil. Yang paling dirasakan, adalah dalam kegiatan jual-beli sehari-hari.
Barang yang diperjual-belikan, terutama makanan dan minuman, banyak yang terkontaminasi aneka-macam “tambahan” yang kadang-kadang tidak halal menurut kaidah agama (Islam) serta membahayakan kesehatan tubuh. Di beberapa tempat, terjadi peristiwa daging sapi dicampur daging celeng alias babi hutan. Hewan yang akan disembelih terlebih dulu “digelonggong” dengan air agar berat dagingnya bertambah. Belum lagi campuran bahan pengawet semacam formalin, borax, dan berbagai jenis lain yang mungkin hanya diketahui para pelaku, hanya karena ingin meraih “nilai tambah” keuntungan, atau menjaga daya tahan barang agar dapat dipajang berlama-lama walaupun tidak laku segera.
Termasuk juga menyukat atau memalsu timbangan. Jika membeli barang dari orang lain, ukuran timbangan diperkecil agar barang yang diterima bertambah banyak. Jika menjual kepada orang lain, ukuran diperbesar, agar barang yang dilepas lebih sedikit, tanpa peduli ancaman Allah SWT (QS Al Muthafifin : 1).
Praktik negatif yang merusak sistem perekonomian, serta ahlak manusia semacam itu, memang sudah berlangsung amat lama. Sejak ribuan tahun lalu. Malah al Quran secara khusus memuat peringatan tegas. Mengutus Nabi Syuaib Alaihissalam, berdakwah kepada bangsa Madyan, kurang lebih 2.500 sebelum Masehi. Bangsa yang memiliki tradisi membeli barang-barang dari para pemasok dengan harga semurah-murahnya, lalu menjual kepada konsumen dengan harga semahal-mahalnya (Q.s.al A’raaf : 86-87).
Mereka juga mempermainkan timbangan dan ukuran-ukuran lain, demi meraih keuntungan lebih banyak tanpa menghiraukan faktor manusia dan kemanusiaan. Peringatan Nabi Syuaib tidak digubris. Bahkan mereka membangkang dan menantang. Hingga Allah SWT menurunkan azab berupa gempa bumi dan suara-suara gemuruh menghancurkan negara dan seluruh penghuninya, kecuali yang beriman (Q.s.al A’raaf : 91). Sesungguhnya, dalam kisah Syuaib dan bangsa Madyan, terdapat peringatan bagi bangsa-bangsa sesudahnya (Q.s. asy Syu’aro : 190).
Bangsa Madyan telah hancur lebur ribuan tahun lalu. Namun tak mustahil, kelakuan mereka masih tumbuh subur pada masa sekarang, dalam bentuk lain dan modifikasi bermacam-macam. Seperti korupsi, kolusi, mark-up, pengurangan bestek, mengoplos barang-barang konsumsi dengan zat-zat membahayakan, seperti borax, pemutih, penyegar, dll.
Maka tak mustahil pula, azab yang menimpa bangsa Madyan; akan menimpa kita pula. Masya Allah, naudzubillahi min dzalik. [ ]