Solilokui

Ekses ‘Pengkhianatan’ Trump Terhadap Suku Kurdi Bagi Sekutu-sekutu AS di Asia

Oleh  : Jonathan Manthorpe

Jurnalis Asia Times

JAKARTA– Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengkhianati kelompok Kurdi menunjukkan bahwa dirinya siap mengirimkan ratusan atau bahkan ribuan orang menuju kematian mereka, semata demi egonya. Di Asia, pengkhianatan Trump terhadap suku Kurdi telah membunyikan lonceng kewaspadaan di Korea Selatan, Australia dan Jepang.

Ketidakpercayaan negara-negara sekutu AS terhadap Trump semakin meningkat, dalam permainan yang sedang berlangsung untuk menemukan keseimbangan antara Cina, AS, dan India. Sekutu-sekutu AS di Asia tampaknya harus bersiap-siap menjadi yang ditinggalkan, sebagaimana sekutu AS di belahan dunia lain.

Para ahli strategi militer Asia tengah membaca sebuah skenario bencana, setelah Donald Trump melemparkan sekutu Kurdi-nya ke mulut serigala.  Sejak Trump menjabat sebagai presiden pada awal 2017, sekutu-sekutu Washington telah menemukan cara untuk mengakomodasi—atau mengatasi—isolasionisme, ketidaktahuan, dan imajinasi Trump. Tapi Trump melempar Kurdi Suriah ke dalam mulut Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Bagaimana pun menghapus perlindungan militer terhadap Kurdi adalah sebuah pengkhianatan.

Dunia kini memahami bahwa dipandang sebagai pemenang adalah satu-satunya kepentingan Trump. Memang, membuang Kurdi tampaknya merupakan respons pertama yang datang pada imajinasi subur Trump, ketika ia menghadapi tuntutan yang meningkat di Kongres agar dirinya diselidiki karena penyalahgunaan kekuasaan, dan mungkin akan dimakzulkan dan disingkirkan dari jabatannya.

Tetapi langkah Trump untuk membuang Kurdi—di mana milisi Kurdilah yang memimpin kampanye melawan ISIS dan kehilangan 11.000 orang dalam pertempuran tersebut—beberapa langkah lebih parah dari masalah-masalah di masa lalunya.  Ini menunjukkan bahwa dia siap untuk mengirim ratusan atau bahkan ribuan orang menuju kematian, hanya untuk membesarkan egonya.

Jadi, sebenarnya pengkhianatan terhadap Kurdi itu hanya akan memicu kemarahan publik terhadap Trump dari kalangan pengikut Republik-nya di Capitol Hill untuk pertama kalinya. Fenomena yang jelas  meningkatkan prospek pemakzulannya.

Dalam tindakan tergesa-gesa untuk memperbaiki situasi, Wakil Presiden AS Mike Pence dikirim ke Ankara Kamis (17/10) lalu untuk bernegosiasi dengan Erdogan. Pemimpin Turki itu menyetujui gencatan senjata selama lima hari. Selama itu milisi Kurdi akan diizinkan meninggalkan koridor sejauh 30 kilometer yang ingin dibangun dan dikendalikan Erdogan di sisi Suriah dari perbatasan bersama.

Tetapi kerusakan yang dirasakan sekutu-sekutu AS telah terlanjur terukir. Di Asia, pengkhianatan terhadap Kurdi telah membunyikan lonceng kewaspadaan di Korea Selatan, Australia dan Jepang. Bagi Korea Selatan, bukti bahwa kapasitas pengkhianatan Trump itu tidak ada habisnya, justru terjadi pada saat yang sangat sensitif.  Seoul dan Washington tengah berada pada negosiasi sengit tentang berapa banyak Korea Selatan harus membayar untuk 28.500 tentara AS yang ditempatkan di Semenanjung Korea.

Sejak dia menjabat, Trump telah mencerca Korea Selatan sebagai “sekutu penunggak,” dan menuntut agar Eropa, Jepang, dan Korea Selatan membayar lebih banyak untuk pemeliharaan pasukan AS yang ditempatkan di wilayah mereka.

Saat ini, Korea Selatan membayar sekitar 1 miliar dolar AS per tahun untuk pasukan Amerika. Namun dalam wawancara dengan surat kabar lokal baru-baru ini, Duta Besar AS untuk Seoul, Harry Harris, mengkonfirmasi desas-desus bahwa Washington menginginkan peningkatan lima kali lipat menjadi 5 miliar dolar AS per tahun.

Hal itu jelas tak bagus buat publik Korea Selatan. Tetapi contoh perlakuan Trump terhadap Kurdi menimbulkan kemungkinan dalam benak Korea Selatan bahwa jika Trump tidak mendapatkan uangnya, Trump akan memerintahkan pasukan AS untuk ditarik—sesuatu yang telah dipertimbangkan Trump sebelumnya. Itu akan membuat Korea Selatan terkena serangan gempuran dari Korea Utara, seperti pada awal perang saudara pada tahun 1950.

Selain uang, ada alasan bagus bagi warga Korea Selatan untuk mempertanyakan kepada siapa Trump berpihak, dalam konfrontasi mereka dengan monarki Marxis Kim Jong-un di Korea Utara.  Trump telah memberikan pujian dan bahkan kasih sayang pada Kim dengan harapan bahwa strategi pembuatan kesepakatan ini akan membujuk pemimpin muda Korea Utara itu untuk meninggalkan senjata nuklir dan program rudal balistiknya.

Namun tidak beruntung. Tiga pertemuan puncak Trump dengan Kim tidak menghasilkan apa pun yang berarti. Dan tawaran bromantic Trump telah ditolak. Kim terus memajukan program pengembangan militernya, tetapi telah berhati-hati untuk menghindari uji coba senjata yang secara langsung mengancam AS.

Di sisi positifnya, Trump tampaknya telah belajar dari pengalaman ini bahwa, dalam diplomasi, sikap ‘sombong’ biasanya datang di akhir banyak kerja keras, bukan di awalnya. Para pejabat Korea Utara dan AS sekarang bernegosiasi di balik layar dan mereka mungkin menghasilkan sesuatu yang substansial di masa depan.

Jepang berada dalam posisi yang mirip dengan Korea Selatan, dengan sekitar 54.000 tentara AS yang berbasis di negaranya—di mana Washington menginginkan lebih banyak uang. Jepang juga ‘duduk’ di garis depan, berhadapan dengan Korea Utara dan Cina.

Namun, pemerintah Tokyo biasanya berupaya tidak terlalu menunjukkan adanya bahaya menjulang di depan umum. Itulah yang mendorong Kuni Miyake, presiden Foreign Policy Institute Jepang, untuk menulis:

“Orang-orang di Tokyo tidak tahu atau tidak ingin tahu apa arti penarikan pasukan AS dari Suriah utara bagi mekanisme aliansi keamanan Jepang-AS. Mereka mungkin benar dalam berpikir bahwa hal seperti itu hanya mungkin terjadi pada Korea Selatan. Tetapi seberapa yakin Jepang tentang hal itu? Saya tidak bisa begitu yakin. Apa pun bisa terjadi di era intuisi—kebetulan dan salah penilaian.”

Keamanan nasional selalu menjadi masalah utama di Australia—negara besar dengan populasi kecil yang terus-menerus merasa rentan terhadap invasi dari utara. Kerentanan itu semakin intensif seiring Cina telah menjadi kekuatan ekspansionis yang merambah ke Asia Tenggara.

Sebagai jaminan, pemerintah Canberra berturut-turut segera mendukung perjanjian pertahanan mereka dengan Washington dengan menjadi pihak pertama yang mendaftar untuk perang-perang Amerika. Warga Australia telah berperang bersama Amerika dalam setiap aksi militer AS sejak Perang Dunia Kedua, termasuk Perang Korea, Vietnam, Teluk Persia, Somalia, Timor Leste, Afghanistan, dan Irak.

Namun pesan dari apa yang menimpa Kurdi di Suriah utara, bergenerasi-generasi prajurit Australia yang tewas dan terluka dalam berbagai konflik itu mungkin tidak cukup untuk menjamin kesetiaan Presiden AS ini, seiring Canberra merenungkan hubungan yang semakin kompleks dengan Beijing.

Ini telah menyebabkan perdebatan dalam beberapa hari terakhir di panggung politik Australia dan media. Asumsinya sejauh ini adalah bahwa—seperti halnya dengan Jepang—aliansi AS-Australia terlalu dalam dan luas untuk dijungkirbalikkan oleh seorang Presiden Amerika yang kacau.

Tetapi tingkat ketidakpastian masih ada, dan itu diperkuat oleh pandangan umum yang muncul di seluruh Asia, bahwa setiap penilaian risiko harus mengasumsikan bahwa Trump akan dipilih kembali pada tahun 2020 untuk empat tahun ke depan. [asiatimes/matamatapolitik]

Back to top button