Fundamentalisme Bukan Terorisme
Orang berusaha mencari kembali dasar/fondasi hidup sebagai alternatif dari “kehidupan modern” yang rapuh dan “penuh kepalsuan”. Kita mengenalnya sebagai fenomena fundamentalisme. Orang mengharamkan dirinya terhadap gayahidup dan segala yang “modern”: anti-riba dalam keuangan, anti-musik, kembali ke pakaian tradisional (tak cuma jilbab, tapi juga kebaya), kembali ke gayahidup nenek moyang, kembali mengapresiasi dan menerapkan gayahidup suku-suku tradisional.
Oleh : Farid Gaban
JERNIH– Fundamentalisme tidak identik dengan terorisme. Fundamentalisme, betapa pun konyol, tidak selalu mengarah pada kekerasan (terorisme).
Dalam banyak kasus, fundamentalisme sekadar bentuk pertahanan diri terhadap sistem yang tidak disukai.
Banyak orang, mungkin termasuk saya dan Anda, muak terhadap sistem yang ada sekarang: sistem politik/kenegaraan, sistem sosial, sistem ekonomi. Sebagian dari rasa muak itu mungkin cuma persepsi, tapi sebagian lain jelas ada dasarnya dan ada dampak yang bisa dilihat dan dirasakan: korupsi, kerakusan di satu sisi dan kemiskinan di sisi lain, ketimpangan, ketidakadilan yang telanjang, hukum yang manipulatif, kerusakan alam-lingkungan, fragmentasi sosial dan keluarga, individualisme, menipisnya solidaritas sosial, polarisasi politik dan lunturnya tata nilai tradisional.
Banyak orang berusaha menemukan solusi dari problem yang kompleks tadi, baik secara sendiri-sendiri maupun dalam kelompok.
Orang berusaha mencari kembali dasar/fondasi hidup sebagai alternatif dari “kehidupan modern” yang rapuh dan “penuh kepalsuan”. Kita mengenalnya sebagai fenomena fundamentalisme.
Banyak orang menemukan basis untuk solusi itu ada dalam nilai-nilai yang sederhana dan mudah dipahami serta dipraktekkan: yakni agama dan keyakinan-keyakinan tradisional.
Tidak khas dunia Islam, itu juga terjadi di Barat: fenomena new age, hippiest, konversi ke Buddhisme, misalnya. Juga muncul kesadaran untuk kembali ke akar di kalangan Suku Dayak Kalimantan, misalnya, ketika dihadapkan pada problem ekonomi, sosial dan kerusakan hutan tropisnya.
Sebagian besar dari fundamentalisme itu tidak dalam pretensi melawan sistem (yang rusak), tapi lebih sekadar menarik diri dari sistem yang dianggap rusak. Fenomena “hijrah” marak. Dan ini tidak khas Islam pula.
Orang mengharamkan dirinya terhadap gayahidup dan segala yang “modern”: anti-riba dalam keuangan, anti-musik, kembali ke pakaian tradisional (tak cuma jilbab, tapi juga kebaya), kembali ke gayahidup nenek moyang, kembali mengapresiasi dan menerapkan gayahidup suku-suku tradisional.
Saya pribadi melakukan “hijrah” meskipun secara parsial: golput (muak pada polarisasi dan sistem politik yang rusak), pulang kampung, hidup simple di desa, menekuni pertanian organik, kembali mengapresiasi seni-budaya tradisional serta mencoba mempraktekkan kembali cara hidup nenek moyang saya.
Mungkin ada yang menilai itu konyol, bodoh dan naif; tapi jelas itu tidak serta-merta bisa dianalogikan dengan kekerasan (terorisme).
Bahkan orang yang percaya pada konsep khilafah tidak dengan sendirinya teroris kecuali dia terbukti melakukan kekerasan atas dasar itu. Lebih jauh lagi, bahkan orang yang mempromosikan khilafah atau negara Islam tidak dengan sendirinya teroris.
Khilafah itu cuma konsep politik, sama seperti halnya sekularisme, monarki, sistem partai-tunggal (PKC China) maupun teokrasi.
Bagaimanapun, menurut saya, sebagian besar fenomena “hijrah” lebih bersifat ke dalam ketimbang keluar. Lebih mencerminkan sikap frustrasi/desperate ketimbang agresi. Lebih merupakan bagian dari renungan dan koreksi pribadi ketimbang mengajak orang lain untuk merombak sistem.
Menurut saya, fundamentalisme ala hijrah hanya akan bisa mengubah sistem politik/kenegaraan jika ada kendaraannya: ormas dan partai politik dominan. Sekali lagi, saya menyebut kata “dominan”. Kita tahu, partai-partai Islam di Indonesia selalu kecil dalam sejarahnya. Dan tidak semua mereka mempromosikan khilafah.
Dua ormas terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menolaknya. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sudah dibubarkan dan dinyatakan terlarang. Apa yang ditakutkan?
Ada yang mengeluh: dalam beberapa tahun belakangan bermunculan banyak peraturan daerah berbabu agama (perda syariah) di banyak tempat. Tapi, menurutku, perda syariah hanya bisa ada dengan restu serta dukungan partai-partai dominan: PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra dan Demokrat, yang notabene merupakan partai nasionalis-sekuler.
Melihat hal itu, menurut saya, problem utamanya justru pada PRAGMATISME para politisi nasionalis-sekuler. Pragmatisme itu mencerminkan kerusakan sistem politik (sekular) kita, yang dalam aspek lain dicerminkan pula oleh korupsi dan money-politics di kalangan politisi.
Fundamentalisme, keinginan untuk mengoreksi keadaan dan mencari kembali dasar hidup, tidak perlu dikuatirkan. Apalagi dilarang.
Tapi, bahkan jika tetap dianggap ancaman, ada solusi yang lebih manjur: yakni mengoreksi sistem politik-ekonomi-sosial sekuler yang ada sekarang sehingga tidak ada kebutuhan orang untuk “berhijrah” darinya.
Artinya: memperbaharui sistem politik yang busuk; menghapus korupsi; mewujudkan sistem ekonomi yang lebih berorientasi pada pemerataan; mengafirmasi solidaritas sosial; menegakkan reputasi/kredibilitas hukum dan aparatnya; serta peduli pada kelestarian alam.
Tanpa itu, fundamentalisme akan tetap tumbuh subur, bahkan makin subur. Pendekatan keamanan, kecurigaan berlebihan, diskusi panjang lebar yang hanya melihat simtom, bukan penyebab, tidak akan banyak menolong. [ ]