SolilokuiVeritas

Gelombang Protes Gen Z Runtuhkan PM Bulgaria Mengakhiri Toleransi Terhadap Korupsi

Generazi Z kembali jadi arsitek jatuhnya kepemimpinan sebuah negara. Dan, lagi-lagi korupsi adalah alasan paling mutlak untuk menuntut mundur perdana menteri. Dan, berhasil!

WWW.JERNIH.CO – Kejatuhan pemerintahan Perdana Menteri Rosen Zhelyazkov di Bulgaria adalah puncak dramatis dari ketidakstabilan politik yang berlarut-larut, yang berakar pada masalah korupsi yang mengakar. Uniknya, faktor penentu yang meruntuhkan kekuasaan—beberapa menit sebelum mosi tidak percaya dijadwalkan—bukanlah manuver politik elite, melainkan kekuatan yang membanjiri jalanan: Generasi Z.

Perdana Menteri Rosen Zhelyazkov adalah tokoh senior dari partai konservatif GERB, yang memenangkan pemilihan umum terakhir. Sebelum menjabat sebagai PM pada Januari 2025, Zhelyazkov memiliki rekam jejak yang panjang di kancah politik, termasuk sebagai Ketua Parlemen dan Menteri Transportasi di bawah kepemimpinan mantan PM, Boyko Borissov—seorang figur yang telah lama menjadi target sentimen anti-korupsi di Bulgaria.

Pemerintahan Zhelyazkov, yang merupakan koalisi minoritas yang rapuh di tengah krisis politik yang telah memaksa Bulgaria mengadakan tujuh pemilu dalam empat tahun, berjanji untuk membawa negara itu ke Zona Euro. Namun, janji-janji kemakmuran ini berbenturan dengan realitas pahit yang tertuang dalam laporan transparansi global.

Bulgaria di Tengah Korupsi

Siapa bilang negara-negara eropa bersih dari korupsi? Bulgaria telah lama dicap sebagai negara dengan tingkat korupsi terburuk di Uni Eropa, sebuah ironi menyakitkan bagi anggota blok yang menjunjung tinggi tata kelola yang baik. Menurut Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 yang dirilis oleh Transparency International, Bulgaria hanya memperoleh skor 43 dari 100, di mana skor 100 berarti sangat bersih.

Dengan skor 43, Bulgaria berada di peringkat 76 dari 180 negara di dunia (setara dengan Tiongkok dan Moldova). Sebenarnya masih lebih tinggi dari Indonesia yang mendapat skor 37 (hingga berada di peringkat 99).

Dalam konteks Uni Eropa, skor Bulgaria hanya lebih baik dari Hungaria (skor 41), menjadikannya negara kedua yang paling korup di antara 27 negara anggota UE. Bagi bangsa Eropa, skor 43 sudah sangat tidak menyenangkan dan perlu segera dilakukan langkah perbaikan.

Data ini menegaskan bahwa masalah Bulgaria bukanlah sekadar persepsi, melainkan kegagalan sistemik untuk menegakkan supremasi hukum dan mengakhiri penyalahgunaan kekuasaan. Inilah konteks fundamental yang memicu kemarahan publik.

Meskipun korupsi adalah penyakit kronis, pemicu langsung yang mengobarkan protes adalah proposal ekonomi kontroversial: rencana pemerintah untuk menaikkan iuran jaminan sosial dan pajak atas dividen dalam rancangan anggaran negara 2026. Kendati kebijakan ini dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran negara menjelang masuknya Bulgaria ke zona euro, masyarakat melihatnya sebagai beban yang tidak adil.

Kemarahan ini kemudian meluas menjadi tuntutan yang lebih besar dengan berbagai tuntutan rakyat. Antara lain pengunduran diri segera. Kejatuhan total elite politik yang dianggap arogan dan tidak responsif. Lalu, menuntut pembentukan sistem peradilan yang independen dan penuntutan kasus-kasus korupsi tingkat tinggi. Dan, permintaan mengakhiri impunitas dengan menghilangkan perasaan bahwa elite politik berada di atas hukum.

Gerakan Politik Gen Z

Yang membedakan demonstrasi Bulgaria kali ini dari gelombang protes sebelumnya adalah peran Generasi Z (Gen Z). Mereka mengubah aksi jalanan menjadi gerakan politik terdesentralisasi yang disruptif.

Mobilisasi dilakukan lewat digital secara massif. Anak-anak muda itu tidak mengandalkan pamflet atau media berita tradisional, Gen Z menggunakan TikTok, Instagram, dan encrypted messaging untuk menyebarkan informasi, membuat meme satir yang menargetkan politisi (sebagai alat protes yang efektif), dan mengorganisir pertemuan dalam waktu singkat. Slogan “Gen Z Akan Datang” bukan hanya ancaman, tetapi pernyataan kekuatan politik baru.

Gen Z, sebagai generasi pasca-komunis, menunjukkan toleransi yang sangat rendah terhadap warisan politik lama. Bagi mereka, korupsi dan ketidakstabilan adalah penghalang langsung bagi masa depan Eropa yang mereka impikan. Kekuatan mereka terletak pada keterputusan dari ikatan politik masa lalu dan keterampilan digital yang memampukan mereka untuk mengorganisir tanpa pemimpin tunggal yang mudah diintervensi.

Gelombang protes yang dipelopori Generasi Z di Bulgaria telah menjadi studi kasus penting mengenai dinamika baru antara kekuasaan lama dan aktivisme era digital. Respon dari pihak keamanan dan kepolisian Bulgaria terhadap gerakan ini menunjukkan sebuah dualisme yang menarik: tindakan keras dan pengendalian massa di satu sisi, namun pada saat yang sama mengakui sifat unik dan efektif dari gerakan yang dipimpin oleh anak muda tersebut.

Pada momen-momen puncak ketegangan, terutama di malam-malam menjelang pengunduran diri Zhelyazkov, pihak kepolisian menerapkan taktik pengendalian kerumunan yang ketat. Bentrokan signifikan dilaporkan terjadi di sekitar pusat-pusat kekuasaan di Sofia, di mana sejumlah kecil demonstran bertopeng mulai melakukan aksi vandalisme, termasuk melempar batu dan botol ke kantor-kantor politik.

Respon aparat keamanan bersifat cepat dan tegas, menggunakan gas air mata dan melakukan penangkapan selektif terhadap individu yang terlibat langsung dalam kekerasan. Pola ini mengindikasikan bahwa tujuan utama aparat adalah meredam anarki dan menjaga ketertiban umum, alih-alih melakukan penangkapan massal atau upaya untuk membungkam total kebebasan berekspresi. Penangkapan tersebut lebih fokus pada pelanggaran hukum di tempat, bukan membubarkan gerakan secara keseluruhan.

Desentralisasi Gerakan

Kunci keberhasilan Gen Z meniadakan penangkapan tokoh sentral terletak pada struktur gerakan mereka yang terdesentralisasi. Berbeda dengan revolusi politik tradisional yang memiliki pemimpin serikat buruh, tokoh oposisi formal, atau ketua LSM, protes Bulgaria dipicu dan dimobilisasi oleh jaringan influencer dan aktivis digital.

Sosok seperti Maria Tsakova, yang berfungsi sebagai fasilitator di platform seperti TikTok, adalah penggerak mobilisasi, bukan pemimpin hierarkis yang mudah ditangkap atau dinegoisasi oleh rezim. Karena tidak ada “tokoh utama” untuk dipenjarakan, pihak berwenang tidak dapat memenggal kepala gerakan ini, sehingga penangkapan selektif hanya berfungsi sebagai upaya isolasi kerusuhan, bukan mematikan protes.

Selain itu, narasi publik yang terjadi saat itu juga menguntungkan para demonstran. Sorotan media dan publik lebih terfokus pada kasus-kasus korupsi yang sedang berlangsung, seperti penangkapan Wali Kota Varna atas dugaan korupsi. Ironisnya, alih-alih meredam protes, tindakan hukum yang seharusnya positif ini justru digunakan oleh Gen Z sebagai bukti tambahan bahwa sistem penegakan hukum Bulgaria hanya bertindak ketika didorong, memperkuat tuntutan mereka akan reformasi peradilan menyeluruh.

Yang paling menentukan adalah reaksi dari elite politik itu sendiri. Perdana Menteri Rosen Zhelyazkov, saat mengumumkan pengunduran diri dramatisnya, secara eksplisit mengakui dan memvalidasi kekuatan protes. Kutipan Latin klasik “Vox populi, vox dei” (Suara rakyat adalah suara Tuhan) yang ia sampaikan, menunjukkan pengakuan bahwa kekuasaan telah bergeser dari ruang rapat ke jalanan.

Dukungan ini diperkuat oleh Presiden Rumen Radev, yang mendesak pemerintah untuk mundur dan menyebut akar krisis ini sebagai “provokasi mafia”. Dengan pengakuan tingkat tinggi ini, tuntutan utama gerakan Gen Z secara politik diakui sebagai legitimasi.

Tindakan keras polisi terhadap kerumunan anarkis pada akhirnya tidak mampu menandingi konsensus politik yang terbentuk karena tekanan publik. Respon aparat pun harus tunduk pada keputusan politik yang diakibatkan oleh kebangkitan kekuatan baru yang terorganisir secara digital.(*)

BACA JUGA: Gen Z Nepal; Tak Ada Media Sosial, Discord pun Jadi

Back to top button