
Aplikasi Discord di Nepal bukan hanya “alat komunikasi”, tapi juga eksperimen politik digital. Ia membuktikan bahwa teknologi komunitas daring bisa mengisi kekosongan ketika saluran politik tradisional dianggap gagal atau dibatasi.
JERNIH – Kalau Anda meragukan kemampuan dan keterlibatan politik anak muda, maka coba tanyakan ke Generasi Z Nepal. Di tengah ketidakpastian suasana, tanpa pemimpin negara, generasi ini mengambil inisiatif menggunakan aplikasi Discord.
Karena belum dianggap “platform politik arus utama”, Discord jadi celah digital untuk menghindari sensor. Hal ini memberi aktivis ruang untuk terus berkomunikasi ketika jalur lain ditutup.

Discord adalah platform komunikasi real-time yang awalnya populer di kalangan gamer. Fitur-fiturnya mencakup server yang bisa menampung banyak anggota, saluran teks, audio, video, voice chat, streaming, dan alat moderasi. Kini banyak digunakan di lingkungan korporasi.
Karena banyak platform media sosial utama diblokir sementara, para pemrotes muda mencari alternatif untuk berkumpul secara daring, berdiskusi, berbagi informasi, dan melakukan koordinasi, Discord menjadi pilihan karena kemampuannya mendukung komunitas besar dan komunikasi multipola.
Proses ini menunjukkan bahwa generasi muda tidak hanya sebagai pengamat, tetapi juga sebagai aktor dalam politik, terutama melalui medium digital. Discord memberi ruang yang relatif fleksibel dan interaktif untuk menyuarakan pendapat.
Dengan Discord banyak anggota yang bisa mengikuti diskusi, saluran khusus untuk pertanyaan, update, feedback, dsb.. Transparansi relatif lebih tinggi dibandingkan proses politik tradisional yang sering tertutup.

Discord memungkinkan pembuatan server dengan banyak saluran (channels) khusus. Misalnya, di Nepal, aktivis Gen Z membuat kanal untuk pengumuman resmi (agar informasi tidak tercecer), diskusi umum (untuk debat dan aspirasi), laporan lapangan (update real-time dari aksi protes), maupun ruang darurat (untuk koordinasi cepat). Hal ini membantu menghindari kebingungan informasi, sesuatu yang sering jadi masalah di WhatsApp atau Telegram karena semua pesan bercampur.
Server Discord bisa menampung ratusan ribu anggota, sehingga cocok untuk gerakan politik besar. Anggota merasa bagian dari komunitas karena ada sistem role (peran) yang bisa diberikan: moderator, koordinator aksi, relawan informasi, dsb. Di Nepal, hal ini membuat anak muda merasa terorganisir meski berasal dari berbagai kota.
Aktivis bisa melakukan diskusi teks, rapat daring dengan voice chat, atau bahkan streaming langsung untuk menyampaikan orasi. Dengan kombinasi ini, Discord lebih kaya dibanding Twitter (teks) atau Zoom (rapat terbatas). Di Nepal, ini dimanfaatkan untuk koordinasi cepat antarwilayah.

Discord yang populer di kalangan gamer dan Gen Z, sehingga menjadi pintu masuk politik bagi mereka yang sebelumnya kurang tertarik. Melalui diskusi terbuka, generasi muda belajar tentang bagaimana membuat keputusan kolektif, mengorganisir gerakan, melakukan advokasi digital. Sekali lagi Nepal menjadi contoh pertama di mana Discord bertransformasi dari ruang gaming menjadi ruang demokrasi.
Kendati membuka banyak alternatif aktivitas melalui digital, Discord bukannya sempurna. Ada beberapa risiko yang perlu diwaspadai. Umpamanya legitimasi siapa yang ikut voting belum tentu warga sah Nepal. Platform ini juga dapat dimanipulasi karena rawan serangan bot atau akun palsu. Dari sisi keterwakilan, masyarakat pedesaan tanpa akses internet tidak ikut terlibat. Dan bukan tidak mungkin ada potensi penyusupan oleh pihak lawan atau pihak ketiga.
Komunitas bernama Youth Against Corruption, yang terdiri dari Gen Z dan aktivis muda lainnya, membentuk server Discord dengan anggota besar (lebih dari 130.000-143.000 orang menurut laporan) untuk mendiskusikan siapa yang calon yang pantas menjadi Perdana Menteri interim.
Dalam polling tersebut, Sushila Karki, mantan Ketua Mahkamah Agung, terpilih menjadi calon yang akan diajukan sebagai Perdana Menteri interim. Dia memperoleh sekitar 50% (3.832) dari sekitar 7.711 suara.

Penggunaan Discord oleh aktivis muda di Nepal untuk memilih calon Perdana Menteri interim adalah fenomena baru yang signifikan dalam lanskap politik dan demokrasi digital. Di satu sisi, ini memperlihatkan kemampuan warga, terutama generasi muda, untuk mengambil inisiatif politik melalui platform teknologi — sebuah tanda bahwa politik tidak lagi selalu ditentukan oleh proses tradisional saja. Di sisi lain, proses ini tidak sempurna; ada banyak tantangan terkait legitimasi, representasi, dan keterikatan konstitusional.(*)
BACA JUGA: Korban Tewas Protes Nepal Capai 51 Orang, 12.500 Tahanan Masih Buron