Solilokui

Giliran Kita Belajar Pertanian dari Malaysia

Yang membuat pribadi tokoh ini impresif, terutama adalah keyakinannya akan keharusan terwujudnya iklim pers yang bebas namun—maaf bukan mengambil idiom Orde Baru—bertanggung jawab. Itu yang menurut saya membedakannya dari banyak pemimpin eksekutif tertinggi negeri jiran itu, bahkan dengan tokoh legendaris Mahathir Mohammad sekali pun.

Oleh   : Atal S Depari

JERNIH– Sambutan itu menarik, tidak hanya karena saya menemukan beberapa kata dalam Bahasa Melayu yang artinya hanya saya kira-kira, sesuai pertautan maknanya dengan kata-kata lain dalam kalimat. Yang lebih mengesankan, pidato pendek itu membawa saya kepada kenangan pertengahan tahun 1980-an, manakala saya mulai menjadi wartawan.

Waktu itu, yang paling saya ingat adalah kutipan pernyataan Malcolm X, tentang kuasa media massa. “The mass media is the most powerful entity on earth. They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that’s power. Because they control the minds of the masses. Media massa adalah entitas paling kuat di muka bumi ini. Mereka memiliki kuasa untuk membuat pihak yang tidak bersalah menjadi bersalah, dan membuat yang bersalah menjadi tidak bersalah. Itu karena mereka mengendalikan pikiran massa.”

Saat itu pernyataan Malcolm benar-benar memberikan pengaruh kuat terhadap saya, sekaligus rasa bangga akan pekerjaan saya sebagai wartawan. Tidak hanya karena pernyataannya sendiri begitu dalam dan tegas, kekaguman saya kepada figur tokoh pergerakan Muslim Amerika Serikat yang mengaku terkesan akan Dasa Sila Bandung tahun 1955 itu pun memang begitu kuat. Bagi saya, Malcolm yang semula penjahat jalanan namun mampu mengubah diri menjadi seorang Muslim taat dan tokoh pergerakan masyarakat sipil terkemuka di dunia itu, benar-benar menginspirasi. 

Itu yang dalam bahasa dan redaksional lain saya temukan kembali pada sambutan Perdana Menteri Malaysia, Dato’ Ismail Sabri Yakoob, di perhelatan Hari Wartawan Nasional (Hawana) Malaysia, Ahad (29/5) lalu di Melaka, Malaysia. Sebagai ketua umum PWI Pusat, saya hadir bersama 14 pimpinan media massa Indonesia lainnya yang diundang dalam acara tersebut.

Sejatinya, pribadi PM Malaysia itu pun sudah mengesankan. Datang tanpa pengawalan berlebihan laiknya para pejabat di Tanah Air, Dato’ Ismail Sabri terkesan muncul mendadak. Kedatangan beliau bahkan tak membuat kami sadar, misalnya, karena raungan sirene plus konvoi kendaraan (voorijder) yang mendahuluinya.   

“Peranan media ini bisa memburukkan, atau sebaliknya, membaikkan keadaan,”ujar PM Ismail, dalam Bahasa Melayu yang khas. Peran media itu pula menurut beliau, yang pernah menggoreskan sejarah mendung dalam hubungan Indonesia-Malaysia.

“Kalau media memerankan diri sebagai pelaku perpecahan, perpecahanlah yang terjadi. Tapi kalau media membawa perkara penyatuan, kita akan bersatu,” kata PM. Beliau mencontohkan berita seputar tarian Jawa (Reog) yang disebut-sebut diklaim sebagai milik Malaysia.

Yang terjadi, menurut PM Ismail Sabri, urusan itu sebenarnya tidak memiliki hubungan apa pun dengan negara. Tarian itu lazim diperagakan etnis Jawa yang tinggal di Malaysia, terutama Johor dan Selangor, tanpa ada klaim kepemilikan dari Malaysia sebagai negara.  “Apabila dibawa ke arah perpecahan, maka dikatakan bahwa Malaysia mencuri tarian Indonesia. Tapi kalau media paham dan menulis bahwa tarian Jawa itu diperagakan oleh etnik Jawa di Malaysia, tentu tidak akan ada isu,”kata Dato’ Ismail Sabri, menambahkan. Jujur, saya sendiri baru sadar apa yang sebenarnya terjadi dalam isu klaim kepemilikan hak warisan budaya tak benda yang sempat memanaskan hubungan Malaysia-Indonesia tersebut.

Tapi bukan hanya keyakinan akan pentingnya pers, yang membuat PM Malaysia yang satu ini langsung membuat saya terkesan. Yang membuat pribadi tokoh ini impresif, terutama adalah keyakinannya akan keharusan terwujudnya iklim pers yang bebas namun—maaf bukan mengambil idiom Orde Baru—bertanggung jawab. Itu yang menurut saya membedakannya dari banyak pemimpin eksekutif tertinggi negeri jiran itu, bahkan dengan tokoh legendaris Mahathir Mohammad sekali pun.

Meskipun dalam indeks World Press Freedom untuk 180 negara di dunia yang setiap tahun dipublikasikan Reporters Without Borders (RSF) Malaysia selalu sedikit lebih baik dibanding Indonesia, kecuali tahun 2021 lalu—(pada 2022-2021-2020 Indonesia berada di urutan 117, 113 dan 119, sementara Malaysia 113,119,101)—di ruang-ruang media, iklim kebebasan pers lebih hidup dan terasa di Indonesia, dibanding Malaysia. Lihat saja halaman-halaman media negeri jiran itu, yang lebih sering dipenuhi berita-berita seremonial, puja-puji akan kesuksesan, dibanding kritik yang membangun.  

Mungkin hal itu terkait erat dengan pemberlakuan undang-undang Internal Security Act (ISA), yang diberlakukan awal 1970-an. Meski ISA dicabut pada 2012, tiga tahun kemudian Malaysia memberlakukan undang-undang yang tak sama, tapi serupa dengan ISA. Puluhan tahun berada dalam kekangan, apalagi urusan pers di Malaysia langsung berada di bawah Departemen Dalam Negeri sehingga ‘pelanggarannya’ langsung ditangani polisi, bukan Dewan Pers seperti di sini, tampaknya membuat wartawan Malaysia telah sangat terbiasa ‘bertiarap’.   

Karena itu, manakala lisan Perdana Menteri sendiri yang mengucapkan perlunya Malaysia akan akan kebebasan pers, sukar untuk menafikan terbersitnya kekaguman.    Proses jurnalistik, kata Ismail Sabri, harus berjalan independen tanpa gangguan dari pihak lain. “Kerajaan berkomitmen untuk mendukung kebebasan berekspresi.Kerajaan tidak pernah menghalang media dari pada menyiarkan sebarang laporan berita yang adakala dijadikan panduan pihak berwajib untuk mengambil tindakan susulan, seperti bertindak menyalurkan bantuan untuk kesejahteraan keluarga Malaysia,” ujar PM Ismail Sabri.

Ia pun sadar bahwa segala sesuatunya membutuhkan dana. Üntuk itu, bahkan untuk Persatuan wartawan Malaysia-Indonesia (ISWAMI—Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia) yang didirikan untuk menjembatani harmonisasi hubungan kedua negara, PM menyatakan menyediakan dana satu juta ringgit, atau sekitar Rp 3,5 miliar. “Kalau perlu, minta lagi!”katanya, dengan gaya koboy.

Dari sawit ke durian

Sifat humanis PM Ismail Sabri kian terasa manakala di hari berikutnya kami diundang menikmati hasil holtikultura Malaysia yang saat ini booming: durian! Tidak hanya menyediakan durian dari jenis kelas satu, PM Ismail juga membagi kami buku biografinya.

“Saya tulis untuk ‘Bapak’ atau ‘Adik’?” tanya PM kepada wartawan-wartawan muda. “Adik saja ya,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri sembari membubuhkan tanda tangan.

‘Pesta durian’ itu berlangsung di teras lantai 1, kantor PM di Putra Jaya, Kuala Lumpur. Saya sudah menduga bahwa yang akan disajikan adalah produk budi daya durian Malaysia yang saat ini terkenal di dunia, Musang King. Ternyata kenyataannya jauh melampaui harapan: di hadapan kami disajikan empat jenis durian paling top: Musang King, Durian Duri Hitam, Hoblor dan Durian Udang Merah. Tahu harganya di Jakarta? Bisa mencapai angka ‘juta’ untuk satu buah berduri itu saja! Itu pun kebanyakan yang dijual dalam bentuk beku (frozen), yang harga per boks ukuran 400 gramnya dihargai Rp 400-500 ribu.

Di sini kami boleh makan sepuasnya, karena di sudut tampak menggunung tumpukan durian segar yang masih utuh. Sudah begitu, Simon Chin, pendiri dan direktur D’King, perusahaan yang memasok durian itu mengatakan bahwa semua durian itu benar-benar matang di pohon!

PM Ismail bercerita, pemerintah Malaysia sangat gembira produk buah dari lahan pertanian Malaysia itu mulai dikenal dunia. Bahkan menurutnya, beberapa rekannya sesama kepala negara tak jarang minta dibawakan oleh-oleh durian Musang King manakala dirinya bermaksud berkunjung. “Belum lama ini saya bawakan buah durian untuk Sultan Brunei, Sultan Hasannal Bolkiah,”kata dia.

Yang lebih membuatnya gembira, kata PM Ismail, saat ini kian banyak petani Malaysia beralih dari semula bertanam sawit menjadi menanam pohon durian. “Itu tentu perubahan yang sangat baik,”kata PM.

Dari data Google yang saya riset mendadak saat itu, terkuak data peningkatan ekspor durian Malaysia dari tahun ke tahun.  Sejak 2016, ekspor durian Malaysia telah tumbuh 107 persen. Pada 2016, Malaysia mengekspor durian senilai RM69,9 juta, diikuti RM59 juta pada 2017, RM125 juta pada 2018, RM127 juta pada 2019 dan RM145 juta pada 2020 lalu.

Tentu saja, kewajiban personal sebagai wartawan tidak membiarkan saya hanya mengisi perut dengan durian. Saya sempat bertanya siapa yang mengawali dan merancang perubahan yang membuat holtikultura Malaysia tiba-tiba melejit, siap  menyaingi Thailand?

“Tentu saja Kementerian Pertanian kami, Pak,” jawab PM Ismail.

Seketika terbersit di kepala saya data UNESCO soal dana riset di negara kita. Untuk riset yang sejatinya menentukan posisi suatu negara sebagai pelopor atau cuma pengekor itu, alokasi pemerintah Indonesia masih sangat rendah, yakni hanya 0,1 persen dari Pendapatan Domestik Bruto pada 2021. Persentase riset dari GDP itu di Thailand saja dianggarkan 0,5 persen, di Malaysia 1,3 persen, dan di Singapura 2,1 persen. Itu baru soal persentase, belum bicara besaran angka GDP.

Tiba-tiba saya segera memaklumi kinerja Kementerian Pertanian kita. [ ] 

*Ketua Umum PWI Pusat

Back to top button