GREAT Institute, Benteng Moral dan Integritas Kaum Terpelajar

Dalam iklim demokrasi yang mudah digerus populisme dangkal dan manipulasi informasi, keberadaan elit terpelajar berintegritas menjadi penentu: apakah demokrasi tetap berjalan di atas jalannya, atau terjerumus ke dalam kubangan kepentingan pragmatis.
JERNIH – Di tengah kompleksitas zaman yang penuh gejolak, kehadiran kaum elit terdidik yang memiliki integritas di sebuah lembaga think tank menjadi lebih dari sekadar kebutuhan. Ia adalah benteng moral yang menjaga arah peradaban. Think tank bukan hanya rumah bagi riset dan gagasan, melainkan juga arena pertarungan nilai, etika, dan visi jangka panjang bagi bangsa dan demokrasi.
Dalam lanskap politik modern, peran kaum elit terdidik yang berintegritas di lembaga think tank menjadi semakin krusial. Lembaga seperti GREAT Institute berfungsi bukan hanya sebagai pusat riset dan penyusunan kebijakan publik, tetapi juga sebagai pengawal nilai-nilai etika dalam demokrasi. Keberadaan kaum intelektual yang berpegang pada integritas moral memastikan bahwa ilmu pengetahuan tidak tereduksi menjadi alat legitimasi kepentingan sesaat, melainkan menjadi sumber kebijaksanaan publik.
Lahirnya GREAT Institute tidak lepas dari gagasan para pemikir dan aktivis yang lekat dengan kepentingan rakyat. Nama Dr. Syahganda Nainggolan dikenal luas sebagai intelektual progresif yang kenyang pengalaman dalam mendirikan berbagai gerakan dan lembaga kajian publik. Bersama Moh. Jumhur Hidayat, alumnus ITB yang aktif sejak era Orde Baru hingga kini, keduanya menegaskan bahwa think tank adalah ruang perjuangan ide, bukan sekadar laboratorium akademis.

Elit terdidik dalam konteks think tank tidak hanya mereka yang memiliki gelar akademis atau kecerdasan intelektual, melainkan mereka yang menempatkan ilmu dan pengetahuan sebagai amanah. Integritas menjadi fondasi yang membedakan antara pemikir yang sekadar mencari keuntungan pribadi dengan pemikir yang menjadikan kebenaran dan kepentingan publik sebagai kompas moralnya.
Ketika kaum terpelajar hadir dengan integritas, maka lembaga think tank tidak jatuh menjadi sekadar alat legitimasi kekuasaan. Ia justru berubah menjadi wadah pencarian solusi yang jernih, berani berbeda dari arus dominan, dan mampu memberi arah kebijakan yang berbasis pada kepentingan rakyat, bukan sekadar kepentingan segelintir elit politik.
Di mana dan bagaimana posisi para elit terdidik tersebut?
C. Wright Mills dalam The Power Elite (1956) menggambarkan bagaimana elit politik, ekonomi, dan militer kerap mendominasi struktur kekuasaan. Namun, ia juga mengingatkan pentingnya adanya “counter-elite” yang berakar pada rasionalitas, etika, dan komitmen pada kepentingan publik. Kaum terdidik berintegritas di think tank berpotensi menjadi counter-elite yang menyeimbangkan dominasi elit pragmatis.
Antonio Gramsci melalui konsep intelektual organik juga menegaskan bahwa kaum intelektual seharusnya tidak berdiri netral, melainkan berpihak pada emansipasi masyarakat. Intelektual organik yang berintegritas mampu menjadi penghubung antara teori dan praksis, sekaligus melawan hegemoni wacana yang dikuasai oleh elit berorientasi kekuasaan.
Lalu mengapa moralitas menjadi landasan utama bagi para elit terpelajar?
Moralitas adalah dimensi yang menjadikan ilmu pengetahuan bermakna bagi demokrasi. Hannah Arendt dalam The Human Condition (1958) menegaskan bahwa tindakan politik sejati selalu terkait dengan keberanian untuk menegakkan kebenaran di ruang publik. Tanpa integritas, kaum intelektual dapat tergelincir menjadi pelayan kekuasaan. Sebaliknya, dengan moralitas, mereka menjelma sebagai custodian of truth (sang penjaga kebenaran) yang menjaga agar demokrasi tidak kehilangan arah.
Para intelektual adalah motor dari hampir keseluruhan lembaga think tank di dunia. Di Brookings yang merupakan salah satu think tank tertua dan paling berpengaruh di dunia, berdiri sejak 1916 di Washington D.C. Fokusnya pada kebijakan publik, ekonomi, tata kelola global, serta isu sosial, menyimpan nama Strobe Talbott, seorang jurnalis dan diplomat yang pernah menjabat Wakil Menteri Luar Negeri AS. Ia dikenal sebagai intelektual dengan komitmen pada diplomasi multilateral.
Brookings punya analis kebijakan luar negeri bernama Martin Indyk yang jago tentang Timur Tengah. Sebagai cendekiawan sekaligus diplomat, ia menggabungkan riset akademis dengan pengalaman lapangan. Sementara Shadi Hamid, seorang peneliti senior dikenal karena kajiannya tentang Islam politik dan demokrasi di dunia Arab.

Bagaimana dengan Chatham House? Kalau Anda pernah dengar nama Bronwen Maddox yang sekarang menjabat direktur, ia tak lain jurnalis senior sekaligus analis politik yang menekankan pentingnya integritas informasi dalam era post-truth. Sebuah isu krusial ketika keriuhan digital kerap menenggelamkan kebenaran.
Jadi sekarang menjadi jelas dan terang mengapa lembaga seperti GREAT Institute diisi oleh kaum terpelajar yang memiliki integritas dan moralitas tinggi. Posisi mereka sebagai penjaga objektivitas. Elit terdidik berintegritas menjaga agar hasil kajian tidak dibajak oleh kepentingan politik pragmatis. Mereka memastikan bahwa penelitian, rekomendasi kebijakan, dan analisis tetap berbasis pada data, argumentasi rasional, dan nilai kebenaran.
Mereka menjadi jembatan antara dunia akademik yang kerap abstrak dengan dunia politik yang serba praktis. Di tangan kaum intelektual yang berintegritas, ide-ide besar dapat diolah menjadi rekomendasi yang aplikatif sekaligus bernilai etis.
Dalam iklim demokrasi yang mudah tergerus oleh populisme dangkal dan manipulasi informasi, keberadaan kaum terdidik berintegritas di think tank berfungsi sebagai pengingat bahwa demokrasi tidak hanya soal suara mayoritas, tetapi juga soal kualitas moral, keadilan, dan keberlanjutan nilai kemanusiaan.(*)
BACA JUGA: GREAT Institute: Panggung Terbuka dan “Ruang Rahasia”, Dua Wajah Dialektika Nasional






